TOMMY
Winata layak tercatat dalam Guinness Book of Records. Dialah pengusaha
yang berhasil membeli sebuah bank dengan harga termurah di dunia.
Bayangkan, Tommy membeli saham Bank Artha Prima (BAP) hanya dengan Rp 1
per lembarnya. Total uang yang harus dikeluarkan dari koceknya cuma Rp
35 ribu. Namun, keajaiban belum selesai. Tommy juga mendapat fasilitas
kredit lunak Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 1,2 triliun untuk membenahi
bank itu-kemudian berubah nama menjadi Bank Artha Pratama.
Ingin dengar ceritanya? Pada 1995, PT Gunung Agung punya utang besar yang tak dapat dibayarnya. Perusahaan itu lalu menjual BAP miliknya kepada PT Jagata Primabumi, yang dipimpin oleh Hedijanto, bendahara Yayasan Dharmais, salah satu yayasan Soeharto. Belakangan, diketahui pula bahwa di balik Hedijanto ada nama Kim Johannes-pengusaha asal Medan yang pernah berkongsi dengan Nyonya Tien Soeharto dan Bambang Trihatmodjo.
Dalam kesepakatan, Hedijanto tak perlu membayar Gunung Agung. Dia cukup melunasi utang Gunung Agung ke pihak ketiga. Sial, utang yang dialihkan itu sama sekali tidak dibayar, malah Hedijanto menerbitkan promes (surat pengakuan utang jangka pendek) atas nama BAP senilai Rp 324,2 miliar. Ketika surat berharga itu jatuh tempo dan pihak bank tidak mampu membayar, Hedijanto menyerahkan BAP yang kian babak-belur ke Bank Indonesia, 15 Oktober 1995.
Begitulah kelakuan para pengusaha Indonesia: memerkosa bank habis-habisan, lalu meminta BI (negara dan rakyat) untuk menanggung risikonya.
Pada awal 1997, BI menawarkan BAP kepada Tommy Winata, yang kemudian menerimanya. Menurut Tommy, BAP ini sudah pernah ditawarkan ke Bank Artha Graha miliknya pada 1995, tapi dia mengaku tak tertarik kala itu. Kenapa kali ini dia tertarik?
Dari sisi bisnis sangat mudah dipahami: Tommy hampir tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Hanya sekadar formalitas, dia harus membeli saham BAP senilai Rp 1 rupiah saja. Dan apa imbalan untuk Tommy? Sejumlah media menulis bahwa dalam kesepakatan dengan Hendrobudijanto, direktur pengawasan BI kala itu, Tommy memperoleh kemudahan berupa kredit sebesar Rp 1,2 triliun.
Pinjaman BI itu terhitung sangat lunak: grace period-nya 15 tahun, dengan rentang waktu pembayaran 10 tahun, dan bunganya benar-benar aduhai, yakni 6 persen. Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) kala itu sekitar 13-14 persen, sementara bunga deposito 18 persen. Tak aneh jika Tommy, seperti dia akui sendiri, "mendapat income lumayan" yang "keuntungannya kita gunakan untuk memperbaiki BAP."
Dalam wawancara dengan TEMPO, Tommy mengaku bahwa uang yang benar-benar dia terima hanyalah Rp 530 miliar, yakni fasilitas BI untuk menyehatkan bank yang terpuruk itu. Uang selebihnya, yakni Rp 670 miliar, menurut Tommy, sudah dicairkan oleh pemilik lama.
Namun, bahkan jikapun cerita Tommy ini benar, dia tetap tidak akan menanggung kerugian BI, baik Rp 670 miliar yang dipakai direksi BAP lama maupun promes buatan PT Jagata Primabumi. Pada Juni 1997, Kepolisian Daerah Metro Jaya menahan tujuh mantan direksi dan pemegang saham BAP dari kelompok Gunung Agung. Mereka mengaku diteror secara mental dan dipaksa menandatangani kesepakatan untuk kembali menanggung utang Gunung Agung plus promes yang dikeluarkan Hedijanto.
"Kami benar-benar tak berdaya. Sebab, siapa tidak tahu hubungan antara Hedijanto dan Presiden Soeharto waktu itu?" kata Tanto Sudiro, Direktur Utama Gunung Agung. Mereka juga diancam agar tidak mempersoalkan komitmen tersebut di kemudian hari.
Tanto menuduh Tommy berada di balik semua itu. "Kawan-kawan kami ditangkap setelah Tommy berbicara dengan Kapolda," kata Tanto. Kini, untuk semua perlakuan itu, Gunung Agung menggugat Tommy Rp 1,7 triliun, yang sidang pertamanya digelar awal Mei 1999 lalu.
Tommy membantah tudingan Tanto. Dia bahkan merasa berjasa telah membantu BI menyelamatkan sebuah bank yang kolaps. Setelah diambil alih Kelompok Artha Graha, kata dia, BAP kini menjadi bank yang sehat. "Sekitar 10 persen dari kredit macet BAP bisa kembali lancar. Bahkan, pinjaman BI untuk penyembuhan BAP masih disimpan dalam bentuk SBI," katanya.
Logis saja. Tommy bisa melakukan hal itu berkat fasilitas yang demikian "dermawan" tanpa harus menanggung kerugian BI-kerugian rakyat Indonesia.
Ingin dengar ceritanya? Pada 1995, PT Gunung Agung punya utang besar yang tak dapat dibayarnya. Perusahaan itu lalu menjual BAP miliknya kepada PT Jagata Primabumi, yang dipimpin oleh Hedijanto, bendahara Yayasan Dharmais, salah satu yayasan Soeharto. Belakangan, diketahui pula bahwa di balik Hedijanto ada nama Kim Johannes-pengusaha asal Medan yang pernah berkongsi dengan Nyonya Tien Soeharto dan Bambang Trihatmodjo.
Dalam kesepakatan, Hedijanto tak perlu membayar Gunung Agung. Dia cukup melunasi utang Gunung Agung ke pihak ketiga. Sial, utang yang dialihkan itu sama sekali tidak dibayar, malah Hedijanto menerbitkan promes (surat pengakuan utang jangka pendek) atas nama BAP senilai Rp 324,2 miliar. Ketika surat berharga itu jatuh tempo dan pihak bank tidak mampu membayar, Hedijanto menyerahkan BAP yang kian babak-belur ke Bank Indonesia, 15 Oktober 1995.
Begitulah kelakuan para pengusaha Indonesia: memerkosa bank habis-habisan, lalu meminta BI (negara dan rakyat) untuk menanggung risikonya.
Pada awal 1997, BI menawarkan BAP kepada Tommy Winata, yang kemudian menerimanya. Menurut Tommy, BAP ini sudah pernah ditawarkan ke Bank Artha Graha miliknya pada 1995, tapi dia mengaku tak tertarik kala itu. Kenapa kali ini dia tertarik?
Dari sisi bisnis sangat mudah dipahami: Tommy hampir tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Hanya sekadar formalitas, dia harus membeli saham BAP senilai Rp 1 rupiah saja. Dan apa imbalan untuk Tommy? Sejumlah media menulis bahwa dalam kesepakatan dengan Hendrobudijanto, direktur pengawasan BI kala itu, Tommy memperoleh kemudahan berupa kredit sebesar Rp 1,2 triliun.
Pinjaman BI itu terhitung sangat lunak: grace period-nya 15 tahun, dengan rentang waktu pembayaran 10 tahun, dan bunganya benar-benar aduhai, yakni 6 persen. Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) kala itu sekitar 13-14 persen, sementara bunga deposito 18 persen. Tak aneh jika Tommy, seperti dia akui sendiri, "mendapat income lumayan" yang "keuntungannya kita gunakan untuk memperbaiki BAP."
Dalam wawancara dengan TEMPO, Tommy mengaku bahwa uang yang benar-benar dia terima hanyalah Rp 530 miliar, yakni fasilitas BI untuk menyehatkan bank yang terpuruk itu. Uang selebihnya, yakni Rp 670 miliar, menurut Tommy, sudah dicairkan oleh pemilik lama.
Namun, bahkan jikapun cerita Tommy ini benar, dia tetap tidak akan menanggung kerugian BI, baik Rp 670 miliar yang dipakai direksi BAP lama maupun promes buatan PT Jagata Primabumi. Pada Juni 1997, Kepolisian Daerah Metro Jaya menahan tujuh mantan direksi dan pemegang saham BAP dari kelompok Gunung Agung. Mereka mengaku diteror secara mental dan dipaksa menandatangani kesepakatan untuk kembali menanggung utang Gunung Agung plus promes yang dikeluarkan Hedijanto.
"Kami benar-benar tak berdaya. Sebab, siapa tidak tahu hubungan antara Hedijanto dan Presiden Soeharto waktu itu?" kata Tanto Sudiro, Direktur Utama Gunung Agung. Mereka juga diancam agar tidak mempersoalkan komitmen tersebut di kemudian hari.
Tanto menuduh Tommy berada di balik semua itu. "Kawan-kawan kami ditangkap setelah Tommy berbicara dengan Kapolda," kata Tanto. Kini, untuk semua perlakuan itu, Gunung Agung menggugat Tommy Rp 1,7 triliun, yang sidang pertamanya digelar awal Mei 1999 lalu.
Tommy membantah tudingan Tanto. Dia bahkan merasa berjasa telah membantu BI menyelamatkan sebuah bank yang kolaps. Setelah diambil alih Kelompok Artha Graha, kata dia, BAP kini menjadi bank yang sehat. "Sekitar 10 persen dari kredit macet BAP bisa kembali lancar. Bahkan, pinjaman BI untuk penyembuhan BAP masih disimpan dalam bentuk SBI," katanya.
Logis saja. Tommy bisa melakukan hal itu berkat fasilitas yang demikian "dermawan" tanpa harus menanggung kerugian BI-kerugian rakyat Indonesia.
Tags: #TommyWinata #TomyWinata #TomiWinata
No comments:
Post a Comment