Ini semua cuma gosip yang beredar tidak perlu di percaya, ini bukan intelejen, ini hanya rumors
Ari Sigit anak dari Sigit Harjoyudanto Suharto (anak kedua soeharto),
orang yang diduga sebagai Raja Narkoba nomor 1 di Indonesia dan nomor 2
se-Asia Tenggara. Diperkirakan -bahkan- total kekayaan yang diperoleh
dari ladang narkotik sampai melebihi pengusaha busuk Tommy Winata (Mafia
Indonesia). Pernah digadang-gadang sebagai buruan nomor 1 seluruh mafia
diLas Vegas. Dikarenakan hutangnya dimeja roulet&bakaret Las Vegas
sebesar US$20,000,000 (tahun 1980), Ritz London US$60,000,000, dan
jutaan lainnya yang diperkirakan total sebesar US$250,000,000 (untuk
kurs sekarang diperkirakan hampir sekitar US$2,000,000,000 atau 2 Milyar
Juta Dollar!.)
Salah satu aktifitas pelarian “uang darah rakyat
indonesia” yang terbesar selain dana BLBI diSingapura yang lebih
tragisnya menguap begitu saja dimeja-meja judi negara asing. Kasus
terakhirnya adalah tembak menembak dengan gangster australia diVictoria
yang menewaskan 2 bodyguard kerabat soeharto ini.
DATANG JUGA
GILIRAN SANG CUCU
Ari Sigit, cucu presiden Soeharto, diberi hak monopoli tata niaga
minuman keras. Urusannya cuma menempel stiker di botol minuman
Suatu kali Presiden Soeharto, “tak usah membantu bisnis anak-anak
saya”. Dan ternyata yang dibantu sekarang, adalah anak dari anaknya.
Alias cucunya. Seperti baru saja terjadi pada Ari, anak Sigit
Soeharto. Dengan perusahaannya PT Arbamass Multi Invesco, cucu
Soeharto ini, memperoleh hak monopoli koordinasi atas penjualan
minuman beralkohol diseluruh Indonesia.
Hak itu, dikeluarkan Dirjen Pemerintahan Umum dan otonomi daerah
(PUOD) 19 februari tahun lalu. Kala Dirjen PUOD masih dijabat Warsito
Rasman-kini Gubernur Kalteng. Namun hak baru diumumkan Kamis,(19/1)
lalu. Saat ini, PT Arbamass telah menguji coba kendalinya itu di empat
wilayah, yaitu Kalbar, Irja, Sulsel, dan Bali.
Tata niaga minuman keras itu diberlakukan dengan mengeluarkan
stiker khusus yang harus ditempelkan pada minuman yang
diperjualbelikan. “Ini untuk mengontrol penjualan minuman beralkohol
yang sekarang ini tidak sinkron pengawasannya,”jelas Emir Baramuli,
Presdir PT Arbamass.
Stiker tersebut harus ditempelkan disetiap botol minuman
beralkohol yang akan dipasarkan. Harga sticker bergantung dari kadar
alkohol yang diperjualbelikan. “Pedagang besar minuman keras (PBMK)
yang mendapat ijin dari Departemen Kesehatan, dan para penyalur harus
terlebih dahulu membeli sticker, sebelum mengedarkan minuman
beralkohol” tambah Emir. Dan sticker ini dapat dibeli pada PT
Arbamass. Minuman yang dijual tanpa sticker itu akan terkena razia.
Jadi mau tak mau produsen pasti antri sticker ke PT Arbamass.
Menurut Ari Sigit dan Emir Baramuli, pengontrolan ini bukan hanya
akan meningkatkan hasil restribusi dan pajak bagi pemerintah daerah,
tetapi juga dapat mengurangi kebringasan akibat minuman keras
dikalangan anak muda.
Hal yang luput disebut oleh keduanya, adalah keuntungan yang PT
Arbamass setelah mendapat hak monopoli ini. Harga stiker untuk minuman
keras kategori A ( alkohol 0-5%). Misalnya bir, sebesar Rp 600,-.
Sedangkan untuk kategori B ( 5-20%) dan ( 20-55%), sebesar Rp 750.
untuk setiap stiker yang terpasang itu PT Arbamass mendapat jatah
keuntungan 15%. Artinya, dari setiap minuman keras golongan A yang
terjual. PT Arbamass mendapat untung 90,-. Dan dari golongan B+C
memperoleh jatah Rp 112,5,- per botol.
Menurut data yang dimiliki PT Arbamass tingkat konsumsi minuman
keras golongan A di seluruh Indonesia mencapai 295 juta botol
pertahunya. Dengan perhitungan ini, penghasilan PT Arbamass dari
minuman golongan A saja, mencapai Rp 26,55 Milyar pertahun. sementara
dari minuman keras golongan B, yang tingkat konsomsinya 93,9 juta
botol setiap tahunya, mereka mendapat Rp 10,563.750.000,- dari
golongan C yang tingkat konsumsinya 36 juta botol pertahun, mereka
mendapat 4,05 Milyar.Total seluruhnya PT Arbamass akan memperoleh Rp
41.163.750 ,000,- setiap tahunnya.
“Wajar kami mendapat (keuntungan) itu, karena kami menyediakan
tenaga dan anggaran awal untuk pengawasan ini,”Kata Emir Baramuli. Ia
mengaku PT Arbamass – yang didirikan 20 April 1994 – menanamkan modal
Rp 1-2 milyar di setiap propinsi untuk memegang tata niaga minuman
keras itu.
Hak monopoli yang diperoleh Ari ini, seperti jadi tradisi bisnis
keluarga presiden. Putra-putri presiden, atau ayah, bude, dan pakle
Ari, menikmatinya diberbagai sektor tata niaga cengkeh dan jeruk,
pemungutan iuran TV, komputerisasi STNK, atau pembangunan jalan tol.
Semuanya tentu sukses. Kalau tidak sukses, ada cara yang akan
ditemukan untuk mensukseskannya.
Di sektor pajak televisi, lewat PT Mekatama Raya, Tommy, menjadi
mitra TVRI dalam mengumpulkan iuran TV. Setiap pemilik TV berwarna
ditarik Rp 3000 dan hitam putih Rp 1500 per bulan. Dengan jumlah
televisi diseluruh Indonesia sekitar 10 juta, lebih dari Rp 20 milyar
diperoleh PT Mekatama Raya setahunnya.
Sukses yang paling kontroversial, bisa ditengok pada salah
seorang paman Ari, Hutomo Mandala Putra (Tommy). Ia mendapatkan hak
pengaturan perdagangan cengkeh dari Badan Penyangga Perdagangan
Cengkeh (BPPC), beberapa tahun silam.
Dari setiap kg cengkeh, yang harganya ditetapkan BPPC, Tommy mendapat
bagian Rp 1000,- Dengan monopoli ini harga cengkeh kian hari kian tak
menentu, bahkan pernah anjlok sampai Rp 3000 per kg. Dan stok cengkeh
pun menumpuk di BPPC, bahkan sampai 370 ribu ton. Untuk mengatasinya,
Tommy meminta para petani menebangi pohon cengkeh mereka.
Fasilitas kredit istimewa juga dinikmati BPPC dari Bank
Indonesia. Awalnya BPPC mendapat kredit likuiditas sebanyak Rp.750
milyar, kemudian ditambah lagi Rp. 130 milliar. Keseluruhanya
berjumlah Rp. 880 milliar, dan hingga saat ini pinjaman tersebut belum
terlunasi.
Macetnya pembayaran utang BPPC ke BI ini, cukup menyulitkan BI.
Sampai-sampai dua tahun lalu, pihak Bank Dunia menyatakan keprihatinan
terhadap BPPC dan tata niaga cengkeh. “Keuntungan BPPC dipungut dari
biaya petani, koperasi, sistem perbankan dan konsumen cengkeh,” kata
Bank Dunia. Meskipun telah menikmati keuntungan tinggi, rupanya BPPC
gagal mempertahankan harga beli cengkeh yang layak kepada petani.
Soalnya monopoli tidak cuma dipelajari Ari dari Tommy, tetapi dari
pamannya yang lain: Bambang Trihatmojo yang menguasai tata niaga
jeruk. Sistem tata niaga jeruk ini terutama dipusatkan di Kalimantan
Barat salah satu pusat penghasil jeruk di Indonesia.
PT Bimantara melalui PT Rajasri Sejahtera (RS) memperoleh kutipan
harga dari setiap jeruk yang diperdagangkan. PT RS mendapat jatah 10%
dari harga jual, dan sewa gedung plus ongkos bongkar muat Rp 1500 per
kilogram jeruk yang akan dilempar ke pasar.
Bank Dunia kembali mengungkapkan keprihatinannya. “Dalam teori,
monopoli perdagangan jeruk itu meletakkan harga dasar. Standar
kualitas. Kenyataannya, perusahaan menikmati kedudukan monoposoni
dalam perdagangan,” tulis Bank Dunia. Menurut pihak Bank Dunia, jalan
keluar satu-satunya, yang akan membawa keuntungan bagi rakyat, adalah
deregulasi, “perpaduan beleid lokal dengan gerakan deregulasi nasional
akan menambah daya pertumbuhan regional, efisiensi dan pemerataan,”
tambah mereka.
Tapi itu kan cuma suara-suara keprihatinan. Yang ketika
ditanggapi pun, nggak apa-apa. Buktinya sekarang ini: malah datang
lagi monopoli baru, tata niaga baru. Bagi sang cucu. (SAF)
+1 Keluarga
CUCU mantan Presiden Soeharto, Ary Sigit, kini sedang pusing berat
gara-gara istrinya, Gusti Maya Firanti Noor, ditangkap polisi saat
pesta shabu-shabu di sebuah hotel di Jakarta, Jumat (23/6) lalu. ”Mas
Ary sedang merenung, belum bisa diganggu,” kata Adhie Pramudji,
teman dekat Ary Sigit, saat Bali Post bertandang ke kediamannya di
Jalan Yusuf Adiwinata No. 6 Jakarta Pusat, Minggu (25/6) kemarin.
Sejak Maya ditahan polisi, kata Adhie Pramudji, Ary Sigit banyak
berubah. Dia benar-benar ingin menyendiri, tak mau diganggu. Pramudji
bercerita, kesedihan Ary menjadi berlipat-lipat ketika anak-anaknya
menanyakan di mana sang mama. ”Yang dapat dia lakukan hanyalah
memalingkan muka saat kesedihan tergambar di wajahnya. Lalu dia peluk
erat-erat anak-anaknya,” katanya.
Pramudji mengaku menerima telepon dari Ary setelah Maya ditangkap
polisi. Dalam teleponnya, Ary menyatakan penangkapan Maya merupakan
cobaan berat bagi dirinya. ”Saya harus bagaimana?” kata Pramudji
menirukan keluhan Ary. ”Saya sarankan agar dia menyendiri dan
merenung diri. Sebaiknya cobaan ini dipasrahkan kepada yang di atas
(Tuhan),” nasihat Pramudji kepada Ary. Tampaknya, Ary melaksanakan
nasihat itu. Dalam dua hari terakhir, Ary jarang terlihat di rumah.
Kini dia berada di suatu tempat, masih di wilayah DKI Jakarta, bersama
ketiga anaknya. Apa yang dilakukan Ary Sigit, kata Pramudji, sempat
membuat bingung keluarga besar Cendana. Mereka tidak mengerti, mengapa
Ary jarang ada di rumah. Namun setelah mendapat penjelasan Pramudji,
mereka sepakat tidak mengganggu privacy Ary. ”Saya katakan di mana
Ary sebenarnya, apa yang dilakukan, akhirnya keluarga memahami.
Mereka pun membiarkan Ary serius dengan renungannya,” katanya.
Kediaman Ary di Jalan Yusuf Adiwinata No. 6 Jakarta Pusat, Minggu
kemarin benar-benar sepi. Bahkan, seolah-olah rumah itu tak
berpenghuni. Dari luar terlihat pagar tembok dipadu dengan
jeruji-jeruji besi dalam ukuran kecil, menutup bagian muka halaman.
Jeruji-jeruji besi ini ditutup dari dalam oleh lembaran fiberglas
warna putih. Warna itu senada dengan warna tembok.
Di halaman rumah terdapat empat pohon palem. Kehadiran keempat palem
tersebut memberi kesan lapang pada sisi depan halaman rumah. Kesan ini
diperkuat oleh kekokohan sebatang pohon trembesi. Daun dan buahnya
bukan hanya meredupi halaman, tetapi sudah menjulur ke jalan.
Bangunan inti terdiri atas tiga pendopo. Satu berada di depan, dua
lainnya mengapit di belakang. Pada sisi muka pendopo depan terdapat
dua soko guru ukuran sedang. Di sepanjang soko guru berukir stil Bali.
Minggu kemarin, terlihat enam mobil parkir di halaman rumah, di
antaranya Mitsubshi Lancer, Nissan, BMW dan Mercy Baby Benz. Teman
dekat Ary Sigit, Adhie Pramudji mengatakan, mobil-mobil itu tidak
semuanya milik Ary. Ada beberapa milik omnya Ary, beberapa lainnya
milik teman Ary.
Beberapa keterangan yang dihimpun Bali Post mengatakan, rumah di Jalan
Yusuf Adiwinata memang kediaman Ary-Maya dan ketiga anak mereka. Namun
sehari-harinya, mereka juga tinggal di rumah ayahanda Ary, Sigit
Hardjojudanto, di Jalan Yusuf Adiwinata No. 12. Kedua rumah itu tidak
jauh dari tempat tinggal Soeharto di Jalan Cendana dan rumah Siti
Hardiyanti Rukmana (Tutut) di Jalan Rasamala.
Ketika kemarin Bali Post konfirmasi ke kediaman Sigit, karyawan di
sana mengatakan Ary tidak berada di tempat. Ditanya ke mana Ary pergi
terkait dengan penahanan Maya, karyawan itu tak mau memberi
penjelasan. ”Saya enggak tahu, mas. Berita tentang Ibu Maya juga kami
dengar dari koran. Maaf mas, saya benar-benar enggak tahu,” ujarnya
seraya bergegas masuk rumah.
Sementara itu, tim kuasa hukum Soeharto mengaku mendengar berita
penangkapan Maya bukan dari keluarga Cendana, melainkan dari media
massa. Tim kuasa hukum Soeharto juga tidak diminta untuk menjadi
pembela Maya. Salah seorang anggota tim kuasa hukum Soeharto, M.
Assegaf menjelaskan, keberadaan tim hanya untuk kepentingan hukum
Soeharto secara pribadi. ”Kami bekerja secara tim untuk membela Pak
Harto secara pribadi, bukan untuk keluarga Cendana,” tegas Assegaf.
Jika ada anggota tim kuasa hukum Soeharto yang menjadi pembela
putra-putri mantan presiden itu, kata Assegaf, mereka itu bekerja atas
nama pribadi
———————————————————————————
+1 Narkoba
Kalau memang pemerintah mau perang lawan narkoba, yang mesti disikat dulu
adalah ARI SIGIT SOEHARTO. Ari Sigit yang relatif masih muda umurnya ini
punya business empire yang dibiayai oleh narkoba.
Semua rahasia umum bahwa Ari Sigit adalah boss nomor 1 untuk jaringan
narkoba di Indonesia, mulai dari Ecstasy sampai dengan heroin. Yang aneh
adalah kenapa orang celaka ini bisa bebas terus dan tanpa bisa ada yang
stop-in dia. Aneh bukan. Dibawah Ari Sig it ada jaringan pengedar narkoba
yang dukung orang-orang TNI sebagai muscle enforcer (atau tukang
pukulnya). Gus Dur aja udah bilang bahwa polisi dan militer juga terlibat.
Setelah itu barulah pengedar menengah dan kecil yang merembak di
mana-mana.
Boleh-boleh aja ratifikasi hukuman yang ada supaya lebih berat. Katanya
malah mau pakai sistem hukuman mati segala. Tidak salah memang, baik-baik
saja.
Apabila Ari Sigit Soeharto dan pembesar-pembesar TNI/polisi tidak pernah
bisa disikat, rasanya hukuman seberat apapun tidak akan mengurangi
jaringan narkoba. Hukuman hanya dikenakan kepada pemakai dan pengedar
kelas jalanan. Bukan sindikat utamanya. TNI/p olisi sendiri ada conflict
of interests untuk memberantas narkoba. Masak TNI/polisi mau
sungguh-sungguh memerangi narkoba dan menghancurkan sumber uang untuk
mereka sendiri?
Kalau Amerika atau Eropa sulit memberantas narkoba, salah satu alasan
utamanya adalah boss-boss utamanya ada diluar negeri, seperti di Columbia
(Medellin dan Cali). Di Indonesia, boss utamanya Ari Sigit Soeharto ada di
dalam negeri. Kakeknya juga ada dida lam negeri. Dua-duanya juga terlibat
dan perlu dihabiskan dulu. Kalau tidak, narkoba akan sulit diperangi.
Waktu Soeharto masih berkuasa, narkoba peredarannya “terbatas” karena Ari
Sigit ini masih dibatasi Soeharto sendiri. Setelah Soeharto turun, dia pun
membiarkan Ari Sigit untuk mengganas karena Soeharto ingin negara ini
repot menghadapi narkoba dan menjadi kacau. Dengan begitu, dendam Soeharto
terhadap negara Indonesia bisa dilampiaskan. Dan juga, supaya Indonesia
“sibuk” sehingga tidak bisa mengejar kejahatan-kejahatannya.
***Tambahan***
TOMMY DAN ARI SIGIT BISNIS ILEGAL DI VICTORIA
JAKARTA (PasaR, 13/10/98), Polisi negara bagian Victoria sekarang
sedang memburu kebenaran informasi bahwa dua anggota keluarga Cendana
terlibat perdagangan narkotika di negara tersebut. Dua orang keluarga
Cendana itu adalah Hutomo Mandala Putra (Tommy) dan sepupunya, Ari Sigit
Hardjojudanto (lihat juga kutipan the Age oleh SiaR tanggal 3 Oktober 1998).
Keterlibatan kedua anggota keluarga Soeharto tersebut terungkap
dalam memorandum internal Kepolisian Federal Australia yang diterima majalah
The Age awal bulan ini. Dalam terbitannya tertanggal 3 Oktober 1998, The Age
menyoroti keberanian pemerintah Australia dalam membongkar kerajaan bisnis
yang dibangun oleh keluarga bekas presiden, yang menguasai banyak kekayaan
pribadi dan hubungan-hubungan bisnis dengan keluarga presiden yang sekarang,
Habibie.
“Kepolisian Victoria sedang menyelidiki barang-barang ilegal dari
Indonesia yang didalamnya anggota keluarga Soeharto diduga terlibat,”
demikian isi memorandum tertanggal 25 Agustus 1998 itu.
Sampai saat ini, kepolisian setempat sudah berhasil menangkap 4
orang, dan Tommy adalah salah satunya.. Mereka digerebek ketika berada di
sebuah rumah di Hawthorn tanggal 27 Agustus lalu. Dalam penggerebekan itu
polisi berhasil menyita 200 gram obat bius jenis methylamphetamine (Ice),
sebagai barang bukti.
Selain dugaan terlibat perdagangan ilegal tersebut, keluarga
Soeharto saat ini juga sedang menghadapi investigasi atas dugaan kekayaannya
yang diperoleh dengan monopoli dengan bantuan pemerintah dan
kontrak-kontrak bisnis.
Sudah menjadi rahasia umum di Jakarta, bahwa selama ini Ari Sigit merupakan
“orang penting” dalam bisnis narkotika dan pil gedhek di sejumlah klub
malam ibukota. Peristiwa tewasnya Aldi beberapa waktu lalu yang melibatkan
Ria Irawan itu pun berkaitan dengan pekejaan Ari dalam bisnis haram.***
Tags: #TommyWinata #TomyWinata #TomiWinata
No comments:
Post a Comment