Apa yang terjadi selama ini sebetulnya bukanlah kasus yang
sebenarnya, tetapi hanya sebuah ujung dari konspirasi besar yang memang
bertujuan mengkriminalisasi institusi KPK. Dengan cara terlebih dahulu
mengkriminalisasi pimpinan, kemudian menggantinya sesuai dengan
orang-orang yang sudah dipilih oleh “sang sutradara”, akibatnya,
meskipun nanti lembaga ini masih ada namun tetap akan dimandulkan.
Agar
Anda semua bisa melihat persoalan ini lebih jernih, mari kita telusuri
mulai dari kasus Antasari Azhar. Sebagai pimpinan KPK yang baru,
menggantikan Taufiqurahman Ruqi, gerakan Antasari memang luar biasa. Dia
main tabrak kanan dan kiri, siapa pun dibabat, termasuk besan Presiden
SBY.
Antasari yang disebut-sebut sebagai orangnya Megawati
(PDIP), ini tidak pandang bulu karena siapapun yang terkait korupsi
langsung disikat. Bahkan, beberapa konglomerat hitam — yang kasusnya
masih menggantung pada era sebelum era Antasari, sudah masuk dalam
agenda pemeriksaaanya.
Tindakan Antasari yang hajar kanan-kiri,
dinilai Jaksa Agung Hendarman sebagai bentuk balasan dari sikap
Kejaksaan Agung yang tebang pilih, dimana waktu Hendraman jadi
Jampindsus, dialah yang paling rajin menangkapi Kepala Daerah dari
Fraksi PDIP. Bahkan atas sukses menjebloskan Kepala Daerah dari PDIP,
dan orang-orang yang dianggap orangnya Megawati, seperti ECW Neloe, maka
Hendarman pun dihadiahi jabatan sebagai Jaksa Agung.
Setelah
menjadi Jaksa Agung, Hendarman makin resah, karena waktu itu banyak
pihak termasuk DPR menghendaki agar kasus BLBI yang melibatkan banyak
konglomerat hitam dan kasusnya masih terkatung –katung di Kejaksaan dan
Kepolisian untuk dilimpahkan atau diambilalih KPK. Tentu saja hal ini
sangat tidak diterima kalangan kejaksaan, dan Bareskrim, karena selama
ini para pengusaha ini adalah tambang duit dari para aparat Kejaksaan
dan Kepolisian, khususnya Bareskrim. Sekedar diketahui Bareskrim adalah
supplier keungan untuk Kapolri dan jajaran perwira polisi lainnya.
Sikap
Antasari yang berani menahan besan SBY, sebetulnya membuat SBY sangat
marah kala itu. Hanya, waktu itu ia harus menahan diri, karena dia harus
menjaga citra, apalagi moment penahanan besannya mendekati Pemilu,
dimana dia akan mencalonkan lagi. SBY juga dinasehati oleh orang-orang
dekatnya agar moment itu nantinya dapat dipakai untuk bahan kampanye,
bahwa seorang SBY tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. SBY
terus mendendam apalagi, setiap ketemu menantunya Anisa Pohan , suka
menangis sambil menanyakan nasib ayahnya.
Dendam SBY yang
membara inilah yang dimanfaatkan oleh Kapolri dan Jaksa Agung untuk
mendekati SBY, dan menyusun rencana untuk “melenyapkan” Antasari. Tak
hanya itu, Jaksa Agung dan Kapolri juga membawa konglomerat hitam
pengemplang BLBI [seperti Syamsul Nursalim, Agus Anwar, Liem Sioe Liong,
dan lain-lainnya), dan konglomerat yang tersandung kasus lainnya
seperti James Riyadi (kasus penyuapan yang melibatkan salah satu putra
mahkota Lippo, Billy Sindoro terhadap oknun KPPU dalam masalah
Lipo-enet/Astro, dimana waktu itu Billy langsung ditangkap KPK dan
ditahan), Harry Tanoe (kasus NCD Bodong dan Sisminbakum yang selama
masih mengantung di KPK), Tommy Winata (kasus perusahaan ikan di
Kendari, Tommy baru sekali diperiksa KPK), Sukanto Tanoto (penggelapan
pajak Asian Agri), dan beberapa konglomerat lainnya].
Para
konglomerat hitam itu berjanji akan membiayai pemilu SBY, namun mereka
minta agar kasus BLBI , dan kasus-kasus lainnya tidak ditangani KPK.
Jalur pintas yang mereka tempuh untuk “menghabisi Antasari “ adalah
lewat media. Waktu itu sekitar bulan Februari- Maret 2008 semua wartawan
Kepolisian dan juga Kejaksaan (sebagian besar adalah wartawan brodex –
wartawan yang juga doyan suap) diajak rapat di Hotel Bellagio Kuningan.
Ada dana yang sangat besar untuk membayar media, di mana tugas media
mencari sekecil apapun kesalahan Antasari. Intinya media harus
mengkriminalisasi Antasari, sehingga ada alasan menggusur Antasari.
Nyatanya,
tidak semua wartawan itu “hitam”, namun ada juga wartawan yang masih
putih, sehingga gerakan mengkriminalisaai Antasari lewat media tidak
berhasil.
Antasari sendiri bukan tidak tahu gerakan-gerakan yang dilakukan Kapolri dan Jaksa Agung yang di back up
SBY untuk menjatuhkannya. Antasari bukannya malah nurut atau takut,
justeru malah menjadi-hadi dan terkesan melawan SBY. Misalnya Antasari
yang mengetahui Bank Century telah dijadikan “alat” untuk mengeluarkan
duit negara untuk membiayai kampanye SBY, justru berkoar akan membongkar
skandal bank itu. Antasari sangat tahu siapa saja operator –operator
Century, dimana Sri Mulyani dan Budiono bertugas mengucurkan duit dari
kas negara, kemudian Hartati Mudaya, dan Budi Sampurna, (adik Putra
Sanpurna) bertindak sebagai nasabah besar yang seolah-olah menyimpan
dana di Century, sehingga dapat ganti rugi, dan uang inilah yang
digunakan untuk biaya kampanye SBY.
Tentu saja, dana tersebut
dijalankan oleh Hartati Murdaya, dalam kapasitasnya sebagai Bendahara
Paratai Demokrat, dan diawasi oleh Eddy Baskoro plus Djoko Sujanto
(Menkolhukam) yang waktu itu jadi Bendahara Tim Sukses SBY. Modus
penggerogotan duit Negara ini biar rapi maka harus melibatkan orang bank
(agar terkesan Bank Century diselamatkan pemerintah), maka ditugaskan
lah Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri), yang kabarnya akan dijadikan
Gubernur BI ini. Agus Marto lalu menyuruh Sumaryono (pejabat Bank
Mandiri yang terkenal lici dan korup) untuk memimpin Bank Century saat
pemerintah mulai mengalirkan duit 6,7 T ke Bank Century.
Antasari
bukan hanya akan membongkar Century, tetapi dia juga mengancam akan
membongkar proyek IT di KPU, dimana dalam tendernya dimenangkan oleh
perusahaannya Hartati Murdaya (Bendahara Demokrat). Antasari sudah
menjadi bola liar, ia membahayakan bukan hanya SBY tetapi juga
Kepolisian, Kejaksaan, dan para konglomerat , serta para innercycle
SBY. Akhirnya Kapolri dan Kejaksaan Agung membungkam Antasari. Melalui
para intel akhirnya diketahui orang-orang dekat Antasari untuk
menggunakan menjerat Antasari.
Orang pertama yang digunakan
adalah Nasrudin Zulkarnaen. Nasrudin memang cukup dekat Antasari sejak
Antasari menjadi Kajari, dan Nasrudin masih menjadi pegawai. Maklum
Nasrudin ini memang dikenal sebagai Markus (Makelar Kasus). Dan ketika
Antasari menjadi Ketua KPK, Nasrudin melaporkan kalau ada korupsi di
tubuh PT Rajawali Nusantara Indonesia (induk Rajawali Putra Banjaran).
Antasari minta data-data tersebut, Nasrudin menyanggupi, tetapi dengan
catatan Antasari harus menjerat seluruh jajaran direksi PT Rajawali, dan
merekomendasarkan ke Menteri BUMN agar ia yang dipilih menjadi dirut PT
RNI, begitu jajaran direksi PT RNI ditangkap KPK.
Antasari
tadinya menyanggupi transaksi ini, namun data yang diberikan Nasrudin
ternyata tidak cukup bukti untuk menyeret direksi RNI, sehingga Antasari
belum bisa memenuhi permintaan Nasrudin. Seorang intel polsi yang
mencium kekecewaan Nasrudin, akhirnya mengajak Nasrudin untuk bergabung
untuk melindas Antasari. Dengan iming-iming, jasanya akan dilaporkan ke
Presiden SBY dan akan diberi uang yang banyak, maka skenario pun
disusun, dimana Nasrudin disuruh mengumpan Rani Yulianti untuk menjebak
Antasari.
Rupanya dalam rapat antara Kapolri dan Kejaksaan,
yang diikuti Kabareskrim. melihat kalau skenario menurunkan Antasari
hanya dengan umpan perempuan, maka alasan untuk mengganti Antasari
sangat lemah. Oleh karena itu tercetuslah ide untuk melenyapkan
Nasrudin, dimana dibuat skenario seolah yang melakukan Antasari. Agar
lebih sempurna, maka dilibatkanlah pengusaha Sigit Hario Wibisono.
Mengapa polisi dan kejaksaan memilih Sigit, karena seperti Nasrudin,
Sigit adalah kawan Antasari, yang kebetulan juga akan dibidik oleh
Antasari dalam kasus penggelapan dana di Departemen Sosial sebasar Rp
400 miliar.
Sigit yang pernah menjadi staf ahli di Depsos ini
ternyata menggelapakan dana bantuan tsunami sebesar Rp 400 miliar.
Sebagai teman, Antasari, mengingatkan agar Sigit lebih baik mengaku,
sehingga tidak harus “dipaksa KPK”. Nah Sigit yang juga punya hubungan
dekat dengan Polisi dan Kejaksaan, mengaku merasa ditekan Antasari. Di
situlah kemudian Polisi dan Kejaksaan melibatkan Sigit dengan meminta
untuk memancing Antasari ke rumahnya, dan diajak ngobrol seputar
tekana-tekanan yang dilakukan oleh Nasrudin. Terutama, yang berkait
dengan “terjebaknya: Antasari di sebuah hotel dengan istri ketiga
Nasrudin.
Nasrudin yang sudah berbunga-bunga, tidak pernah
menyangka, bahwa akhirnya dirinyalah yang dijadikan korban, untuk
melengserkan Antasari selama-laamnya dari KPK. Dan akhirnya disusun
skenario yang sekarang seperti diajukan polisi dalam BAP-nya. Kalau mau
jujur, eksekutor Nasrudin buknalah tiga orang yangs sekarang ditahan
polisi, tetapi seorang polisi (Brimob ) yang terlatih.
Bibit dan Chandra. Lalu
bagaimana dengan Bibit dan Chandra? Kepolisian dan Kejaksaan berpikir
dengan dibuinya Antasari, maka KPK akan melemah. Dalam kenyataannya,
tidak demikian. Bibit dan Chandra , termasuk yang rajin meneruskan
pekerjaan Antasari. Seminggu sebelum Antasari ditangkap, Antasari pesan
wanti-wanti agar apabila terjadi apa-apa pada dirinya, maka penelusuran
Bank Century dan IT KPU harus diteruskan.
Itulah sebabnya KPK
terus akan menyelidiki Bank Century, dengan terus melakukan
penyadapan-penyadapan. Nah saat melakukan berbagai penyadapan,
nyangkutlah Susno yang lagi terima duit dari Budi Sammpoerna sebesar Rp
10 miliar, saat Budi mencairkan tahap pertama sebasar US $ 18 juta atau
180 miliar dari Bank Century. Sebetulnya ini bukan berkait dengan peran
Susno yang telah membuat surat ke Bank Century (itu dibuat seperti itu
biar seolah–olah duit komisi), duit itu merupakan pembagian dari hasil
jarahan Bank Century untuk para perwira Polri. Hal ini bisa dipahami,
soalnya polisi kan tahu modus operansi pembobolan duit negara melalui
Century oleh inner cycle SBY.
Bibit dan Chandra adalah
dua pimpinan KPK yang intens akan membuka skandal bank Bank Century.
Nah, karena dua orang ini membahayakan, Susno pun ditugasi untuk
mencari-cari kesalahan Bibit dan Chandra. Melalui seorang Markus (Eddy
Sumarsono) diketahui, bahwa Bibit dan Chandra mengeluarkan surat cekal
untuk Anggoro. Maka dari situlah kemudian dibuat Bibit dan Chandra
melakukan penyalahgunaan wewenang.
Nah, saat masih dituduh
menyalahgunakan wewenang, rupanya Bibit dan Chandra bersama para
pengacara terus melawan, karena alibi itu sangat lemah, maka disusunlah
skenario terjadinya pemerasan. Di sinilah Antasari dibujuk dengan
iming-iming, ia akan dibebaskan dengan bertahap (dihukum tapi tidak
berat), namun dia harus membuat testimony, bahwa Bibit dan Chandra
melakukan pemerasan.
Berbagai cara dilakukan, Anggoro yang
memang dibidik KPK, dijanjikan akan diselsaikan masalahnya Kepolisian
dan Jaksa, maka disusunlah berbagai skenario yang melibatkanAnggodo,
karena Angodo juga selama ini sudah biasa menjadi Markus. Persoalan
menjadi runyam, ketika media mulai mengeluarkan sedikir rekaman yang ada
kalimat R1-nya. Saat dimuat media, SBY konon sangat gusar, juga
orang-orang dekatnya, apalagi Bibit dan Chandra sangat tahu kasus Bank
Century. Kapolri dan Jaksa Agung konon ditegur habis Presiden SBY agar
persoalan tidak meluas, maka ditahanlah Bibit dan Chandra ditahan. Tanpa
diduga, rupanya penahaan Bibit dan Chandra mendapat reaksi yang luar
biasa dari publik maka Presiden pun sempat keder dan menugaskan Denny
Indrayana untuk menghubungi para pakar hokum untuk membentuk Tim Pencari
Fakta (TPF).
Demikian, sebetulnya bahwa ujung persoalan adalah
SBY, Jaksa Agung, Kapolri, Joko Suyanto, dan para kongloemrat hitam,
serta innercycle SBY (pengumpul duit untk pemilu legislative dan
presiden). RASANYA ENDING PERSOALAN INI AKAN PANJANG, KARENA SBY PASTI
TIDAK AKAN BERANI BERSIKAP. Satu catatan, Anggoro dan Anggodo, termasuk
penyumbang Pemilu yang paling besar.
Jadi mana mungkin Polisi atau Jaksa, bahkan Presiden SBY sekalipun berani menagkap Anggodo!
Sumber:
http://faktakriminalisasi.wordpress.com/2009/11/12/fakta-di-balik-kriminalisasi-kpk-dan-keterlibatan-sby/
Tags: #TommyWinata #TomyWinata #TomiWinata
No comments:
Post a Comment