Oleh: Sri Bintang Pamungkas*
Pertimbangan Perlunya
Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(SI-MPRS)
Dalam situasi Negara yang kacau dan nyaris gagal
Ketika korupsi dan hutang asing oleh para pejabat negara menggerogoti habis keuangan Negara
Manakala
bumi, air dan kekayaan Negara di dalamnya dikuasai pihak asing
Sehingga tak tersisa bagi generasi muda Harapan bangsa
Pada saat konglomerat, 50 orang memiliki kekayaan 95 milyar usd,
140 milyar usd diparkir di luar negeri,
Dan sisanya Menguasai perekonomian nasional
Pada saat yang sama 120 juta rakyat pribumi Indonesia
Hidup sengsara di bawah garis kemiskinan 2 usd seorang sehari
Sementara itu,
Rencana Pemilu 2014 tidak memberikan harapan bagi perubahan situasi Negara yang lebih baik
Sementara itu pula Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi Negara
berpangku tangan tidak peduli akan nasib bangsa, rakyat dan Negara
maka Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
menjadi satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan Negara Proklamasi 1945.
Rancangan
Ketetapan-ketetapan
Sidang Istimewa
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 2014
Menetapkan Pembubaran Majelis permusyawaratan rakyat 2009-2014
Menetapkan undang-undang dasar 1945 (asli) berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Menetapkan absahnya keanggotaan dan sidang istimewamajelis permusyawaratan rakyat sementara 2014
Menetapkan memecat tidak dengan hormat soesilo bambang yudhoyono dan boediono dari kedudukannya sebagai presiden dan wakil presiden republik Indonesia, serta membubarkan kabinet
Menetapkan pembentukan presidium pemerintah transisi republik Indonesia setidak-tidaknya untuk waktu 3 (tiga) tahun
Menetapkan menunda pelaksanaan pemilihan umum 2014 sampai siapnya rakyat Indonesia dan terbitnya perundang-undangan untuk pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil
Menetapkan Pembentukan komisi konstitusi untuk menyusun adendum undang-undang dasar 1945 (asli) akan diselenggarakan dalam waktu yang singkat
Jakarta
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia
KATA PENGANTAR
Tidaklah berlebihan apabila saya menyatakan kecewa atas apa yang terjadi di Indonesia pasca Soeharto. Tidak hanya saya, tetapi banyak orang; bahkan rakyat seluruh Indonesia. Kalau melihat garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sejak 3-4 tahun ini, yaitu sebagai pendapatan seorang sehari sebesar 2 USD, atau sekitar 20 ribu Rupiah, di bawah itu ada separuh jumlah penduduk Indonesia yang 250 juta; maka kekecewaan saya itu sangat beralasan. Dan tentunya seratus juta lebih rakyat Indonesia yang miskin itu pasti mendukung kekecewaan saya itu, dan kekecewaan banyak orang yang lain.
Dan lalu ada penelitian yang menghasilkan kenyataan kontradiktif, bahwa ada 50 orang warga negara Indonesia yang kekayaannya pada tahun 2013 ini mencapai 95 milyar USD. Hampir 100 persen dari mereka adalah dari Etnis Cina Indonesia, ECI, yang memeroleh kekayaannya itu secara tidak bersih dan jujur; selain mereka memang piawai untuk berbuat seperti itu, juga didukung oleh para pejabat Negara. Angka itu bertambah dari tahun sebelumnya ke tahun berikutnya.
Dibanding penelitianku tahun 1993 menggunakan data 1992, yaitu ketika masih berada di bawah Rezim Soeharto, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 120 juta dengan garis kemiskinan 1000 Rupiah pengeluaran seorang sehari.Jadi sesudah bertahun-tahun keadaan rakyat Indonesia yang Pribumi tidak berubah. Jelas bukan Indonesia seperti itu yang menjadi cita-citaSoekarno-Hatta tatkala mereka berjuang melawan penjajahan dan kemudian berhasil memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ketika saya merasakan ikut serta menjatuhkan Rezim Soeharto, maka saya merasa menyesal bahwa kejatuhan Soeharto tidak membawa Indonesia menjadi lebih baik. Tentu saya, dan kawan-kawan kaum pergerakan lain, tidak menyesali kejatuhan Soeharto; kami menyesal telah membiarkan rezim-rezim berikutnya melakukan lesalahan-kesalahan yang sama sehingga rakyat, bangsa dan Negara tidak menjadi lebih baik, melainkan semakin menderita dibuatnya.
Terlebih-lebih menyesal, ketika kami mencoba berkali-kali menjatuhkan rezim-rezim jahat itu, mereka terasa terlalu kuat bagi kami. Sekalipun begitu, kami tidak akan berhenti untuk mencobanya lagi; seperti ketika kami berusaha berkali-kali juga mencobanya terhadap Soeharto selama 30 tahun lalu. Lalu berhasil. Soekarno-Hatta pun mencobanya berkali-kali; dan sesudah duapuluh tahunan kemudian, lalu berhasil merdeka dari para penjajah.
Keberhasilan menjatuhkan rezim jahat itu tergantung pula pada momen dan momentum. Soekarno-Hatta tidak akan berhasil kalau saja Belanda tidak ditaklukkan oleh Jepang; dan Jepang kalah oleh Sekutu. Masih belum pula Indonesia akan bisa diproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, seandainya Bung Karno dan Bung Hatta tidak diculik dibawa ke Rengas Dengklok, Bekasi Barat, oleh para pemuda berdarah revolusioner anak buah sjahrir. Kalau mereka tidak diculik, maka amat sangat mungkin Indonesia mengalami penjajahan oleh Sekutu Belanda, Inggris dan Amerika Serikat.
Demikian pula Soeharto tidak mungkin akan berhasil menyingkirkan Soekarno tanpa Peristiwa ’65, dan terbunuhnya tujuh jenderal. Sengaja atau tidak, Gerakan Letkol Untunglah, sebenarnya yang telah “menyelamatkan” rakyat Indonesia dari cengkeraman komunis PKI pada waktu itu. Tentulah kesadaran rakyat sendiri untuk mengakhiri penjajahan menjadi faktor penentu yang tidak bisa diingkari.
Republik Indonesia, beserta rakyatnya sekarang ini sedang menghadapi krisis politik yang pelik, berbahaya dan mernakutkan seperti menjelang terjadinya Peristiwa ’65. Kita tidak tahu persis apa jadinya, seandainya Letkol Untung dan kawan-kawannya tidak bergerak; dan lalu PKI, menang dalam sebuah Pemilu. Bayangannya, Indonesia pastilah akan menjadi Negara Komunis seperti di RRC atau Rusia. Dan tentulah itu sebuah era penjajahan baru, khususnya terhadap kaum Agama, oleh bangsa sendiri; lebih khusus terhadap Islam, sebagai Agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia dan, bahkan, yang terbesar di dunia. Sulit dibayangkan terjadinya jaman kehidupan yang samasekali tidak nyaman apabila kaum komunis menguasai Indonesia, apalagi melihat kekejaman mereka membaca kembali Peristiwa Madiun Affair 1948.
Sekarang ini, perasaan kekhawatiran dan miris-miris seperti pada menjelang 1965 itu terulang lagi. Bukan oleh bahaya penjajahan komunis, tetapi oleh berlanjutnya Rezim Penjajah dari bangsa sendiri sebagaimana terjadi sejak Orde Barumuncul yang semakin lama semakin menyiksa rakyat. Lalu ditambah dengan Rezim Asing yang terus-menerus mengincar dan menguasai kekayaan alam Indonesia hingga nyaris ludes seperti sekarang; dan Rezim ECI, yang dari hari ke hari semakin menguasai aspek sosial-ekonomi Indonesia, seperti terlihat dari dominasi mereka yang sudah dimulai sejaklama dan sekarang merambah ke aspek politik.
Itulah Tiga Gurita Raksasa yang sedang melilitdan mencengkeram Republik Indonesia saat ini; yang apabila tidak ada peristiwa yang mencegahnya, maka pada 2014 ini, juga melalui Pemilu, Indonesia dan rakyat Indonesia, ahli waris Nusantara ini, akan terjajah kembali. Sebut sajalah Gurita Raksasa pertama itu dengan Rezim; lalu dua Gurita Raksasa yang terakhir itu saya menyebutnya masing-masing dengan istilah Asing dan A Seng. Mereka sudah sejak lama ada dan memperlihatkan diri, paling tidak seumur Orde Baru. Akibat dari Rezim bangsa sendiri pulalah, maka Asing dan A Seng itubisa menancapkan tentakel-nya lebih kuat dan semakin kuat dari hari ke hari mencengkeram Republik Indonesia. Dengan dukungan Rezim bangsa sendiri itulah, mereka akan menjajah Pribumi Nusantara ini seperti pernah terjadi di Afrika Selatan.
Berikut ini adalah beberapa fakta kejadian. Darikhotbah Jumatnya Kyai Cholil Ridwan minggu lalu, beliau bercerita ketika memasuki sebuah hotel di Kalimantan Tengah, mestinya Palangkaraya, sesudah mendarat di Bandara Cilik Riwut. Beliau disambut oleh para karyawan hotel yang kesemuanya memakai pakaian “seragam Natal”. Beliau merasa sangsi kalau semua karyawan hotel merayakan Natal, karena itu disapanya salahsatu darimereka dan menanyakan apa agamanya. Kyai Cholil Ridwan mendapat jawaban, bahwa mereka umumnya beragama Islam. Lalu dari si Karyawan, Kyai Cholil mendapat jawaban, bahwa semua karyawan diwajibkan mengenakan “seragam Natal” itu, dan kalau tidak akan dipecat.
Tentulah kami berpikir, bahwa agama Nasrani adalah agama bangsa para penjajah; dan hanya karena toleransi kami, maka mereka bisa hidup di Nusantara dengan damai. Karena itupula kejadian di Palangkaraya itu adalah sesuatu yang mengagetkan, karena ini merupakan pelanggaran yang serius terhadap ketentuan Konstitusi. Bahkan dalam hatiku, ketika mendengarkan khotbah itu, ini adalah sebuah penjajahan! Luar biasa! Kami, orang-orang Pribumi dijajah oleh para Pendatang! Agama Islam yang kami anut, dipaksa oleh si Pendatang, dengan ancaman, untuk diabaikan. Ini baru satu pemilik hotel. Bagaimana kalau perekonomian Indonesia dikuasai mereka; dan bahkan sudah dikuasai mereka. Tinggal mereka belum membuat komando saja untuk mulai menjajah.
Posisiku sebagai orang Islam tidak beda dari orang-orang Islam pada umumnya di seluruh dunia. Kami diajar mengakui keberadaan para Nabi dan Rasul, dari Adam sampai Muhammad. Kami menghormati agama-agama mereka; tidak ada keinginan mau mengislamkan mereka sekiranya bukan atas kemauan mereka sendiri dan karena dibukakan hatinya oleh Allah SWT. Karena sudahlah jelas: “Agamamu adalah Agamamu; dan Agamaku adalah Agamaku! Kamu tidak akan mengikuti Agamaku dan Aku tidak mungkin pula mengikuti Agamamu!”Oleh sebab itu, jangan memaksakan Agamamu menjadi Agamaku!
Tetapi aku pernah bertemu dengan seorang intelektual Indonesia yang mengaku memeroleh doktornya, seperti aku juga, dari Amerika Serikat; bahkan sempat bersahabat sampai beberapa tahun. Tidak jelas agamanya; tetapi ketika dia mulai mencerca Islam, mungkin maksudnya orang Islam, aku mengatakan kepadanya untuk tidak mungkin berada pada satu meja dengannya. Secara sinis aku mengatakan kepadanya, bahwa buku-buku ilmu pengetahuan yang tebal-tebal itu sudah dilalapnya; masak mencari Tuhan saja harus berpuluh-puluh tahun dan tidak sanggup… Tiba-tiba saja aku berpikir dia tidak akan lama hidup; dan benar itu terjadi, dan bahkan aku tahu itu setelah lewat beberapa hari. Aku bertanya-tanya bagaimana dia mempertanggungjawabkan dirinya selama di dunia?!
Bagi kami jelas! Sejarah dunia membuktikan keberadaan Muhammad dan Firman Allah yang dibawanya; sama seperti kejadian pada Ibrahim, Musa dan Isa. Tetapi tidak seperti pendahulunya, Firman Allah yang dibawa Muhammad sudah lengkap, bahkan sempurna; karena Muhammad adalah yang terakhir. Tentang Mirza Gulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya tentu adalah sebuah kebohongan yang sengaja dibesar-besarkan oleh penjajah Inggris. Boleh-boleh saja Ahmadiyah menjadi sebuah kepercayaan, tetapi jangan mengaku-ngaku itu Islam dengan Nabinya yang Gulam Ahmad dan Kitabnya yang bukan al Quran; pastilah itu bermaksud merusak Islam.
Dan itu sebuah penghinaan. Dan kalau mau hidup dengan damai berdampingan dengan Islam, jangan sekali-kali menghina atau mencerca, ayat-ayatnya dan Rasulnya. Dan jangan pula sekali-kali mau mencoba mengkristenkan orang Islam, seperti yang dilakukan pemilik hotel di Palangkaraya itu. Sebab, itu bisa membuat marah; dan bisa menyulut perang.
Ini fakta lain lagi yang terjadi dalam Kerusuhan Mei 1998, menyangkut keluarga aktivis dan teman yang pernah cukup dekat, Christianto Wibisono. Dalam kerusuhan itu, konon, anak perempuannya ikut digagahi. Wajarlah apabila Chris marah dan menderita; tetapi dia tidak terbuka. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 itu pun tidak pernah dibuka dan lalu diselesaikan secara terbuka pula; hanya sebab para pelakunya adalah TNI. Sama seperti Peristiwa ’65 dan yang lain-lain.
Tetapi dendam Chris itu membuatnya memaklumkan “perang” terhadap Pribumi Indonesia. Bahkan lebih dari itu menjadi “perangsosial-politik”memperebutkan hegemoni atas sebuah bangsa, atas sebuah Tanah-Air, dan Ibu Pertiwiyang bernama Nusantara. Maka bersatulah dia dengan para Konglomerat dan Politisi Hitam Indonesia untuk menjadikan pasangan Jokowi (bin Oey Hong Liong) dan A Hok menjadi Gubernur dan Wakil Gunbernur DKI-Jakarta. Mereka memang dicari, dipilih lalu dipersiapkan; bahkan untuk memimpin Negara Republik Indonesia.Antara lain, karena Jokowi yang di-plot untuk menjadi RI-1 punyashioyangsama-sama kerbau dengan Bung Karno dan SBY. Mungkin dengan cara itu Chris merasa dendamnya dan dendam kawan-kawannya yang lain dari ECI akan terobati, selesai dan berakhir?!
Kenapa Christianto begitu dendamnya?! Coba pikirkan, seandainya pengalaman buruknya itu juga menimpa diriku, misalnya: Apakah saya akan mendendam seperti Chris?! Tentu tidak!! Saya akan taat hukum; saya akan buka itu perkara!! Kenapa tidak?! Karena jiwaku Nusantara!!Kenapa Chris tidak berbuat seperti saya?! Karena jiwa Chris tetap Cina!! Di situ bedanya!! Sesudah masuk menjadi warga negara Indonesia, dengan cara yang tidak berdasar hukum yang kuat, bahkan mungkin beberapa generasi, bangsa Cinanya masih melekat. Dia tidak mau mencari penyelesaian hukum. Dia takut kalah atau dikalahkankarena dia masih merasa menjadi Cina. Artinya, dia masih mengaku bukan bangsa Indonesia…
Memang sulit mencari tahu cara berpikir Chris dan kawan-kawannya sesama ECI itu. Mungkin Chris dan kawan-kawannya mengkhayal menjadi seperti orang-orang “bule-bule” Eropa yang bermigrasi ke Amerika Serikat lalu menggusur orang-orang Indian; atau penjahat-penjahat Inggris yang dibuang ke Australia itu lalu juga menggusur para Aborigin?! Boleh saja para pendatang itu mengaku dendam karena menjadi korban pembantaian para Indian; tetapi dunia juga mengakui para pendatang itu mencaplok tanah-tanah para Indian dan Aborigin itu dengan cara-cara kejam dan tidak manusiawi juga; bahkan membantainya juga…. Apa kiranya Chris juga memunyai pikiran gelap semacam itu??
Tentu itu keliru, Chris!! Kami bangsa Nusantara: Nusa-Anta-Tara. Artinya para “jagoan yang hidup di ribuan pulau”; tidak bisa disamakan dengan para Indian dan Aborigin itu. Pada saat Amerika Serikat mulai membantai para Indian itu, orang-orang Nusantara telah menguasai laut hingga pantai Timur Afrika hingga Barat Australi. Dan kami pernah mengusir tentara Tar-tar Kubilai Khan hingga tidak berani melewati lautan Nusantara; dan memilih membangun jalan sutera yang lamanya tiga kali lipat untuk mencapai Eropa.
Dan jangan pula berpikir untuk menguasai Nusantara seperti di jaman kaum Hotentot menguasai Afrika Selatan. Jangan berpikir untuk menjadi Peter Botha dan de Klerk, karena itu akan memunculkan Mandela-Mandela di antara para Pribumidan yang akan melakukan perlawanan habis-habisan. Jangan berpikir untuk mempertahankan diri sebagai bangsa Cina yang diberi kedudukan lebih tinggi daripada Pribumi seperti di jaman Belanda di Tanah Nusantara.Jangan pula meniru Fujimori yang lari kembali ke negeri asalnya. Tapi, berpikirlah untuk menjadi orang Indonesia yang sederhana dan bersahaja; mencermatiSejarah Kemerdekaan Indonesia, serta mentaati Konstitusi Indonesia, serta hidup berdampingan dan bergandengan tangan secara damai bersama para Pribumi Indonesia.
Tapi jangan berpikir itu akan segera tercapai! Amerika Serikat membutuhkan waktu lebih dari 240 tahun sebelum memberi kesempatan kepada Barack Obama!!Itu pun tanpa ada dominasi Hitam di atas Putih…! Jangan pula bermimpi seperti orang-orang Hotentot yang pendatang dan berhasil puluhan tahun menguasai Afrika Selatan itu, laluChris dan kawan-kawannya berpikir pula untuk menguasai Nusantara. Tentu Pribumi Nusantaratidak bisa diperlakukan sama seperti yang terjadi pada Mandela. Sebab, pada akhirnya, de Klerk dan kawan-kawannya bertekuk lutut pula; dan mereka menjadi orang-orang yang terusir.
Saya tidak tahu, sekiranya kawan-kawanku, bahkan sahabat-sahabatku, dari sejak di ITB,sekiranya bertemu muka;sampai beberapa hari lalu kami masih saling berucap Selamat Tahun Baru lewat SMS. Apakah mereka menjadi lain?! Hian Hok, Hok Djien, Kian On; dan Tiong Le yang konon sudah menjadi warga negara Amerika Serikat. Pada tahun 1964 itu kami sama-sama, bahkan antre berturutan, bersama Agus Suhud, Susatio Bambang Irawan, Suhaimi Amin almarhum dan Rizal Irwan yang juga sudah almarhum; kami bersahabat sejak itu. Setelah lulus, kami masih bersahabat, menjadi orang-orang profesional dan intelektual, yang sepanjang penilaianku, tidak ada di antara kawan-kawan Cinaku itu yang kementus, apalagi punya jiwa adikuasa seperti Om Liem,Tommy Winata, atau Samsul Nursalim dan lain-lain.
Tentu aku berharap mereka masih seperti dulu, saling hormat menghormati, dan menjadi warganegara yang baik. Aku memang sengaja melupakan dan pura-pura tidak tahu, ketika salahsatu dari mereka sengaja menyisipkan booklet dan leaflet gereja ke dalam majalah-majalah yang mereka kirimkan ke penjara. Tentu tidak seperti kawan ITB-ku yang lain, Tiong Gie, yang tiap bulan rajin menghabiskan ratusan juta Rupiah untuk nyogok orang-orang bea-cukai dan orang-orang dari BIN agar bisnis EMKL-nya sukses dan sekeluarga menjadi kaya.
Aku sejauh itu menghargai mereka; dan juga para mahasiswaku dari keturunan Cina yang minta aku menjadi pembimbing skripsi dan tesisnya. Aku pun pernah pacaran dengan beberapa amoy ketika masih mahasiswa. Aku masih ingat Pik Ai, keponakan Liong Gwan, asisten Gambar Teknikku di Mesin ITB. Aku juga pernah kasmaran dengan Tiong Bi, anak Surabaya, yang masuk ITB dua tahun lebih muda.
Itu semua terpaksa tidak bisa terjadi sekarang. Tentulah mereka yang tidak ikut-ikutan tidak perlu diikutkan dalam “perang” ini. Banyak orang keturunan Cina lain yang masih menjadi sahabat-sahabatku seperti sahabat-sahabatku ITB itu. Tetapi bagaimana nasib mereka kalau dendamnya Chris ini menjadi “perang terbuka”? Saya pikir mereka harus secara serius ikut bersama kami mencegahnya!
Mencegahnya?! Masih adakah waktu tersisa untuk kami mencegahnya, ketika Chris, aktivis yang pernah bermimpi berdialog imajiner dengan Bung Karno, sudah mendendam perasaan sedemikian rupa sehingga mau merebut Nusantara, apa pun yang terjadi?! Itu baru seorang Chris yang menjadi politisi Partai Demokrat. Dan Hari Tanoesudibyo yang menjadi Capres-nya Partai Hanura?! Bagaimana dengan 50 orang konglomerat terkaya Indonesia di atas?! Dan ribuan calon konglomerat kecil lainnya, seperti Edwin Soeryadjaja dan DatokThahir; atau Simon Tanjaya dan Elisabeth Liman yang sedang belajar menyuap?!Sertadengan dukungan jaringan Nasrani dan Gereja Kharismatiknya, bahkan gerakan gerakan Budha Tzu Chi untuk menjerat Islam Indonesia?!
Lalu apa hubungannya dengan Buku ini. Pada awalnya, adalah kawan akrabku, Cokro Wibowo Sumarsono, yang memberitahu tentang adanya Candi Kidal yang berada di dekat kota Malang, 20 kilometer dari sana, yang padanya ada relief Garudeya; yang dalam bahasa sekarang disebut Garuda.Relief Garuda mana aku jadikan cover depan buku ini.
Dari keterangan Mas Wibowo itu aku mendapatkan tiga gambar relief Garudeya. Yang pertama, justru yang terpenting, menunjukkan keadaan relief yang kecil dan sudah agak rusak: Seekor Burung Garuda yang sedang bertarung dengan tiga ekor ular, yang menurut Mas Wibowo, adalah Ular Naga. Relief ke dua menunjukkan gambaran Burung Garuda yang menengok ke arah kanan sedang menyunggi di atas kepalanya sebuah Kendi, tempat air atau Tirta; gambar relief ini kelihatannya masih bagus dan utuh. Sedang relief yang ke tiga, sudah ada bagian yang hilang, memperlihatkan gambar Burung Garuda, juga menengok ke arah kanan, sedang menyunggi di atas kepalanya, seorang Putri atau Ibu.
Konon, diambil dari Buku Negarakretagama, yang bercerita tentang negara-negara pada jaman sebelum jaman Majapahit dan tentang Majapahit di Jawa Timur, ada cerita yang melatarbelakangi munculnya ke tiga relief di Candi Kidal tersebut. Candi Kidal itu dibangun oleh Raja Kertanegara dari Singhasari (1222-1292), atau Singosari, untuk dipersembahkan sebagai makam bagi Ayahandanya Anusapati.
Syahdan, menurut Negarakretagama, adalah dua orang perempuan,yang satu kemudian melahirkan tiga ekor Ular Naga; dan yang lain seekor Burung Garuda. Atas siasat Ibunya, tiga Ular Naga itu menjahati si Burung Garuda dengan menyandera Sang Ibu Burung Garuda dan menjadikannya budak. Dalam rangka membebaskan Sang Ibu dari perbudakan, Burung Garuda meminta tolong Sang Hyang Wisnu dari Kahyangan; yang kemudian memberinya senjata Tirta Suci Amarta yang berasal dari Lautan Susu di dalam sebuah Kendi. Dalam pergulatannya, Sang Garuda berhasil membebaskan Ibunya dari perbudakan para Ular Naga dan membawa Sang Ibu kembali pulang.
Mas Cokro Wibowo Sumarsono, seorang Sejarawan asal Kota Malang, dan Wawan Setiawan, seorang Budayawan asal Solo, memunyai cerita yang berbeda. Dan aku setuju dengan pendapat mereka. Cerita tentang Garuda itu sesungguhnya menunjukkan visi Kertanegara, raja Kerajaan Singhasari itu, tentang Nusantara di kemudian hari; tidak beda dari visi seorang Samuel Huntington yang memprediksi akan terjadinya clash of civilization antara Barat dan Islam. Setelah berpuluh-puluh kali melihat sejarah serangan oleh tentara Kerajaan Cina dari Utara yang bermaksud menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya di wilayah Jawa Timur sekarang, dan juga Singosari, termasuk dikirimnya Meng Ci kepadanya agar Singosari tunduk kepada Kerajaan Cina, Kertanegara kemudian menyadari maksud jahat orang-orang berkulit Kuning dan bermata sipit dari Utara ini untuk menguasai Nusantara. Dengan Candi Kidal dan relief-nya itu, Raja Kertanegara memberi wasiat, agar rakyat Nusantara selalu waspadadan berhati-hati terhadap para perusuh dariUtara ini; karena jiwa mereka adalah jiwa penjajah.
Menurut hemat kami, tiga Ular Naga itu adalah simbol para penjajah yang sekarang-sekarang ini sedang membelit Republik Indonesia ini, yaitu Rezim yang selalu menjahati rakyatnya sendiri; lalu Asing yang selalu mencoba menguasai kekayaan alam Indonesia, dan A Seng, orang-orang ECI, Cina Perantauan, yang dari hari ke hari menguasai perekonomian Indonesia dan rakyat Indonesia. Air Suci Tirta Amerta yang berasal dari lautan itu tentulah simbol persatuan Indonesia di mana lautan Nusantara ini adalah pemersatu ribuan pulau denganpara pendudukPribumi asli di dalamnya.Persatuan di antara para penduduk asli Pribumi Nusantara inilah yang akan menjadi senjata dalam memenangi penjajahan di muka Bumi Nusantara ini.Sedang Ibu atau Puteri adalah simbol dari Ibu Pertiwi, Tanah-Air dan Tumpah Darah Nusantara.
Dan Sang Garuda tentulah simbol dari Rakyat atau Bangsa Nusantara yang berjuang keras untuk kemerdekaan Indonesia. Jadi tidak salah kalau Bung Karno, akhirnya setuju menggunakan Garuda Nusantara yang sedang mencengkeram senjata Bhineka Tunggal Ika, dan dengan berperisai Pancasila,sebagai simbolnya Republik Indonesia.
Buku ini harus dibaca dengan semangat memerdekakan bangsa Nusantara dari segala bentuk penjajahan oleh para penjajah, baik Rezim kekuasaan dari dalam negeri, maupun pendatang-pendatang asing, yang ingin mengusai Republik ini.
Jakarta, 1 Januari 2014
Sri-Bintang Pamungkas
I
Soeharto:
Membangun Negara
Melahirkan Para Naga
Setelah berkuasa selama 32 tahun, Soeharto, Presiden RI yang ke Dua ini, meninggalkan segudang kedosaan yang seharusnya dipertanggungjawabkannya kepada seluruh rakyat indonesia. Pada awalnya aku menyebutkan empat kelompok kedosaannya (Pamungkas; 2005): Pertama, adalah hutang luar negeri yang amat sangat banyak yang harus dibayar kembali dengan kemelaratan rakyat. Bahkan hutang itu pun tidak terbayarkan sampai kini. Hutang yang ditanggung rakyat Indonesia, yang pada masa akhir jabatannya tidak kurang dari USD 130 milyar itu, bahkan dilanjutkan oleh para penerusnya sampai mencapai dua kali lipatnya dalam jangka waktu kurang dari 15 tahun berikutnya. Dengan kenaikan nilai Dollar 4 kali lipat saat-saat terakhir pemerintahannya, dibanding sebelum terjadi krisis moneter yang dimulai pada Juni 1997, maka pembayaran hutang itu pun menjadi beberapa kali lipat lebih sulit, karena mesin-mesin produksi Indonesia tidak mampu berputar 4 kali lebih cepat.
Ke dua, rusaknya sumberdaya alam Indonesia berikut dengan lingkungan hidupnya untuk kepentingan pihak Barat. Dalam masa Soeharto itu barang-barang tambanglah yang menjadi sasaran utamanya, kekayaan yang tidak dimiliki negara-negara lain selain Indonesia. Proyek pertama Soeharto adalah menjual tembaga, emas dan lain-lain kekayaan alam di Tembaga Pura, Timika, Irian Jaya, kepada Freeport dari Amerika Serikat. Ketidakmampuan Indonesia dalam mengolah barang tambang mengakibatkannya menjual kepada pihak asing dengan harga sangat murah. Bahkan, hak menggali dan mengolah itu lalu diperpanjang puluhan tahun, sehingga praktis rakyat Indonesia tidak mendapatkan apa-apa. Hal yang sama berlaku untuk barang-barang tambang yang lain, seperti nikel, aluminum, batubara, minyak bumi, gas alam, dan lain-lain. Kebijakan Soeharto itu, bahkan diikuti oleh para penggantinya dengan cara yang lebih buruk, sehingga Indonesia, dari pengekspor minyak bumi sekarang menjadi pengimpor.
Yang berikutnya dijual habis adalah hutan-hutan tropis kita; termasuk kayu yang berumur ribuan tahun, serta rotan dan hasil dari flora dan fauna di dalamnya, pun dibabat habis. Tidak cuma rakyat yang tidak lagi bisa menikmati hasil hutannya sendiri, tetapi gundulnya hutan juga membikin kerusakan lingkungan dunia dan Indonesia sendiri; banjir di mana-mana sebagai akibat hutan gundul yang membawa korban jiwa dan harta semakin menambah kesengsaraan rakyat. Memang muncul produk-produk baru, seperti CPO, crude palm oil, serta industri kertas dan kayu bangunan, tetapi fungsi hutan tropis itu tidak bisa digantikan oleh hutan tanaman industri. Hutan sagu di Maluku dan Irian Jaya pun dibabat habis digantikan dengan hutan tanaman industri, sehingga orang-orang Papua sempat mengalami kelaparan yang memakan banyak korban jiwa.
Dosa Soeharto yang ke tiga adalah mengalirkan darah rakyat Indonesia. Selain ratusan ribu orang yang tewas diberondong dengan senjata pembunuh, akibat dituduh sebagai kelompok komunis pasca G30S, masih ada ribuan lain yang sengaja ditembak dan dibunuh aparat dalam berbagai peristiwa. Pada masa Soeharto, baik TNI maupun Polri, adalah senjata pembunuh hidup; mereka lebih suka membunuh rakyat sendiri dengan anggapan bahwa musuh Negara ada di dalam Negeri daripada menjaga Negara dari orang-orang asing dan dalam negeri yang merampok kekayaan alam Indonesia untuk keuntungan dan kepentingan mereka sendiri. Soeharto lebih mementingkan pendekatan keamanan daripada kesejahteraan; Soeharto merasa berhak membunuh rakyat demi stabilitas pembangunan. Termasuk di sini adalah berbagai penangkapan dan pemenjaraan, baik tanpa maupun dengan proses hukum, terhadap ribuan tahanan politik dan narapidana politik, Tapol dan Napol, yang dituduh mengganggu keamanan Negara atau menghina dan merendahkan martabat presiden.
Hal ke Empat yang ditinggalkan Soeharto adalah tindak pidana korupsi. Korupsi terhadap hutang asing dan uang rakyat dari hasil pajak yang digunakan untuk kepentingan keluarga dan lain-lain proyek yang tidak bermanfaat, pada akhirnya tidak cukup menyisakan untuk kepentingan rakyat banyak. Apalagi dana yang dikorup itu harus dibayar kembali dengan uang rakyat. Bahkan budaya korupsi yang dicontohkan Soeharto itu ditiru oleh para pejabat dan penggantinya; sehingga sudah meluas menjadi wabah penyakit yang menyerang hampir seluruh lapisan masyarakat dan kelompok kekuasaan, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif; sampai kepala desa.
Sekalipun begitu, pada 1970 Soeharto bereaksi positif terhadap pernyataan pembentukan Komite Anti Korupsi, KAK, oleh para mahasiswa. Lalu terbit pula undang-undang anti korupsi. Akan tetapi korupsi di jaman Soeharto itu bukannya mereda. Hal itu mengingatkan kembali korupsi Soeharto ketika dia memimpin Divisi Diponegoro pada 1956-1959.
Korupsi dalam artian sesungguhnya, memang tidak hanya melibatkan soal uang Negara, tetapi segala tindakan abuse of power, yang melanggar kewenangan seseorang, khususnya para pejabat negara. Kekuasaan rezim Soeharto yang begitu besar selama 30 tahun lebih itu telah mengakibatkan hukum berantakan, karena tidak mampu menyentuh kesewenang-wenangan para pejabat Negara yang didukung oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, atau ABRI itu. Lebih celaka lagi, kesewenang-wenangan tersebut menurun kepada rezim-rezim berikutnya. Karena itu, lebih dari separuh penduduk Indonesia yang sekarang mencapai 250 juta itu masih saja hidup di bawah garis kemiskinan.
Amarah Soekarno
Berbicara tentang Soeharto, orang akan selalu teringat kepada jaman kediktatorannya selama lebih dari 30 tahun, sejak Maret 1967 sampai kejatuhannya pada Mei 1998. Kekuasaan Soeharto diawali dari munculnya Gerakan 30 September 1965. Memang bangsa Indonesia termasuk bangsa yang menyedihkan; itu karena bangsa ini tidak pandai menulis sejarahnya sendiri. Memang banyak tulisan tentang Peristiwa ‘65 itu, tetapi banyak dari mereka ditulis oleh orang-orang asing; atau oleh penguasa yang berpihak, sehingga banyak sisi aktualisasinya yang sulit diterima. Mestinya orang-orang Indonesia, terutama yang mengalami sendiri dalam peristiwa itu, lebih jelas menulis sejarah yang ada di depan matanya sendiri. Sebagai akibatnya, Peristiwa ’65 itu sampai hari ini masih dianggap gelap.
Pemerintah Indonesia menganggap Peristiwa ’65 itu sebagai pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia, PKI. Tetapi banyak pihak yang menyangsikan itu. Salahsatu alasannya, bahwa PKI sudah sangat kuat dan sudah menguasai suara rakyat. Soekarno sudah berpihak kepada mereka. Bahkan, ke empat angkatan, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta Angkatan Kepolisian sudah dikuasai pula oleh PKI. Mereka sendiri sudah menyiapkan Angkatan ke Lima, yaitu petani yang dipersenjatai. Maka tinggal menunggu Pemilu saja, kekuasaan pemerintah akan segera jatuh ke tangan pihak komunis; lalu untuk apa mesti memberontak?
Di lain pihak, kelompok Soekarnois, yang bukan pengikut atau pendukung Partai Demokrasi Indonesia, bukan pula Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sekarang ini, bukan Megawati Soekarnoputri, dan bukan pula anak-cucu keturunan Soekarno, beranggapan bahwa yang berada di balik Peristiwa ’65 itu tidak lain adalah CIA, Central Inteligence Agency-nya Amerika Serikat bekerjasama dengan MI-6, Secret Intelligence Service-nya Inggris, dan lain-lain, dengan memanfaatkan Soeharto dan kekuatan-kekuatan anti-Demokrasi di dalam negeri lainnya. Tujuan utama dari gerakan asing ini justru untuk menjatuhkan Soekarno karena dianggap terlalu dekat dengan Moscow dan Peking, mulai menjauh bahkan memusuhi Washington, serta khawatir Indonesia akan menjadi Negara Komunis. Dan PKI tidak hanya dijadikan sebagai korban ke dua, tetapi sekaligus kambing hitam sedemikian rupa, sehingga orang beranggapan bahwa PKI berada di belakang Peristiwa ’65 itu. Sedang tentang kekuatan-kekuatan anti-Demokrasi di dalam negeri itu, para pendukung Soekarno membandingkan banyaknya partai-partai di jaman Soekarno yang mencapai 30-an itu dengan jaman Orde Baru Soeharto yang hanya ada dua partai politik dan satu golongan; selain PKI yang dilarang, serta Masyumi dan PSI, juga ada penyederhanaan partai-partai.
Bagaimana benci dan khawatirnya Amerika Serikat terhadap bahaya komunis semasa perang dingin itu dapat dilihat dari Perang Vietnam yang berlangsung bertahun-tahun pada tahun 1960-an untuk melawan Vietcong yang komunis; lalu disusul dengan Perang Timor Timur selama lebih 20 tahun sejak 1975 oleh kekhawatiran akan kemenangan Partai Fretilin yang pro komunis. Karena itu bisa dimengerti betapa Amerika Serikat berusaha keras mendongkel Soekarno, ketika Soekarno mulai menjalin hubungan dekat dengan pihak komunis. Yaitu, sejak Soekarno menyatakan maksudnya membangun Poros Jakarta-Peking-Moscow; dan sungguh hal itu diwujudkannya dengan melakukan perjalanan ke sana pada Februari 1957. Bahkan Jenderal Nasution pun berangkat ke Moscow dan mendapat janji Presiden Kruschov bisa memeroleh peralatan militer apa saja yang dibutuhkan Indonesia. Dana untuk investasi dari Moscow pun mulai mengalir ke Indonesia. Menyusul itu, Soekarno membentuk Demokrasi Terpimpin yang membagi perpolitikan Indonesia menjadi tiga kaum, yaitu Nasionalis, Agamis dan Komunis, atau yang dikenal dengan Nasakom.
Akan tetapi tidak saja Soekarno kehilangan Mohammad Hatta, sang Wakil Presiden sebagai Dwi-Tunggalnya pada Desember 1956, tetapi kedekatan Soekarno terhadap komunisme juga mengakibatkan para jenderal TNI menjauh. Hatta yang sangat konsisten dan tahu aturan memang sudah mengingatkan, bahwa berdasarkan UUD-1950 masa jabatannya sudah akan berakhir pada 1955; tetapi, kalaulah akan diperpanjang, maka harus dilakukan pemilihan lagi. Peringatan Hatta itu tidak diindahkan. Selain itu memang harus diakui, bahwa banyak perbedaan telah muncul di antara Dwi-Tunggal itu yang sulit didamaikan. Hatta adalah simbol kepemimpinan dari daerah-daerah di luar Jawa; karena itu mundurnya Hatta berpengaruh terhadap para tokoh dari luar Jawa.
Tidak bisa dielakkan para tokoh TNI, khususnya dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara, mulai menuntut berbagai macam perubahan politik dalam pemerintahan Soekarno, termasuk otonomi yang lebih besar bagi provinsi-provinsi; lalu disusul pula dari Sulawesi Utara. Diawali oleh Kolonel Lubis, Warrouw dan Kawilarang yang menyatakan permusuhan terhadap pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menyusul kemudian adalah Letkol Ahmad Husein, Simbolon, Dahlan Jambek dan Djamin Ginting menyeberang ke Sumatera. Atas undangan Kolonel Dahlan Jambek mereka bertemu di Sungai Dareh dekat Padang untuk membicarakan situasi negara. Mereka membentuk Dewan Perjuangan yang diketuai oleh Kolonel Ahmad Husein.
Tuduhan oleh PKI dengan sayap kirinya terhadap Masyumi dalam percobaan pembunuhan terhadap Soekarno di Cikini, Jakarta, pada Desember 1957 mengakibatkan tokoh-tokoh Masyumi, seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, serta tokoh-tokoh lain yang sepaham menyingkir ke Sumatera. Sjafruddin adalah mantan Penjabat Presiden dalam Pemerintahan Darurat RI, PDRI, di Sumatera pada 19 Desember 1949 ketika Ibukota Yogyakarta diduduki Belanda; saat itu Soekarno-Hatta ditangkap Belanda dan dibuang ke Bangka. Pak Sjaf adalah juga mantan Menteri Kemakmuran dan mantan Gubernur Bank Indonesia yang pertama. Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir masing-masing adalah mantan Perdana Menteri. Soemitro Djojohadikusumo, seorang tokoh PSI, Partai Sosialis Indonesia, yang dekat dengan Amerika Serikat, pun mendapat tuduhan yang macam-macam dari PKI, antara lain, melakukan korupsi; bahkan Soekarno sendiri sempat menyuruh menangkap Soemitro. Soemitro lalu menyeberang juga ke Sumatera untuk bergabung bersama-sama para pembangkang lainnya.
Ikut menyeberangnya Soemitro juga mengakibatkan Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung dan Mohammad Roem dari PSI dianggap melawan Soekarno; lalu juga tersingkir. Mereka ditangkap dan, bahkan, dipenjarakan; dan Masyumi serta PSI menjadi partai-partai terlarang. Sjahrir adalah yang memaksa Soekarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Baru pada April 1966, sesudah demonstrasi mahasiswa marak akibat Peristiwa ’65, dengan ijin Soeharto, Sutan Sjahrir dibebaskan dalam keadaan sakit dari penjara Madiun; dia diterbangkan ke Swiss untuk memeroleh pengobatan, tapi keburu meninggal di sana…
Gonjang-ganjing di lingkungan TNI itu, selain juga pupus harapannya menjadi Panglima Angkatan Perang karena bukan beragama Islam, telah mendorong Letjen TB. Simatupang mengundurkan diri dari Kepala Staf Angkatan Perang. Sesudah tuntutan untuk pembubaran Kabinet Juanda dan pembentukan kabinet baru di bawah Bung Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX tidak dipenuhi, maka diproklamirkanlah oleh para Letkol dan Kolonel TNI seluruh Sumatera itu pada 15 Februari 1958 Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, atau PRRI. Proklamasi PRRI itu dibacakan oleh Kolonel Ahmad Husein melalui Radio Republik Indonesia Padang, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.
Bahkan Kolonel D. Somba serta Letkol Vence Sumual dari Sulawesi Utara, yang bermarkas di Makasar, juga menyatakan perang dengan membentuk Perjuangan Semesta Alam atau Permesta sesudah itu. Banyak yang berpendapat, bahwa tujuan pembentukan PRRI/Permesta adalah sebagai sebuah strategi membangun Negara tanpa komunis.
PRRI/Permesta sendiri segera padam dengan dibomnya Padang dan Menado oleh Jenderal Nasution, Panglima Angkatan Perang. Bukti-bukti yang menunjukkan dukungan dan bantuan Amerika Serikat terhadap PRRI/Permesta, membuat hubungan Indonesia dan Amerika Serikat sempat tegang beberapa waktu lamanya. Terlebih-lebih dengan ditembak jatuhnya pesawat Pembom B-26 Amerika Serikat yang dikemudikan Allan Pope yang disewa pemberontak, membuat Amerika Serikat dan CIA kehilangan muka. Berbagai peristiwa itu kemudian mendorong terjadinya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik Belanda dan Amerika Serikat.
Kegagalan DPR dan Konstituante, Badan Pembentuk Undang-Undang Dasar, pasca Pemilu 1955, dalam merancang sistim kenegaraan pengganti UUD 1950 yang bersifat sementara, telah mendorong Soekarno menyatakan Dekrit Kembali ke UUD-1945 pada 5 Juli 1959; maka dimulailah Demokrasi Terpimpin yang langsung dipimpin Soekarno sendiri sebagai Panglima Tertinggi dan Bapak Revolusi. Bung Hatta menyebut Soekarno telah menjadi diktator, karena membubarkan Konstituante dan DPR hasil Pemilu.
Hubungan dengan Amerika Serikat sempat membaik dengan kunjungan Soekarno ke Washington, DC, pada 1961, yaitu pada akhir kunjungannya keliling dunia, atas undangan Presiden John F. Kennedy. Dengan JFK, Soekarno merasa memunyai hubungan pribadi yang cukup baik, karena JFK menyempatkan menjemputnya sendiri di Bandara; bahkan Soekarno mendapat hadiah sebuah helikopter kepresidenan dari JFK. Tidak seperti pada kunjungan sebelumnya pada 1952 untuk memenuhi undangan pemerintah Amerika Serikat; manakala pengganti Presiden Harry S. Truman, yaitu Dwight D. Eisenhower, yang memaksa Soekarno untuk menunggu beberapa jam sebelum bisa bertemu dengannya. Perilaku Eisenhower yang membuat Soekarno berang dan mengancam untuk meninggalkan ruang tunggu itu, satu dan lain hal, oleh sebab Soekarno sengaja membawa serta DN Aidit, tokoh komunis Indonesia asal Biliton itu.
Setelah lewat diplomasi bolak-balik dengan JFK, pada akhirnya Amerika Serikat bersedia membantu menekan Belanda dalam soal Irian Barat, sedemikian rupa, bahkan sampai berhasil mengembalikannya ke pangkuan RI. Perjanjian kembalinya Irian Barat ditandatangani Belanda dan Indonesia di New York, Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 16 Agustus 1962.
Akan tetapi dibentuknya Malaysia pada 16 September 1963, sebuah federasi negara-negara antara Malaya, Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei di bawah Kesemakmuran Bangsa-bangsa bekas jajahan Inggris, dianggap Soekarno sebagai upaya kolonialis asing mengepung Indonesia.
“We are being encircled. We do not want to have neo-colonialism in our vicinity.”
Soekarno menolak alasan, bahwa Malaysia justru dibentuk untuk membendung arus etnis Cina dari RRC agar rumpun Melayu di sana tetap mayoritas; lalu mengumumkan Ganyang Malaysia; sebuah aksi konfrontasi untuk membubarkan Negara Federasi itu. Pengakuan dini Presiden Kennedy atas Malaysia dan ditolaknya bantuan untuk Indonesia mendorong Soekarno menyampaikan tuduhannya kepada AS, bahwa dia menerima bukti tentang suatu rencana CIA untuk menyingkirkannya dan pemerintahnya. Soekarno menuduh, bahwa pada masa lampau CIA sering ikutserta dan melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak diketahui dutabesarnya, dan bahkan Gedung Putih.
Meninggalnya Perdana Menteri Juanda Kartawijaya pada 7 November dan menyusul itu terbunuhnya John F. Kennedy pada 22 November 1963 membuat berbagai upaya untuk memperbaiki hubungan AS-RI menjadi kandas. Tetapi konon sebelum itu, antara John F. Kennedy dan Soekarno telah ada kesepakatan dalam apa yang disebut dengan the Green Hilton Memorial Agreement di Swiss pada 14 November 1963. Di dalam perjanjian yang ditandatangani oleh keduanya dan William Vouker yang mewakili Swiss itu disebutkan, bahwa Indonesia menyerahkan 57 ribu ton emas murni sebagai pinjaman Amerika Serikat yang dikelola oleh UBS, United Bank of Switzerland; sebagai imbalannya, Indonesia mendapatkan bunga sebesar 2,5 persen setahun.
Konon Perjanjian itu adalah kelanjutan dari MOU tahun 1961 pada waktu kunjungan Soekarno ke Amerika Serikat. Setelah JFK terbunuh, maka perjanjian itu menjadi hilang begitu saja. Selanjutnya orang menghubungkan terbunuhnya JFK dengan Perjanjian tersebut. Bahwa dengan emas itu, JFK yang Katolik itu bermaksud memindahkan sistim keuangan Amerika Serikat ke Pemerintah Amerika Serikat; dan tidak lagi dibelenggu lagi oleh Federal Reserve Bank yang dibentuk dan dikuasai oleh para bankir Yahudi. JFK dibunuh oleh kelompok Yahudi Amerika Serikat, selain karena pernah mengancam Israel, juga untuk mencegah maksud JFK, serta dengan maksud menguasai kekayaan emas Indonesia tersebut. Emas murni yang dimaksud pada waktu itu, sangat mungkin yang masih tertanam di Tembaga Pura, Timika, Irian Jaya; yang sekarang dikenal dengan Freeport.
Sekalipun Robert Kennedy, adik JFK, telah berusaha keras memperbaikinya dengan datang ke Jakarta, hubungan buruk kedua negara terus berlanjut. Pelitnya Kongres Amerika Serikat dan Presiden Lyndon B. Johnson, pengganti JFK, dalam memberi bantuan ekonomi dan keuangan terhadap Indonesia, dibanding dengan bantuan-bantuan dan investasi Rusia di bawah Kruschov seperti untuk pembangunan Krakatau Steel, bantuan-bantuan militer dan lain-lainnya, menambah jauhnya hubungan tersebut.
Diterimanya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB pada akhir 1964, serta seiring dengan semakin kuatnya dukungan PKI dalam mengutuk Amerika Serikat, membikin Soekarno seperti lepas kendali dengan menyatakan keluar dari PBB. Pernyataan dukungan masyarakat Amerika Serikat untuk menghentikan segala bantuannya kepada Indonesia dijawab Soekarno dengan mengatakan: “Go to hell with your aid!”
Maka tidak ada jalan lain bagi Amerika Serikat dan sekutunya selain membuat rencana menjatuhkan Soekarno dengan segala cara. Sekalipun kader-kader PKI sudah masuk jauh ke dalam tubuh TNI, tetapi para intelijen Barat yang diawali oleh MI-6 Inggris masih memunyai segudang “our local army friends”, demikian dokumen berupa surat yang dikirim oleh Sir Andrew Gilchrist, mantan Dutabesar Inggris di Jakarta, kepada Menteri Luar Negeri atasannya di London. Copy surat itu konon ditemukan ketika terjadi penyerbuan dan pembakaran terhadap Kedutaan Besar Inggris di Jakarta pada 1963 oleh masyarakat yang digerakkan para tokoh PKI. Tidak jelas apakah surat itu asli, sengaja dibuat untuk memecah-belah TNI, atau memang perpecahan di dalam tubuh TNI sudah benar-benar berlangsung.
Dengan terjadinya Peristiwa ‘65, maka perpecahan di dalam tubuh TNI itu bukan sekedar omong-kosong; karena itu hanya seorang jenderal TNI sendiri yang semestinya tahu akan adanya perpecahan itu. Dan surat Gilchrist itu dimaksudkan sebagai sebuah pesan kepada Barat? Kenapa Inggris? Kenapa bukan Amerika Serikat? Apakah ini terkait dengan gerakan Ganyang Malaysia yang sedang dikutuk Soekarno; bahwa di belakang pembentukan Federasi itu adalah Inggris? Kalau benar, maka tidak heran kalau intelijen Inggris menjalin hubungan dekat dengan jenderal-jenderal TNI yang menentang Soekarno. Maka sebenarnya harus sudah bisa disimpulkan, bahwa tuduhan Soekarno dia akan digulingkan bukan pula omong-kosong. Menurut Subandrio, kepala Badan Pusat Intelijen, beberapa dokumen lain, selain dokumen Gilchrist juga ditemukan. Tapi yang tidak pernah diduga Soekarno, dia digulingkan oleh jenderalnya sendiri.
Tentulah para intelijen Amerika Serikat dan Inggris tahu persis, bahwa cara melumpuhkan PKI yang sudah dipersenjatai sebagai Angkatan ke Lima itu hanyalah menghadapkan mereka dengan TNI sendiri. Tetapi bagaimana memunculkan isyu Dewan Jenderal, lalu Letkol Untung dan kawan-kawannya dalam Dewan Revolusi, terbunuhnya para Jenderal Angkatan Darat, serta munculnya Jenderal Soeharto dengan Surat Perintah 11 Maret 1966, disusul dengan pembubaran PKI dan jatuhnya Soekarno digantikan oleh Soeharto pada Maret 1967, sepertinya masih merupakan guntingan-guntingan peristiwa yang terkait satu dengan yang lain, tetapi tanpa kejelasan hubungan dan urutan-urutannya. Tentulah ada otak cerdas di belakang ini semua. Di dalam Peristiwa ’65 inilah banyak pihak sepakat, bahwa Soeharto, selain yang empunya otak cerdas, juga memunyai peran ganda yang amat besar.
Peristiwa Madiun
Harus diakui bahwa Soeharto adalah seorang yang cerdas dan ahli dalam taktik dan strategi; berpandangan jauh, sabar, tapi sekaligus kejam dan pendendam. Mayor Jenderal Sukendro, mantan Kepala Intelijen Markas Besar TNI-AD dan pencetus ide pendirian Forum Studi dan Komunikasi, Fosko, TNI-AD, pernah mengatakan: “…Soeharto sangat baik kepada kawan-kawannya, tetapi penuh dendam dan kejam terhadap musuh-musuhnya…” (Jenkins; 2010).
Selain itu, kecerdasan dan keahlian Soeharto itu didapatnya justru karena dia pernah menjadi kader komunis. Cara-caranya pasca Peristiwa ’65 membantai orang-orang yang dituduhnya komunis; menghukum mereka dan memenjarakan tanpa pengadilan; dan membuangnya ke Pulau Buru; itu semua cara-cara komunis.
Tidak lama sesudah kemerdekaan, masyarakat Yogyakarta yang tinggal di sekitar Purwodiningratan, Sentul, Patuk, Gowongan Kidul dan beberapa tempat lain, selain mengenal pemuda Soeharto sebagai kebanyakan pemuda berpendidikan tentara Belanda, KNIL, Koninklijk Nederlandsch-Indie Leger, lalu juga tentara bikinan Jepang, PETA, Pembela Tanah Air. Soeharto juga dikenal sebagai seorang Komandan Batalyon-10 Tentara Keamanan Rakyat dengan pangkat Mayor, juga mengenalnya sebagai anggota Kelompok Pendidikan Politik Patuk yang dikenal pro-komunis. Tentang Kelompok Patuk ini mestinya juga ada yang sudah menulis, tetapi berbagai tulisan tentang PKI dan komunis tentu saja sudah dihilangkan, terutama sesudah Soekarno menerbitkan Surat Perintah 11 Maret pada 1966 kepada Soeharto, ketika Peristiwa ’65 masih bergolak, lalu berkuasa. Tentu saja orang takut-takut mengutak-utik masa lalu Soeharto, khususnya masa lalunya di dalam ketentaraan.
Memang Maklumat Pemerintah yang terbit pada 3 November 1945 dengan tandatangan Wakil Presiden Mohammad Hatta– menyusul Maklumat Wakil Presiden Nomer-X pada 16 Oktober 1945–tentang anjuran pemerintah untuk mendirikan partai-partai politik, menjadi salahsatu kesempatan bagi partai-partai politik, seperti PNI, PKI, Masyumi, serta Partai Sosialis untuk tumbuh dan berkembang. PKI yang didirikan pada 1920 sempat pada 1926 dilarang oleh Belanda; dan pemimpinnya, Semaun dan Muso dipanggil oleh Moscow dan, konon, oleh Pimpinan Tertinggi Partai Komunis Rusia, dibuang ke Siberia. Muso sendiri sesudah 22 tahun terbuang akhirnya mendapat pengampunan dan diperintahkan kembali pulang ke Indonesia untuk mempersiapkan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Perkembangan yang luar biasa dari PKI waktu itu tidak terlepas dari berlangsungnya perubahan konstitusional dari sistim kepresidenan menjadi sistim keparlemenan melalui Dekrit Pemerintah tanggal 14 November 1945, di tengah-tengah Aksi Militer Pertama oleh Belanda dan Inggris di Surabaya.
Pada awalnya Sutan Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis; dan Amir Sjarifuddin mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Lalu mereka bergabung dalam Partai Sosialis pada Desember 1946, dan menjadi partai yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan berikutnya. Menyusul perubahan konstitusional November 1945 itu, Sutan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri RI yang pertama dan membentuk kabinet baru. Sementara itu sebagai akibat tekanan tentara Belanda yang bermaksud menguasai kembali Republik, pusat pemerintahan dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Seiring dengan itu pula TKR, Tentara Keamanan Rakyat, berubah menjadi Tentara Rakyat Indonesia pada 6 Januari 1946, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Soedirman.
Di dalam kabinet Sjahrir yang pertama itu Amir Sjarifudin diangkat menjadi Menteri Penerangan. Perundingan dengan pihak Belanda menuai oposisi terhadap Sjahrir, antara lain, yang dipimpin oleh Tan Malaka. Tan Malaka adalah pimpinan komunis di Asia Tenggara. Setelah kedudukannya diambil alih oleh Ho Chi Minh pemimpin revolusi Vietnam, dia kembali ke Indonesia pada sekitar 1942. Pikirannya yang sangat kritis terhadap Soekarno, Hatta dan Sjahrir menghasilkan dukungan banyak partai, organisasi pemuda dan tokoh-tokoh tentara pada 1946, yaitu dengan berdirinya Persatoean Perjoeangan. Akan tetapi ketika orang mulai tahu keinginan Tan Malaka adalah menggantikan Soekarno dan menjatuhkan Kabinet Sjahrir, mereka menarik dukungannya terhadap Tan Malaka.
Sempat terjadi kekacauan, disebut Peristiwa 3 Juli 1946, yaitu ketika Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh para oposisinya. Selain Tan Malaka, di situ terlibat pula unsur tentara, antara lain, Panglima Divisi IX Jawa Tengah sendiri, Mayor Jenderal Soedarsono. Selain Sjahrir diberi kesempatan untuk menyusun Kabinet ke Dua, Soekarno juga memerintahkan menangkap Tan Malaka dan Soedarsono.
Pada awal Januari 1946 itu pula Soeharto sudah berpangkat Letkol dan menjabat sebagai Komandan Resimen III di Yogyakarta. Kedudukan Letkol Soeharto menjadi semakin kuat sesudah Ibukota Republik berada di Yogyakarta; bahkan Soeharto sekaligus menjabat sebagai Komandan Keamanan Ibukota Yogyakarta, sesudah jabatan itu menjadi rebutan di antara berbagai kelompok politik. Letkol Soehartolah yang diperintahkan oleh Bung Karno menangkap Mayor Jenderal Soedarsono, yang adalah atasannya sendiri. Dengan berbagai dalih Soeharto menolak; bahkan sempat main-petak dengan Jenderal Sudirman, dan kemudian meminta Bung Karno untuk menangkap sendiri Soedarsono. Mayjen Soedarsono akhirnya ditangkap di sekitar Istana ketika mau menghadap Bung Karno oleh Pasukan Pengaman Presiden.
Dalam situasi seperti itu saja, mestinya Soeharto sudah harus dicurigai, atau paling tidak dicatat, sebagai seorang tentara pembangkang, yang suka ikut bermain politik, sama seperti Soedarsono, yang juga dicurigai sebagai kader binaan komunis Pepolit, Pendidikan Politik Tentara. Di sini pun perlu dicatat baik-baik, bahwa Dwi-Fungsi ABRI yang dikembangkan oleh Rezim Soeharto pasca Peristiwa ’65, yaitu ABRI memunyai fungsi politik, mirip sekali dengan ide Pepolit komunis.
Amir Sjarifudin sendiri diangkat menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Sjahrir ke Dua. Sebagai Menteri Pertahanan dan sekaligus pimpinan Partai Sosialis itulah, Amir lebih leluasa mengembangkan “sayap kiri” yang berhaluan komunis, yaitu seperti PKI dan Partai Sosialis, di dalam tubuh tentara. Amir mengubah SBPT, Staf Badan Pendidikan Tentara menjadi Staf Pepolit dengan sayap kirinya, semacam Komisaris Politik di tubuh Angkatan Perang Soviet Sosialis Rusia. Lebih jauh lagi, Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin, memanfaatkan Biro Perjuangan yang menampung para laskar pejuang sebagai tentara cadangan nasional, untuk menghimpun sendiri tentara swastanya menandingi tentara reguler.
Melihat indikasi perpecahan di tubuh tentara, pada Juni 1947 Soekarno-Hatta bersama Soedirman segera mengambil langkah strategis untuk mempersatukan tentara, dengan mengubah TRI menjadi TNI, Tentara Nasional Indonesia, di bawah pimpinan Jenderal Soedirman dibantu oleh beberapa stafnya, baik dari sayap kiri maupun “sayap kanan”.
Situasi politik dengan sistim keparlemenannya pada waktu itu, bisa memberi kesempatan Amir Sjarifudin menggantikan Sutan Sjahrir, menjadi Perdana Menteri pada 3 Juli 1947. Dalam kedudukannya yang baru itu, Amir Sjarifudin menjadi lebih nekad membentuk “TNI Bagian Masyarakat”, yaitu dengan alasan mempersatukan masyarakat dengan tentara dalam pertahanan negara; tetapi tujuan utama yang sebenarnya adalah memberikan pendidikan ideologi komunis kepada tentara. Pendidikan tentara yang menghasilkan kader-kader komunis ini dilakukan dengan membentuk berbagai kelompok, yang salah satunya, adalah Kelompok Patuk. Bandingkan apa yang dilakukan oleh Amir ini dengan konsep di jaman Orde Baru, di mana “ABRI harus menyatu dengan masyarakat”. Banyak orang mengira pada awalnya, bahwa itu konsep Belanda agar agen-agen Belanda lebih mudah memata-matai rakyat; tetapi mungkin sekali Belanda justru mengambil konsep komunis itu untuk digunakan di negara jajahan. Sampai sekarang orang asing masih heran kalau berkunjung ke Indonesia melihat tentara banyak keluyuran di dalam kota, yang alasannya adalah untuk menyatu dengan masyarakat.
Pertentangan di dalam Kabinet Amir Sjarifuddin mulai muncul dan mencapai puncaknya sesudah penandatanganan Perjanjian Renville oleh Amir pada 17 Januari 1948. Penandatanganan tersebut mengakibatkan sayap kanan, antara lain, PNI dan Masyumi, menarik dukungannya terhadap Kabinet Amir, lalu mundur. Wilayah Republik juga menyempit, sehingga pasukan Divisi Siliwangi harus hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta.
Akibat dari hijrah ini Kartosoewirjo membentuk Tentara Islam Indonesia, TII, di Jawa Barat. Awalnya, TII yang berafiliasi dengan Masyumi bermaksud untuk “menjaga Jawa Barat” dari pendudukan Belanda, sepeninggal pasukan Siliwangi; tetapi kemudian sebagai inti kekuatan Darul Islam, TII melakukan perlawanan terhadap Republik Indonesia dengan senjata untuk mendirikan Negara Islam.
Penarikan seluruh menteri sayap kanan dari Kabinet Amir Sjarifudin mengakibatkannya tidak bisa bertahan, sampai akhirnya jatuh; pada 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandat eksekutifnya kepada Soekarno-Hatta. Wakil Presiden Mohammad Hatta lalu menggantikan Amir sebagai Perdana Menteri. Amir Sjarifudin sendiri akhirnya pecah kongsi dengan Sutan Sjahrir.
Hatta tidak melibatkan sayap kiri di dalam kabinetnya, karena mereka menuntut kedudukan Menteri Pertahanan. Salahsatu kebijakan Bung Hatta adalah yang dikenal dengan Re-Ra, atau reorganisasi dan rasionalisasi, khususnya di bidang pertahanan negara. Di situ Hatta mengembalikan 90 ribu anggota TNI-Bagian Masyarakat untuk menjalani kehidupan sebagai orang-orang sipil. Sebagai akibatnya, sayap kiri menyatakan oposisi terhadap kabinet Hatta, karena merasa dilemahkan.
Untuk meningkatkan gerakan oposisinya Amir Sjarifudin membentuk FDR, atau Front Demokrasi Rakyat, di bawah pimpinannya sendiri, menyelenggarakan rapat raksasa pada 2 Februari di Madiun. Front Demokrasi Indonesia adalah aliansi dari tiga partai politik, yaitu Partai Sosialis pimpinan Amir, PKI pimpinan Alimin yang baru pulang dari Negeri Cina, dan Partai Buruh Indonesia pimpinan Setiajid. Masa FDR bertambah dengan bergabungnya organisasi masyarakat, seperti Pesindo, Pemuda Sosialis Indonesia, dan SOBSI, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia.
Setelah berhasil merebut kedudukan pucuk pimpinan PKI dari tangan Alimin, Muso terus bergerak dan mengambil alih pula kedudukan Ketua FDR dari Amir Sjarifudin pada 1 September 1948. Muso sendiri sebelumnya mengkritik Amir karena menyerahkan kekuasaan Pemerintah kepada Soekarno-Hatta. Diawali oleh teror terhadap pasukan Divisi Siliwangi serta penculikan dan pembunuhan di sekitar Solo dan Yogya, antara lain, terhadap Kolonel Soetarto, Panglima Divisi Panembahan Senopati, dan Dr. Muwardi, tokoh pemuda pada Proklamasi 17 Agustus, maka pada 18 September 1948 dinihari di Madiun, bersama Amir Sjarifudin sebagai Sekretaris Jenderal FDR yang sekaligus merangkap Ketua Departemen Pertahanan, Muso memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia.
Dimulai dari Madiun, pemberontakan FDR/PKI diawali dengan penculikan dan pembunuhan yang sangat biadab terhadap ribuan rakyat dan khususnya para pamongpraja. Dalam waktu yang relatif cepat, para pemberontak FDR/PKI telah menguasai beberapa wilayah seperti Madiun sendiri, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Sragen, Purwantoro, Sukohardjo, Wonogiri, Kartosuro, Blora, Pati, Cepu dan Kudus.
Di Yogyakarta Presiden Soekarno esok harinya bereaksi dengan menyeru kepada rakyat Indonesia untuk memilih Amir-Muso atau Soekarno-Hatta. Soekarno-Hatta segera memerintahkan Markas Besar Angkatan Perang untuk menumpas pemberontak dan memanggil Abdul Haris Nasution, Panglima Siliwangi untuk mengerahkan pasukannya. Divisi Siliwangi ketika itu sedang hijrah ke Yogyakarta, yaitu akibat dari Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, di mana pasukan RI harus keluar dari wilayah yang diduduki Belanda. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, sekitar 10 hari, pasukan Siliwangi dan tentara yang masih setia kepada Soekarno-Hatta berhasil dengan gemilang menumpas pemberontakan PKI. Amir Sjarifudin dan Muso berhasil ditangkap dan dibunuh.
Serangan untuk menguasai Madiun dipimpin oleh Kolonel Sadikin dengan lima batalyon. Amat disayangkan pasukan Siliwangi ini agak terlambat datang, sehingga orang-orang komunis sempat membakar penjara di kota Ngawi, tempat para pejuang pro Soekarno-Hatta ditangkap dan ditahan orang-orang PKI. Sebagian dari para pejuang ini sempat dibawa lari orang-orang PKI sebagai sandera, yang kemudian dibunuh pula di tengah jalan. Gubernur Jawa Timur Soerjo yang sedang mengungsi ke Jawa Tengah pun dibunuh di tengah jalan di tengah hutan jati Desa Bangun Rejo, Gedung Galar, sebelum sampai ke Jawa Tengah.
Sedang serangan untuk menguasai Solo, Wonogiri dan Sukoharjo dipimpin olerh Letkol Kusno Utomo, dengan dua batalyon yang antara lain, dipimpin oleh Mayor Nasuhi. Menurut Mayor Nasuhi, Batalyon Slamet Riyadi dari Divisi Panembahan Senopati sempat membantu FDR/PKI bersama pasukan pemberontaknya lari menyelamatkan diri (Lubis; 2002).
Sementara itu, dalam rangka membersihkan sisa-sisa pasukan pemberontak, Letkol Soeharto tertangkap di luar kota Solo, oleh Kapten Imam Syafei dari Brigade-13, Kesatuan Reserve Umum. Soeharto diinterogasi oleh Mayor Omon Abdurrahman, Wakil Komandan Brigade. Penangkapan itu terjadi, karena ada perintah dari Gubernur Militer, Kolonel Gatot Soebroto, agar menangkap siapa saja dalam radius sekian kilometer dari kota Madiun.
Dalam sebuah keterangannya, Letkol Soeharto mengaku ditangkap di pinggir kota Solo (Soeharto; 1985). Kepada Mayor Omon, Soeharto mengaku menerima perintah dari Panglima Besar Sudirman secara tertulis untuk datang ke Madiun dan bertemu Muso; Soeharto memperlihatkan surat Sudirman itu.
“Saya ingin keterangan dari Overste, bagaimana asal usulnya sampai jatuh di tangan seorang petugas kami?”
“Saya pulang dari Madiun sehabis mengikuti rapat yang diselenggarakan oleh Pak Jososujono.”
“Apakah Overste juga dari FDR?”
“Bukan! Saya Komandan Resimen TNI di Yogyakarta. Saya datang atas undangan mereka. Komandan kami, Letkol Sadikin, juga menerima undangan; tetapi beliau tidak pergi, karena bukan simpatisan. Saya pergi atas perintah Pak Dirman.”
“Ada surat perintahnya?”
“Ada!”
“Boleh saya melihatnya?”
“Boleh!”
Setelah membaca surat itu, Mayor Omon Abdurrahman menyatakan maaf atas kesalahpahamannya.
Lima tahun sesudah itu, cerita Soeharto lain lagi (Dwipayana dan Ramadhan KH; 1989). Bahkan, Soeharto mengaku pergi ke Madiun dan kembali dari sana ke Yogyakarta sebelum terjadi Peristiwa Madiun. Kali ini dia mengaku diajak teman baiknya, Letkol Suadi, Komandan Pasukan Panembahan Senopati dari Solo, pasukan mana menurut Soeharto sudah digarap oleh PKI. Soeharto mengaku sempat berdialog dengan Muso di Madiun dan menyarankan kepada Muso untuk berdamai dengan Soekarno-Hatta agar tidak terjadi perang saudara. Karena Muso mau tetap melawan Soekarno, maka Soeharto dan Suadi kembali. Soeharto mengaku, mereka pulang dengan selamat, tidak pernah ditangkap, karena melalui jalan lain, sengaja untuk menghindari blokade pasukan Siliwangi. Suadi sendiri berhenti di Wonogiri dan berpisah.
“Saya terus menuju Solo melewati Sukoharjo. Kalau saya dari Wonogiri terus ke Solo, maka kemungkinan besar saya ditangkap Siliwangi yang sudah mulai bergerak. Dari Wonogiri saya ke Manyaran, terus Wonosari dan terus sampai di Yogya pagi hari. Kemudian saya lapor kepada Panglima Besar Soedirman, bahwa di Madiun saya bertemu dengan Muso.”
Kenapa Soeharto takut berpapasan dengan tentara Siliwangi? Bukankah karena Siliwangi anti PKI? Tetapi sementara itu ada cerita Soeharto, yang lain lagi:
“Sekali waktu saya pergi ke Jawa Timur dan bertemu, antara lain, dengan Pak Soengkono.”
Mayor Jenderal Soengkono adalah komandan Divisi Brawijaya. Lalu:
“Sewaktu saya kembali dari Jawa Timur, persis di jembatan Jurug Solo, saya ditahan, lalu dibawa ke Pos Siliwangi. Saya dilucuti, senjata saya diambil. Ternyata karena nama saya Soeharto, saya dikira Mayor Soeharto dari batalyon di Solo.”
Tentulah maksudnya, Mayor Soeharto yang di Solo itu orang komunis. Menurut Soeharto, pada saat diinterogasi di Pos Siliwangi yang kemudian menjadi Kantor Walikota Solo itu, muncullah Kolonel Sadikin dari Siliwangi, yang kemudian menyelamatkannya dan membebaskannya dari penangkapan dan interogasi: “Dia teman kita. Letnan Kolonel Soeharto, dari Yogya!”, demikian Kolonel Sadikin.
“Kejadian itulah yang ditulis orang sekian tahun kemudian. Tetapi peristiwa itu terjadi sebelum meletusnya Madiun Affair.”, kata Soeharto
Mengingat “cerita” Soeharto yang berbeda-beda itu, maka sangat mungkin surat perintah Sudirman itu pun tidak benar juga adanya. Ketika perihal surat itu mau dikonfirmasi, Pak Dirman sudah dalam keadaan sakit di medan perang. Demikian pula situasi perang di tanah air, antara lain, menghadapi Belanda yang menyerang kembali dan menduduki Yogyakarta dalam Aksi Militer ke Dua, sebelum dipukul balik lewat Serangan Umum 11 Maret 1949. Dalam peristiwa serangan ke Yogyakarta dan pendudukan oleh Belanda tersebut, bahkan Bung Karno dan Bung Hatta sempat ditawan dan dibuang ke Prapat, Sumatera. Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949 di mana Republik Indonesia berubah menjadi Negara Serikat, pada akhir Juni seluruh pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta.
Oleh sebab itu tidak jelas pula apakah surat itu asli dari Pak Dirman. Bahkan, ketika Jenderal Soedirman berhasil dijemput oleh Letkol Soeharto sendiri dari medan perang untuk kembali ke Yogyakarta atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono-IX, soal surat itu sudah tidak dipersoalkan lagi. Ketika akhirnya Panglima Besar Soedirman mangkat pada Januari 1950, soal surat itu lenyap pula bersamanya. Sangat mungkin Jenderal Soedirman sendiri tidak pernah tahu tentang adanya surat yang dipersoalkan tersebut.
Soeharto memang berangkat ke Madiun bersama Suadi dan Muso untuk menemui Panglima Divisi Jawa Timur, Mayor Jenderal Soengkono, dan meminta netralitas pasukan Divisi Jawa Timur, seandainya terjadi clash antara pasukan Divisi Jawa Tengah dan Siliwangi. Di dalam keterangannya Letkol Soeharto tidak menyinggung laporan hasil pertemuan dengan Mayor Jenderal Soengkono, Panglima Divisi Jawa Timur, melainkan dengan Muso saja. Sebagai tentara, dan mengaku mendapat perintah resmi dari Panglima Sudirman, Soeharto mestinya melaporkan hasil pertemuannya dengan Soengkono itu. Hal ini semakin memperjelas keterlibatan Soeharto dalam misinya bersama Muso untuk menyiapkan pemberontakan PKI pada 1948 (Inajadi dan Nasuhi; 1999).
Tetapi, anehnya, banyak ahli sejarah kita, yang tentu saja memunyai banyak catatan, tidak mau menulis, atau tidak berani menulis, karena kata PKI menimbulkan rasa takut. Banyak jenderal, termasuk Jenderal Mohammad Jusuf yang sampai meninggalnya tidak berani mengungkap keadaan sebenarnya tentang Soeharto dan Peristiwa ‘65. Contoh kecil lain adalah mundurnya Brigadir Jenderal Sadikin, mantan Panglima Siliwangi, sesudah Soeharto berkuasa pada 1967. Waktu itu Kolonel Sadikin adalah atasan Letkol Soeharto ketika Soeharto ditangkap dan sedang diperiksa di Solo.
Demikian pula yang terjadi dengan Mayor Jenderal R. Achmad Nasuhi yang waktu itu adalah Komandan Batalyon Tengkorak berpangkat Mayor dan ikut masuk ke dalam Divisi Siliwangi ketika hijrah ke Yogyakarta. Mayor Nasuhi ikut memadamkan pemberontakan PKI, terutama wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitar jalur Selatan-Timur, seperti Surakarta-Sukohardjo-Wonogiri-Baturetno-Giriwoyo-Punung-Pacitan. Mayor Nasuhi juga berhasil menangkap beberapa tokoh FDR/PKI di Ngrejo, seperti Komandan Divisi Brawijaya Mayor Jenderal Soengkono, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Letnan Kolonel Yusuf Bakri, serta pemimpin Staf Pepolit, Letkol Samsudin. Dalam bukunya yang pertama (Inajadi dan Nasuhi; 1999) Mayor Nasuhi menyebut dokumen yang dimilikinya tentang penangkapan Letkol Soeharto itu, dan yang menjelaskan keterlibatan Soeharto dalam Peristiwa Madiun; tetapi di dalam bukunya yang terbit kemudian (Lubis; 2002), Nasuhi tidak menyertakan lagi dokumen tersebut.
Ada beberapa cerita lain tentang Soeharto yang tersisa dalam periode antara Peristiwa Madiun dan Peristiwa ’65. Yang pertama adalah soal Serangan Umum 1 Maret 1949. Soeharto bercerita, bahwa seluruh agenda Serangan Umum itu adalah hasil karyanya sendiri. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang sempat menjadi Wakil Presiden di jaman Soeharto, marah mendengar cerita itu, lalu mengundurkan diri dari percaturan politik dengan Soeharto; bahkan kemudian mundur dari Kesultanan. Menurut cerita, Sri Sultan HB-IX inilah yang sebenarnya memanggil dan meminta Soeharto melakukan serangan kepada Belanda serta membalas Aksi Militer Belanda ke Dua tanggal 19 Desember 1948 itu.
Untuk menunjukkan bahwa Republik dan TNI masih ada, Sri Sultan HB-IX memanggil Soeharto ke Istana Sultan Yogyakarta dan memintanya agar melakukan penyerangan terhadap pos-pos Belanda di Yogyakarta. Serangan Umum 1 Maret itulah yang kemudian menggema ke seluruh penjurui dunia dan ikut memengaruhi Sidang Dewan Keamanan di PBB. Dewan Keamanan PBB memaksa Belanda untuk melakukan gencatan senjata dengan RI; gencatan senjata ini dilanjutkan dengan Perundingan Roem-Royen.
Tetapi Soeharto mengelak. Dia mengatakan, bahwa pertemuan dengan Sri Sultan itu terjadi sesudah Serangan 1 Maret, di mana Sri Sultan menyatakan terimakasihnya kepada Soeharto. Maksudnya mau mengatakan, bahwa Serangan Umum 1 Maret itu adalah prakarsanya sendiri.
Para Aktor G30S
Cerita lain adalah antara periode September 1950 sampai awal 1956, ketika Letkol Soeharto diserahi memimpin Brigade-O di Yogyakarta di bawah Panglima Teritori-IV Jawa Tengah, Kolonel Gatot Subroto. Di situ, Soeharto masih menyebut Mayor Soeharto sebagai pimpinan Brigade-P di Solo; dan Letkol Ahmad Yani sebagai pimpinan Brigade-Q di Salatiga. Tetapi, bukankah menurut Soeharto, Mayor Soeharto sudah ditangkap karena dituduh komunis?! Di masa itu, oleh Kolonel Gatot Subroto, Letkol Soeharto diserahi tugas menumpas pasukan DI/TII di Jawa Tengah. Pasalnya, Pasukan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo menolak kembalinya tentara Siliwangi ke wilayah Jawa Barat dan memaklumkan perang terhadap Republik Indonesia. Dalam hubungan itu, Soeharto ditugasi untuk memadamkan pemberontakan Batalyon Infantri-426 yang punya hubungan rahasia dengan DI/TII. Dalam tugas khusus itu, Mayor Soeharto, Komandan Brigade Panembahan Senopati di Solo, justru menjadi wakil Letkol Soeharto kita.
“Pada tanggal 25 Januari 1952 terjadi pertempuran hebat di mana empatpuluh pemberontak tertembak mati, dan lebih dari 30 orang pemberontak tertangkap. Aksi pemberontakan oleh Batalyon-426 akhirnya berhasil kami tumpas!”
Demikian cerita Letkol Soeharto. Sesudah itu, Letkol Soeharto diserahi memimpin sebagai Komandan Resimen-14 di Salatiga. Belum lama dari itu mendapat tugas memperbaiki Brigade Panembahan Senopati yang sudah berubah namanya menjadi Resimen-15. Yang dimaksud dengan “memperbaiki” di sini, selain memimpin juga membersihkan. Karena itu, sekalipun belum lama berada di Salatiga, Soeharto harus pindah lagi ke Solo. Tentang Panembahan Senopati di Solo itu memang unik. Soeharto sendiri secara eksplisit menyatakan, bahwa beberapa pasukan dalam Divisi Panembahan Senopati, seperti Batalyon-426 dan Resimen-15, sudah memeroleh pendidikan politik oleh tokoh-tokoh PKI, seperti Alimin. Soeharto menerangkan, bahwa pertentangan politik di kota Solo sebagai akibat dari ideologi komunis amat sangat hebat. Kolonel Soetarto yang pernah menjabat Komandan Divisi juga terbunuh oleh unsur komunis menjelang Peristiwa Madiun. Di Resimen-15 itulah Soeharto, menurut ceritanya, bertemu dan mengenal Untung sebagai anak-buahnya, yang kemudian pada tahun 1965 memimpin Gerakan 30 September.
Dalam kesempatan itu Soeharto menjelaskan dalam bukunya:
“Batalyon Sudigdo yang bermarkas di Kleco memeroleh pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin, di antaranya Untung dan Suradi, yang kemudian pada 1965 memimpin G-30-S/PKI. Karena itu tidak sulit bagi saya untuk menerka siapa yang berada di belakang G-30-S/PKI, setelah saya mendengar siaran lewat radio bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Untung.”
Lebih lanjut tentang Letkol Untung yang memimpin Gerakan 30 September, Presiden Soeharto mengatakan:
“…deg…saya segera mendapat firasat. Lagi pula saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia seorang yang dekat, rapat dengan PKI, malahan pernah menjadi anak didik tokoh PKI Alimin.”
Bukankah Letkol Soeharto sendiri, waktu itu, yang ditugasi “memperbaiki” atau memimpin dan sekaligus membersihkan Resimen-15, antara lain, Batalyon Sudigdo, dari pengaruh ideologi komunis?! Kenapa Untung dan Suradi sebagai anak-buahnya di Resimen-15 yang sudah diketahuinya terkena pengaruh komunis, dan mestinya ikut terkibat dalam Peristiwa Madiun itu, dibiarkan saja? Sejauh mana hubungan Soeharto dengan Untung, khususnya hubungan ideologisnya, selama berada di Resimen-15 Solo? Tentang ideologi itu, Soeharto sendiri mengatakan:
“Saya ingat, sebagian perwira Resimen-15 berpendapat, bahwa perwira harus berpolitik, bila tidak, diibaratkan seperti ‘kip zonder kop’ atau ‘ayam tanpa kepala’.”
Apakah itu bukan pikiran Soeharto sendiri?!
Menurut dugaan, hubungan Soeharto dengan Untung yang menjadi anak-buahnya di Resimen-15 sejak itu dipertahankan dengan baik. Selama itu, Soeharto menanamkan pikiran kepada Untung, bahwa mereka adalah kader-kader Soekarno. Di situlah Lekol Untung sebagai Komandan Pasukan Cakrabirawa membiarkan Soeharto tidak terjamah seperti jenderal-jenderal lain yang terbunuh dalam Perisitiwa ’65.
Adalah kurang lengkap, apabila Letkol Untung dibicarakan dalam Peristiwa ’65, tetapi Kolonel Abdul Latief tidak. Ternyata keduanya mengenal Soeharto dengan baik sejak tahun-tahun Perang Kemerdekaan itu. Sampai dengan tahun 1947, Abdul Latief masih bergerilya di Surabaya dan Jawa Timur. Tahun 1947 itu dipindah ke Jawa Tengan dengan pangkat Mayor. Sebelum Aksi Militer ke Dua Belanda ke Yogyakarta menjabat sebagai Kepala Staf Operasi Brigade IV di Yogyakarta. Mayor Abdul Latief pun aktif dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, atau yang disebut Pertempuran “6 Jam di Yogyakarta”. Letkol Soeharto pernah menjadi atasannya sebagai Komandan Militer Kota (KMK) Ibukota Yogyakarta, yang awalnya dipegang oleh Letkol Latief Hendraningrat.
Bahkan ketika Letkol Soeharto berangkat ke Sulawesi Selatan pada 21 April 1950, bersamaan dengan keberangkatan Mayor Abdul Latief untuk menumpas Pemberontakan Kapten Andi Aziz dan kemudian Kahar Muzakar. Letkol Soeharto memimpin satu Brigade, Brigade Mataram. Sedang Mayor Abdul Latief berada di bawah Batalyon Seno yang dipimpin mayor Sudjono. Menurut pengakuan Abdul Latief dia mengenal Soeharto dengan baik, bahkan atas informasi Abdul Latief, Soeharto bisa menemukan tempat persembunyian Andi Aziz. Abdul Latief pun mengaku mengenal keluarga Habibie, seperti halnya Soeharto.
Selesai dari Sulawesi Selatan, pada Desember 1950 Abdul Latief kembali ke Yoyakarta; sedang Soeharto sudah lebih dulu pada akhir September kembali ke Yogyakarta. Rupanya Soeharto dan pasukannya dipulangkan karena melakukan kesalahan besar dalam operasi; dia sempat ditampar oleh Kol. Alex Kawilarang karena kesalahannya itu. Tahun 1951 dan 1952 Abdul Latief bersama Soeharto, ikut memadamkan pemberontakan DI/TII Kartosoewirio dan Batalyon-426 di Jawa Tengah. Pada tahun 1953, Abdul Latief bertemu kembali dengan Soeharto di Divisi Panembahan Senopati yang sudah berganti nama menjadi Resimen-15, di mana Soeharto adalah Komandannya. Bahkan di situ Abdul Latief ditugasi Soeharto khusus untuk memegang sebuah batalyon yang banyak orang-orangnya berasal dari Madura; Abdul Latief mengaku fasih berbahasa Madura.
Anehnya, Soeharto sendiri tidak pernah berbicara tentang Abdul Latief di dalam buku-bukunya tentang pengalamannya mengemban tugas sebagai tentara bersamanya. Maka dapat disimpulkan, bahwa antara Soeharto, Untung dan Abdul Latief telah terjalin hubungan yang erat di antara mereka, hubungan pribadi yang hanya mereka saja yang tahu. Hubungan ini sangat mungkin bukan hubungan yang terkait dengan ideologis komunis, sekalipun Soeharto tahu banyak tentang orang-orang komunis dan jaringan komunis, serta komunisme. Baru dalam kaitan dengan Peristiwa ’65 Soeharto berbicara tentang Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief yang disebutnya berideologi komunis.
Bagaimana Soeharto memelihara hubungan dengan Untung dan Abdul Latief dalam jangka waktu panjang sekitar 15 tahun sebelum Peristiwa ‘65, itulah gaya khas Soeharto. Tidak hanya dengan mereka, tetapi juga dengan kawan-kawan dan mantan anak-buahnya di Yogyakarta, Jawa Tengah dan di Divisi Diponegoro. Dalam ceritanya, Abdul Latief mengatakan, bahwa Soeharto ikut hadir dalam perkawinan Untung di Jawa Tengah. Soeharto menjadi tamu kehormatan keluarga Abdul Latief ketika ada upacara khitanan anaknya; demikian pula Soeharto mengundang Abdul Latief ketika Sigid Soeharto dikhitankan.
Kolonel Abdul Latief tiba-tiba saja muncul ke rumah Soeharto di jalan Haji Agus Salim Jakarta, bahkan lalu mengejarnya ke RSPAD, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Gatot Subroto, pada 30 September 1965 malam hari untuk sesuatu informasi yang hanya mereka berdua yang tahu tetang apa. Apa yang disampaikan?! Menurut Abdul Latief dia menyampaikan berita, bahwa Letkol Untung akan melakukan tindakan penyelamatan terhadap Soekarno dari ancaman Dewan Jenderal. Abdul Latief merasa cukup puas, karena tidak ada reaksi dari Soeharto; artinya Soeharto bisa membenarkan tindakan Untung.
Sangat mungkin Soeharto tidak bereaksi, karena dia tahu lebih banyak dari yang didaku disampaikan oleh Abdul Latief. Sangat mungkin Soeharto diberitahu pula tentang pembunuhan para jenderal dan perwira Tinggi Angkatan Darat itu, dan bahwa Jenderal Nasution lolos dari pembunuhan! Apa artinya itu bagi Soeharto atau keduanya?! Sekalipun Kolonel Abdul Latief menyatakan bahwa gerakan Letkol Untung tidak bermaksud membunuh para Jenderal itu, selain menghadapkannya kepada Bung Karno.
Sedang Soeharto beserta kawan-kawannya ini, berharap semua jenderal, sebutlah Dewan Jenderal, yang memang sudah dibidik tewas itu, terbunuh semua dalam Revolusi yang dilancarkan oleh Letkol Untung dan kawan-kawannya dengan restu Soeharto. Soehartolah yang meniup-niupkan berita tentang adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan coup d’etat terhadap Soekarno. Padahal Dewan Jenderal itu tidak ada. Soekarno sendiri sempat terkecoh dengan isyu itu; oleh karenanya dipanggillah Ahmad Yani, kepala Staf Angkatan Darat yang menggantikan Nasution sejak pertengahan 1962. Dari jawaban Yani, Soekarno merasa bahwa para jenderalnya masih setia kepadanya.
Sangat mungkin Soehartolah yang merencanakan pembunuhan terhadap enam Jenderal TNI-AD, termasuk Ahmad Yani dan Nasution. Tetapi dengan pandainya Soeharto mengatakan, bahwa mereka adalah korban-korban kekejaman PKI. Sedang Untung dan Abdul Latief adalah para pendukung dan para kaki-tangan komunis. Dan karena itulah PKI harus dihabisi. Dengan pengetahuannya tentang kekejaman pemberontak PKI di Madiun, maka direkayasalah pembunuhan terhadap para jenderal itu, mirip dengan apa yang dilakukan oleh PKI 1948, yaitu dimasukkan ke dalam satu lubang yang sama; kali ini di desa Lubang Buaya, Jakarta Timur. Konon tubuh mereka disayat-sayat, sekalipun menurut dokter kemudian hal itu tidak terbukti.
Soeharto baru mengontak petinggi-petinggi Amerika Serikat dan Barat setelah dia tidak mampu mengendalikan situasi, karena Soekarno masih ingin tetap berkuasa dan Nasution tidak tewas terbunuh. Soeharto merasa perlu minta bantuan CIA untuk menjatuhkan Soekarno dan memojokkan Nasution pada posisi Ketua MPRS. Sangat mungkin, kalau Nasution ikut terbunuh situasinya menjadi lain.
Para petinggi Amerika Serikat, pihak Barat dan CIA sendiri, melalui Dutabesar Amerika Serikat di Jakarta, Marshall Green, sangat berhati-hati dalam menangani Peristiwa ’65. Mereka memerhatikan faktor Jenderal Nasution. Ketika November ’65 itu Nasution menyetujui bantuan Moscow, Amerika melihat bahwa TNI mengidentifikasi RRC sebagai pendukung PKI, dan bukan Rusia; dan bahwa Indonesia tetap mau melanjutkan cita-cita sosialisme, bukan komunisme, sebagaimana juga sering dikatakan Soekarno. Amerika Serikat juga menunjukkan perhatiannya ketika Nasution tidak diikutkan di dalam Kabinet Soekarno pada Februari 1966; Soekarno justru memasukkan beberapa tokoh pro-komunis menjadi menteri.
Peristiwa itu disusul dengan bentrokan mahasiswa antara yang pro-Soekarno dan anti-Soekarno. Sejak meletusnya Peristiwa ’65 muncul berbagai pergerakan mahasiswa dan pemuda yang kemudian menjadi kesatuan-kesatuan aksi; antara lain, KAMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang didirikan pada 25 Oktober 1995, dan KAPI, Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia, dan KAPPI, Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia. Muncul pula kemudian Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, atau KASI. Kesatuan-kesatuan aksi ini melahirkan Tritura, atau tiga tuntutan rakyat, yaitu bubarkan PKI, bubarkan kabinet, dan turunkan harga-harga. Tritura lahir pada 10 Januari 1966; dan esok harinya pula Soekarno membubarkan kesatuan-kesatuan aksi itu. Tetapi para pemuda dan mahasiswa tidak peduli. Juga muncul Front Pancasila yang merupakan kumpulan dari tokoh-tokoh senior dari kelompok non-kampus yang juga sama-sama anti komunis.
Munculnya kabinet baru Soekarno di mana masih saja terdapat orang-orang pro-komunis menyulut kemarahan kesatuan-kesatuan aksi itu. Maka sekitar 50 ribu mahasiswa dan pemuda menyampaikan protes dengan mendatangi Istana Merdeka; mereka dihadang pasukan pengaman presiden dari kesatuan Cakrabirawa. Pada peristiwa itu, Arief Rahman Hakim, seorang mahasiswa Kedokteran Universitas Indonesia dari KAMI, dan Ichwan Ridwan Rais, seorang siswa pelajar dari KAPI, tewas tertembak. Dalam kesempatan lain, seorang wartawan Zaenal Sakse yang berada di tengah-tengah mahasiswa juga tewas tertembak peluru petugas. Sedang para pemuda dan mahasiswa yang pro-Soekarno yang membentuk Barisan Soekarno, mendatangi Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, di Medan Merdeka Selatan, merobek-robek benderanya, dan membakar beberapa mobil kedutaan.
Ketika pembubaran PKI menjadi isyu yang mulai dihembus-hembuskan oleh Soeharto kepada masyarakat, mahasiswa dan pemuda, serta pembantaian terhadap para pengikut PKI terjadi di desa-desa, Amerika Serikat mulai memerhatikan faktor Soeharto secara serius dan membantunya menjelang Maret 1966. Soekarno dalam salahsatu pidatonya mengatakan bahwa telah terjadi pembantaian terhadap 80 ribu orang warganegara Indonesia; sementara banyak pihak, khususnya para pengikut Soekarno yang berada di Eropa, percaya bahwa jumlahnya sepuluh kali lipat daripada itu.
Dalam kaitannya dengan pembunuhan orang-orang yang didakwa komunis itu, khususnya di daerah pedesaan di seluruh Indonesia beredar cerita tentang adanya daftar nama orang-orang PKI; khususnya di Jawa, dan lebih khusus lagi di Jawa Timur. Tentang daftar nama anggota PKI itu, rupanya ada banyak daftar yang beredar; salah satunya memuat 40.000 nama (Gardner; 1999).
Kathy Kadare, seorang wartawati asal dari Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa Staf Kedutaan Besar Amerika Serikat bersama CIA telah menyerahkan daftar nama sekitar 5.000 orang yang terlibat PKI. Daftar nama itu disampaikan kepada, pembantu dekat Adam Malik, untuk selanjutnya disampaikan kepada pihak TNI Angkatan Darat. Dari daftar itu pula, menurut Kathy, TNI-AD lebih leluasa menumpas PKI. Akan tetapi Jenderal Nasution menyatakan tidak tahu-menahu soal daftar nama tersebut; tetapi mengakui mendengar itu belum lama dari Republik Rakyat Cina (Tianlean; 1997).
Soeharto sendiri tidak dikenal oleh CIA dan para petinggi Amerika Serikat; berbeda dari Ahmad Yani dan lain-lain. Tetapi, bahwa Soeharto mempunyai pikiran, pandangan dan cara sendiri dalam menjalankan Indonesia, mereka tidak syak lagi; dalam jangka waktu yang pendek mereka segera tahu siapa Soeharto pada masa lalu. Sekarang tinggal bagaimana menangani Soeharto agar menjadi sahabat Amerika Serikat dan Barat pada umumnya. Mereka pasti tahu juga bagaimana Soeharto merasa tersingkir oleh jenderal-jenderal muda yang elitis dan dicintai Soekarno itu; padahal Soeharto merasa dialah yang paling senior sesudah Nasution dan banyak jasa dan pengalamannya di medan perang, khususnya sebagai Panglima Mandala dan Wakil Panglima Dwikora. Soeharto hanya ingin berkuasa menggantikan jenderal-jenderal yang disebutnya Dewan Jenderal itu, dan bersama atau tidak bersama Soekarno melanjutkan memimpin Indonesia; serta dengan atau tanpa PKI sekalipun.
Sesuai dengan pengakuannya sendiri dalam sejarahnya sebagai tentara, Soeharto sering menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap berbagai kebijakan dalam mengelola negara, seperti terhadap Soekarno, Sjahrir, Soedirman, Nasution dan para politisi lain (Dwipayana dan Ramadhan; 1989). Tetapi, di samping itu, Soeharto sendiri sudah siap pula dengan segudang jenderal dan perwira tinggi Angkatan Darat yang lain, yang sewaktu-waktu siap mendukungnya, seperti Umar Wirahadikusuma, Muhammad Yusuf, dan Ali Murtopo; serta tidak terkecuali Benny Moerdani dan Sarwo Edhie Wibowo. Di lain pihak, Soekarno tentu punya penilaian sendiri tentang siapa Soeharto: kenapa Soekarno lebih memilih Nasution dan Ahmad Yani.
Tentang pertemuannya dengan Abdul Latief di RSPAD, Soeharto mengatakan bahwa Abdul Latief datang untuk “mengecek” Soeharto; “mengecek apa” tidak disebutkannya. Mereka bertemu sekitar jam 10 malam. Dalam kesempatan lain Soeharto mengatakan, bahwa Abdul Latief datang untuk membunuhnya. Kedua alasan pertemuan itu tentu tidak masuk akal. Abdul Latief sendiri dalam Peristiwa ’65 itu mengatakan, bahwa Soeharto telah berkhianat kepadanya; sedang Untung tidak sempat bilang apa-apa karena segera dieksekusi. Juga menjadi tanda tanya besar, kenapa Abdul Latief yang sudah disiksa begitu rupa selama 33 tahun dalam tahanan sejak 11 Oktober 1965 masih dibiarkan hidup.
Di dalam pleidoi-nya ketika Kolonel Abdul Latief diajukan sebagai Terdakwa dalam Sidang Mahkamah Militer pada 1978 (Latief; 2000), dia terang-terangan mengatakan bahwa Dewan Jenderal itu ada; dan Soeharto tahu jauh hari sebelumnya tentang adanya Dewan Jenderal dan upaya pihak-pihak untuk mendahului langkah Dewan Jenderal. Dengan demikian, kalau Soeharto menuduh Soekarno terlibat dalam Gerakan 30 September, maka Soeharto pun harus dinyatakan terlibat dalam gerakan tersebut. Presiden Soekarno yang akhirnya digulingkan oleh Soeharto sebagai pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 yang berasal dari Soekarno itu, justru adalah Presiden/Mandataris MPRS/Kepala Pemerintah RI yang akan diselamatkan oleh Letkol Untung dan Kolonel Abdul Latief dari ancaman coup d’etat oleh Dewan Jenderal yaitu sebagian dari para Perwira Tinggi Angkatan Darat.
Soemitro Djojohadikusumo
Tentu Abdul Latief mengira, bahwa dia bersama Letkol Untung berada dalam satu gerakan dengan Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, untuk menyelamatkan Soekarno. Banyak keterangannya di dalam pleidoi yang baru terbit pada 1999 itu, sesudah Soeharto mundur, yang bisa menjawab banyak pertanyaan; tetapi tidak sedikit pula menyisakan pertanyaan-pertanyan lain yang tak terjawab. Tentang lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966, dikatakannya itu sebagai kudeta semu terhadap Soekarno. Di sini, Amerika Serikat dan CIA dipercaya ikutserta membantu Soeharto memeroleh Surat Perintah 11 Maret itu. Hilangnya dokumen asli Surat Perintah itu pun memperjelas campur tangan Amerika Serikat untuk secara positif mendukung Soeharto dan mengeliminir Soekarno.
Tentang lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal pula dengan nama Super Semar itu, Soeharto bercerita sebagai berikut (Dwipayana dan Ramadhan; 1989):
“Menteri Veteran Mayor Jenderal Basuki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigadir Jenderal M. Jusuf dan Panglima Daerah Militer V Jaya Brigadir Jenderal Amir Machmud datang di rumah saya, di jalan Haji Agus Salim. Dalam keadaan flu berat, batuk-batuk dan tidak bisa bicara keras saya terima mereka…”
Selanjutnya menurut Soeharto mereka menceritakan apa yang terjadi di Istana pagi harinya sewaktu Sidang Kabinet; bahwa Bung Karno meninggalkan sidang dengan tergesa-gesa karena ada laporan Istana sedang dikepung pasukan tak dikenal. Ternyata pasukan yang dimaksud adalah dari Batalyon 454 Diponegoro dan Batalyon 530 Brawijaya. Kedua batalyon itu menduduki Lapangan Monas, khusus di bagian Barat; sedang di bagian Timur, di mana ada Markas Kostrad, sama sekali tak disentuh oleh tentara-tentara itu. Siapa yang mengundang mereka, dengan alasan untuk meramaikan Hari Angkatan Perang 5 Oktober itu, sangat mungkin Soeharto sendiri.
Bersama Subandrio dan Chaerul Saleh, Bung Karno naik helikopter menuju Istana Bogor; pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Ketiga jenderal itu pun mengambil inisiatif untuk menyusul Bung Karno ke Bogor guna memberitahu bahwa Angkatan Darat ‘tidak mengucilkan’ Presiden.
Di sini Soeharto tidak bercerita kenapa ketiga jenderal itu datang ke rumahnya, dan apa maksud sesungguhnya mereka berangkat ke Bogor, kecuali Soeharto titip pesan untuk Bung Karno: “Kalau saya diberi kesempatan, keadaan sekarang ini akan saya atasi.”
Sekembali dari Bogor, secara kronologis, Jenderal Basuki Rahmat menceritakan kepada Soeharto kejadian di Bogor. Sesudah mendengarkan kemarahan Bung Karno karena merasa kewibawaannya dirongrong oleh para demonstran, ketiga orang jenderal itu menyampaikan pesan Soeharto dengan bahasanya sendiri-sendiri, antara lain:
“Percayakan saja kepada Pak Harto!”
“Barangkali diperlukan surat perintah!”
Bung Karno menjawab:
“Baik! Siapkan surat perintah itu!”
Lalu dibantu oleh Ajudan Presiden, Brigjen Sabur, ketiga jenderal itu menyiapkan surat perintah. Surat itu dikoreksi sendiri oleh Bung Karno dengan dibantu oleh ketiga Wakil Perdana Menteri Leimena, Subandrio dan Chaerul Saleh; surat itu akhirnya ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Malamnya, ketiga jenderal itu sudah datang kembali di rumah Soeharto di jalan Haji Agus Salim dengan menyerahkan surat perintah dari Presiden Soekarno.
“Setelah membaca surat perintah tertanggal 11 Maret 1966 itu dan membaca isinya, seketika itu pula saya mengambil keputusan untuk membubarkan PKI. Segera saya adakan rapat staf dengan mengundang semua Panglima Angkatan di Kostrad.”
Tetapi Soeharto tidak menceritakan kembali cerita Basuki Rahmat tentang bagaimana surat perintah 11 Maret itu dibuat dari siang hingga malam hari itu. Dugaan banyak orang, surat yang dinyatakan oleh Rezim Soeharto sebagai Super Semar itu adalah palsu. Yang sebenarnya asli tidak diketahui di mana; mungkin sekali sengaja dihilangkan. Selain Sabur, hanya tiga jenderal yang bertemu Soekarno di Istana Bogor ditambah dengan Soeharto saja yang tahu surat yang asli.
Mungkin sekali surat asli itu awalnya masih ditulis tangan, baru sesudah itu diketik. Ketikan pertama bisa dianggap asli; tetapi ketikan ke dua sesudah itu sudah pasti palsu, karena sudah berubah dari aslinya. Yang palsu itulah yang kemudian diterbitkan dan diperbanyak oleh Moerdiono sebagai versi Sekretariat Negara (Moerdiono; 1994) atau versi Pemerintah Soeharto. Mungkin yang asli tulisan tangan masih ada di tangan Brigjen Sabur, Ajudan Bung Karno, Leimena, Subandrio atau Chaerul Saleh; kesemuanya sudah meninggal. Atau masih tertinggal di Istana Bogor…
Masih menurut cerita Soeharto, Kolonel Sudharmono dan Letnan Moerdiono dipanggil guna membuat surat pembubaran PKI; jam sudah menunjukkan lewat tengah malam ketika itu. Tetapi tepat pada pukul 06.00 pagi tanggal 12 Maret 1966 RRI mengumumkan pembubaran PKI. Beberapa hari sesudah itu, Soeharto mengeluarkan instruksi untuk mengamankan 15 Menteri Kabinet Dwikora; dan Keputusan Presiden tentang penunjukan menteri-menteri ad interim, karena sejumlah menteri Soekarno ditahan. Soeharto juga mengeluarkan instruksi agar para siswa dan mahasiswa kembali ke bangku sekolah dan kuliah. Dan aksi mahasiswa pun mereda.
Soeharto sempat didudukkan sebagai salahsatu dari Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Dwikora Soekarno yang dibentuk pada 27 Maret 1966, merangkap Menteri Hankam dan Panglima Angkatan Darat; pangkatnya pun naik menjadi jenderal penuh. Desakan para politisi dan tokoh-tokoh ABRI untuk mengambil alih kekuasaan Soekarno dijawabnya begini (Dwipayana dan Ramadhan; 1989):
“Saya tidak pernah punya maksud menyiapkan diri untuk memangku jabatan presiden. Jangankan saya mendapatkan pendidikan untuk itu, mimpi pun tidak pernah.”
Pada Juni 1966 seusai Sidang MPRS Soeharto ditetapkan sebagai Ketua Presidium Kabinet yang berarti menjadi Kepala Pemerintah RI. Dalam sidang MPRS tahun berikutnya, baru Soeharto menyatakan kesanggupannya menerima jabatan sebagai Penjabat Presiden RI:
“Saya menerima menjadi Penjabat Presiden selama satu tahun. Masa itu kita pergunakan untuk saling menimbang, apakah saya mampu; apakah di tengah jalan tidak terjadi perubahan pikiran, tidak ada perubahan pilihan. Kalau nanti saya ternyata tidak berhasil, ya pilihlah lagi orang lain…”
Kata-kata Soeharto itu tentu luar biasa, sesuai dengan ceritanya sendiri; luar biasa dalam artian kemampuannya bersandiwara. Dalam kenyataannya, pada tahun 1968, tidak terjadi pemilihan umum sebagaimana dijanjikan. Pemilu baru terjadi pada 1971, sesudah terjadi larangan terhadap tokoh-tokoh dan anggota Partai Masyumi dan Partai Sosialis untuk mengikuti Pemilu, demi kemenangan Golongan Karya sejak itu.
Tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai-partai menjadi dua partai, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan serta Golongan Karya yang tidak mau disebut partai. Diperkenalkan juga lain-lain hal, seperti mekanisme lima tahunan untuk Pemilu, pelantikan anggota-anggota DPR/MPR, pemilihan presiden, pertanggungjawaban Presiden, dan lain-lain dalam apa yang disebutnya dengan Rezim Orde Baru. Soeharto memang hebat, kata-kata manisnya yang tersebut di atas hanyalah untuk menutupi rencana yang sudah disusunnya secara rapi dan matang jauh hari sebelumnya; untuk sebuah penguasaan berjangka panjang, bahkan sangat panjang!
Memang dukungan Amerika Serikat terhadap Soeharto dan sebaliknya baru menjadi semakin jelas sesudah Maret 1967. Di sini campur tangan seorang Soemitro Djojohadikoesoemo menjadi semakin nyata, bahwa jatuhnya Soekarno memang sudah lama dipersiapkan sebelumnya.
Soemitro Djojohadikoesoemo adalah salahsatu intelektual muda yang disiapkan oleh Sutan Sjahrir. Dalam kabinet Sjahrir yang pertama, Soemitro yang ahli ekonomi itu sudah ditunjuk untuk menduduki posisi penting dalam perdagangan, yaitu membuka blokade perdagangan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia. Sesudah itu Soemitro diangkat menjadi Wakil Indonesia untuk Bidang Keuangan dan Perdagangan di Amerika Serikat dengan kuasa penuh. Sjahrir memperkuat posisi politik Indonesia dengan Amerika Serikat untuk melawan Belanda dengan mengirim anak-anak buahnya yang sosialis dan jagoan, seperti Palar, Soedjatmoko dan Soedarpo. Posisi itu segera saja membikin Soemitro menjadi sangat dekat dengan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, hal mana sangat bermanfaat bagi upaya menyingkirkan nafsu Belanda menguasai RI kembali.
Akan tetapi jatuhnya Kabinet Sjahrir, disusul dengan kesalahan Soemitro sendiri yang ikut PRRI/Permesta, membuatnya harus lari ke Inggris sebagai orang politik dalam pembuangan. Tentulah di sana dia tidak tidak hanya memandang Soekarno dari jauh; dia pasti tidak tinggal diam. Dia pasti menjadi sumber informasi berharga bagi Barat tentang Indonesia. Dia pun pasti punya hubungan baik dengan agen-agen CIA; bahkan menjadi lebih dekat dengan MI-6-nya Inggris. Apa yang dilakukan Soemitro di “tempat pembuangan”-nya di Inggris memang tidak jelas; tetapi kehadirannya di sana tentu sangat bermanfaat bagi upaya penjatuhan Soekarno.
Tetapi sebelum itu, pada sekitar 1950-an Soemitro sempat menjadi Dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia. Dialah yang menyiapkan para ahli ekonomi yang kemudian menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi Orde Baru di jaman Soeharto. Para ahli itu, yang dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley adalah orang-orang yang dikirim ke University of California, di Berkeley, Amerika Serikat, sebagai hasil kerjasama, antara lain, dengan Ford Foundation. Para ahli ekonomi seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Muhamad Sadli dan Emil Salim adalah orang-orang yang dipersiapkan oleh Soemitro pasca Soekarno. Sesudah Soekarno jatuh, Soemitro dan anaknya, Prabowo Subianto, kembali ke Jakarta dan diterima Presiden Soeharto. Ahli-ahli ekonomi itulah yang kemudian ditugasi Soeharto, antara lain, di bawah Tim Sultan Hamengku Buwono-IX, untuk membawa Indonesia kembali menjadi anggota PBB dan menyusun Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri; serta membentuk IGGI, Inter-Government Group on Indonesia, yaitu kelompok negara-negara donor yang memberi hutang untuk dana pembangunan kepada Indonersia.
Di sini memang terasa aneh, yaitu ketika Masyumi dan PSI dilarang karena para tokohnya terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Sesudah Soekarno jatuh, Soeharto menerima kembali Soemitro Djojohadikoesoemo yang disebut sebagai pemegang keuangan PRRI/Permesta. Sedang tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, sampai meninggalnya pun masih terus diawasi, dan rumahnya tetap dijaga oleh tentara sebagai orang dalam tahanan rumah.
Maka tidak heran kalau dalam perjalanannya mengemudikan Indonesia, Soeharto dinilai anti Islam. Upaya membentuk kembali Masyumi dilarang; tetapi sebagai gantinya dibentuk Parmusi, Partai Muslimin Indonesia. Dalam Pemilu 1971, ribuan orang Masyumi dilarang ikut serta. Dibentuk Partai Islam baru, Partai Persatuan Pembangunan atau PPP yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam dalam kerangka penyederhanaan partai di era Orde Baru. Karena Soeharto menuduh orang-orang Islam bermaksud menolak Pancasila sebagai asas tunggal, dan mau mengubahnya dengan ideologi Islam dan mendirikan Negara Islam. Soeharto tidak sadar, bahwa antipati masyarakat Islam terhadap Pancasila yang dia rasakan itu justru muncul dari Soeharto sendiri. Masyarakt Islam tidak anti Pancasila; tetapi bukan Pancasila yang diagungkan Soeharto menjadi ideologi, bahkan satu-satunya asas. Bagi umat Islam, Pancasila adalah tetap Dasar Negara, bukan ideologi dan bukan satu-satunya asas. Ideologi Islam adalah Firman Allah dalam Al Quran dan Sunnah Rasul.
Dalam berbagai peristiwa yang memicu konflik, seperti Kasus Tanjung Priok, Komando Jihad, Kasus Talangsari di Lampung, dan banyak kasus-kasus lain, selalu yang menjadi korban adalah umat Islam. Semula orang menduga, bahwa kebencian terhadap orang Islam itu adalah akibat dari pengaruh Jenderal Benny Moerdani yang Katolik; tetapi kalau melihat perlakuan Soeharto terhadap Natsir, maka Soeharto memang tidak suka kepada Islam sejak awal. Memang cukup kontras dibanding dengan Soekarno. Soekarno pernah menasihati para jenderal yang beragama Kristen untuk tidak berharap menjadi Panglima, karena mayoritas orang Indonesia adalah Islam; sedang Soeharto tidak berpikir seperti itu ketika mengangkat Panggabean sebagai Panglima ABRI pada 1973, atau Benny Moerdani pada 1983.
Dari mana awalnya Soeharto berlaku keras terhadap umat Islam ini tidak jelas. Padahal Soekarno jatuh, lalu digantikan Soeharto, juga oleh sebab dukungan Pemuda dan Mahasiswa Islam kepada Soeharto. Dan hampir lima tahun sekali, yaitu setiap pemilihan Presiden, Soeharto selalu memanfaatkan umat Islam Indonesia yang mayoritas melalui MUI, Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama dan lain-lain kelompok-kelompok Islam melalui tokoh-tokohnya, antara lain, untuk melakukan Doa Politik baginya, agar terpilih lagi menjadi Presiden RI. Soeharto sendiri mengaku bersekolah di Muhammadiyah; tetapi baru pada periode 1990, ketika mulai merasakan beberapa jenderal TNI-AD tidak mengikuti kata-katanya, maka dia mulai mendekati umat Islam. Khususnya ketika ada keinginan mendirikan ICMI, Soeharto serta-merta mendukungnya. Memang pernah orang melontarkan tuduhan, bahwa Nyonya Tien Soeharto, isterinya, adalah orang Nasrani; tetapi sesudah keluarga Soeharto membuktikannya dengan beramai-ramai berangkat naik haji ke Masjidil Haram, Mekkah, kecurigaan itu mereda.
Sesudah bersama anak-anaknya, antara lain, Prabowo Subianto dan Hasyim Djojohadikusumo, mengurus kewarganegaraannya kembali menjadi warganegara Indonesia, Soemitro diterima Soeharto menjadi Menteri Perdagangan, sesuai dengan posnya ketika bersama Sjahrir. Di tangannya, harga dan ketersediaan bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat, seperti beras, terigu, gula dan hasil pertanian dan perkebunan rakyat lain menjadi stabil; bahkan disribusi minyak pun ikut ditanganinya dengan baik. Dari Soemitro pulalah bantuan pangan dalam Program PL-480 dari Amerika Serikat menjadi cair kembali. Kawan-kawan Soemitro dari kelompok sosialis, antara lain, Soeripto, mendirikan PT. Madu untuk ikut menjadi distributor bahan-bahan pokok, antara lain, terigu.
Akan tetapi aktifitas Soemitro di situ menimbulkan sengketa dengan beberapa kementerian dan pihak, termasuk Tien Soeharto. Ibu Tien tidak setuju dengan kebijakan perdagangan Soemitro soal gandum yang dianggap telah merugikan orang dekatnya, Liem Sioe Liong, di PT. Bogasari, sebagai pemegang agen impor dan distributor tunggal gandum. Diadukannya perihal itu kepada Soeharto, yang pada periode berikutnya mengganti Soemitro dan memindahkannya menjadi Menteri Riset dan Energi.
Di Kementerian baru ini pun Soemitro membuat gebrakan, khususnya dalam menghitung potensi energi sumberdaya air di seluruh Indonesia. Demikian pula menghadapi gelombang protes mahasiswa dari berbagai universitas, 1977-1978, sebagai senior para ekonom ahli pembangunan di dalam kabinet, Soemitro rajin mengajak para teknokrat Soeharto berkunjung ke kampus-kampus untuk menjelaskan kepada mahasiswa program-program pembangunan pemerintah. Tetapi safari Soemitro samasekali tidak mendapat tanggapan dan dinilai gagal. Para mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa 77/78 dari Bandung, Jakarta, Medan, Surabaya dan Yogyakarta mencemooh program-program pemerintah serta menuduh pemerintah korup dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.
Puncaknya terjadi ketika pada 1978 Gerakan Mahasiswa 77/78 melalui beberapa tokohnya, antara lain, Heri Akhmadi dan Rizal Ramli dari ITB, yang menerbitkan Buku Putih tentang pembangunan di Indonesia. Menyusul itu mereka yang terlibat dipecat dari kemahasiswaannya dan sebagian lagi ditangkap, ditahan, diadili lalu dipenjara. Maka dikenallah apa yang disebut Kampus Kuning, tempat para mahasiswa ditahan, yaitu Markas TNI-AD dari Batalyon 202 Tajimalela di Bekasi, Jawa Barat. Heri sekarang menjadi anggota DPR-RI dari PDIP; dan Rizal yang sempat meraih gelar doktor dalam bidang Ekonomi di Amerika Serikat, pernah menjabat sebagai Menko Ekuin, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri, di jaman Presiden Abdurrahman Wahid.
Sesudah itu, peranan Soemitro dalam pembangunan ekonomi Indonesia segera tertutup oleh peranan para mantan murid-muridnya, seperti Widjojo Nitisastro dan kawan-kawannya. Sekalipun begitu, setiap ada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, ISEI, Soemitro selalu hadir dan kritis dalam mencermati hasil perkembangan pembangunan di Indonesia. Pada 1994 dia mengatakan bahwa 30-40% dari belanja negara pembangunan yang didominasi oleh bantuan asing menguap di tangan pemerintah; dan bahwa incremental capital-output ratio, ICOR, atau angka perbandingan pertambahan modal dan pertambahan hasil produksi, terlalu besar, yang menunjukkan inefisiensi dalam penggunaan modal investasi.
Pakar ekonomi Jeffrey Winters dari North-Western University, juga mengatakan dengan nada yang sama; bahwa dibanding dengan konsolidasi pembangunan 17 tahun yang sama dengan Korea Selatan, maka Indonesia menghamburkan bantuan asing (1973/74-1989/90), yaitu sebesar USD 166.5 milyar, yang berarti 20 kali lipat lebih besar daripada Korea Selatan (1959-1975); atau per penduduk dana bantuan asing itu 3-4 kali lipat lebih besar.
Merancang Orde Baru
Soeharto akhirnya sadar, bahwa dia membutuhkan waktu yang lebih lama daripada setahun, sebagaimana dia janjikan, untuk memperkokoh dirinya agar bisa berkuasa dalam jangka waktu yang panjang. Hal itu tentu wajar-wajar saja; yang berarti bahwa pengakuannya “tidak pernah mimpi menjadi presiden” hanya sekedar lips service. Selama lebih-kurang empat tahun sampai dengan tahun 1971, dia berusaha keras membangun sistim pemerintahan baru yang dia sebut sebagai pemerintahan Orde Baru. Dalam pidatonya yang pertama, semacam state of the nation, pada 16 Agustus 1967, yang bisa dicatat sebagai pidato Lahirnya Orde Baru, Soeharto mengecam pelaksanaan Pancasila dan UUD-1945 yang diterapkan oleh Orde Lama Soekarno. Karena itu Soeharto berjanji untuk melaksanakan Pancasila dan UUD-1945 secara murni dan konsekwen:
“… Orde Baru adalah tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan Negara yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan bahwa Orde Baru lahir untuk melakukan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan Orde Lama…”
Selanjutnya selaku Penjabat Presiden, dalam pidatonya itu, Soeharto menyampaikan bahwa penyelewengan Orde Lama itu meliputi, antara lain, lenyapnya hak-hak asasi manusia, sebab semuanya ditentukan oleh penguasa; tiadanya jaminan dan perlindungan hukum; kaburnya kedaulatan rakyat; semakin jauhnya keadilan sosial; dipakainya kekayaan Negara untuk kepentingan pribadi dan untuk proyek-proyek mercusuar; dan munculnya sistim ‘lisensi’ yang hanya memberikan keuntungan segelintir orang yang dekat dengan penguasa…
Soeharto luar biasa! Tentu saja pidato itu tidak dipersiapkan hanya dalam beberapa bulan sesudah Maret 1967; melainkan sejak beberapa tahun mengamati berbagai kebijakan Soekarno. Itu pun, kalau dia jujur! Ternyata tidak! Soeharto melakukan lagi apa yang dikecamnya sebagai tuduhan terhadap Soekarno itu; semua selama 32 tahun kemudian dia berkuasa: semuanya dia tentukan sendiri, bahkan sejak mulai berkuasa! Dia seorang diktator! Memang Soekarno belum berhasil menyejahterakan kehidupan rakyat; tetapi dia tidak pernah melanggar hukum dan HAM; apalagi sebagaimana Soeharto membantai ratusan ribu rakyat yang dituduhnya komunis; Soekarno juga tidak pernah menggunakan kekayaan Negara untuk kepentingan dirinya sendiri.
Melalui Orde Baru-nya, Soeharto mulai memperhatikan baik-baik isi UUD-1945, terutama pada pasal-pasal yang memuat perlunya undang-undang. Sesuai dengan pemahamannya terhadap Pasal 5 ayat 1, kekuasaan membentuk undang-undang ada di tangan presiden; sedang DPR hanya bisa menyetujui. Soeharto memulainya dengan menetapkan undang-undang susunan MPR. Dia tetapkan jumlah anggota MPR sebanyak 1000 orang, di mana separuhnya adalah anggota DPR dan selebihnya adalah Utusan Daerah dan Utusan Golongan; pembagian jumlah dua golongan itu kurang-lebih sama besar. Kelimaratus utusan itu ditunjuk sendiri oleh Soeharto; tentu berdasarkan pertimbangannya sendiri. Dari 500 anggota DPR itu, 100 di antaranya diperuntukkan anggota ABRI, yaitu TNI dan Polri; keseratus orang itu pun dia yang menetapkannya. Lalu 400 anggota DPR itulah yang akan “diserahkan” kepada rakyat untuk memilihnya. Tentu saja bukan dengan pemilihan umum yang jujur dan adil; pemilihan umum hanyalah suatu window dressing untuk menunjukkan adanya demokrasi. Dalam benak Soeharto, kemenangan dalam Pemilu haruslah untuk kelompoknya, yaitu Golongan Karya yang tidak mau disebut partai.
Rancangan infrastruktur politik Soeharto ini sangat mirip sekali dengan infrastruktur politik di negara-negara komunis di bawah Rusia, semisal Jerman Timur (Pamungkas; 1998). Soeharto memulainya dengan mendirikan lembaga-lembaga baru di luar ketentuan Konstitusi, atau lembaga-lembaga baru untuk merombak dan mengganti yang lama, serta mengangkat orang-orang, terutama jenderal-jenderal dari kalangan TNI dan Polri untuk memimpin lembaga-lembaga baru itu, serta untuk menjadi orang-orang dekatnya. Beberapa dari lembaga baru itu, antara lain, adalah Kopkamtib atau Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban; Wanhankamnas atau Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional; Bakorstranas, atau Badan Koordinasi Strategi Nasional; Aspri, atau Asisten Pribadi; Opsus, atau Operasi Khusus; lalu ada Litsus atau Penelitian Khusus, dan masih banyak yang lain, yang terutama ditujukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan mencapai ambisinya. Untuk itu pula Soeharto memperkenalkan banyak jabatan baru di dalam ABRI yang diisi dengan jenderal-jenderal yang yang dipercayanya. Kesemuanya itu terutama untuk menghadapi Pemilihan Umum yang pertama, yang direncanakannya pada 1971, untuk memilih dan sekaligus memantapkan dirinya sebagai presiden penuh, dan bukan sekedar penjabat presiden atau ketua presidium.
Selanjutnya Soeharto membuat berbagai ketetapan MPRS; tentu itu dilakukannya dengan merombak personalia di dalam MPRS, dan DPRS Gotong Royong, terlebih dahulu: sebagian besar dari mereka di-recall, lalu diganti dan ditambah dengan wajah-wajah baru. Partai-partai yang ada pun disederhanakan dan para pimpinan partai didudukkan sebagai ketua-ketua fraksi, termasuk fraksi Golongan Karya, atau Golkar, yang ditetapkan sendiri oleh Soeharto. Lalu terbitlah apa yang disebut dengan Paket Lima Undang-undang Politik 1969, yaitu Undang-undang tentang Kepartaian, tentang Pemilihan Umum, tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, tentang Referendum dan tentang Organisasi Kemasyarakatan; kesemuanya dimaksudkan untuk memenangkan Golkar dan melanggengkan kekuasaannya. Di situ pun ada ketentuan tentang recall terhadap anggota DPR, sebagai cara Soeharto mencabut kedudukan siapa pun anggota DPR yang berseberangan dengan kemauannya. Di sini perlu dicatat, bahwa ketentuan recall itu pun cara-cara yang biasa diterapkan di negara-negara komunis.
Selain membentuk Litsus untuk menjaring para calon anggota DPR yang akan dipilih lewat Pemilu, Soeharto juga menyiapkan LPU, Lembaga Pemilihan Umum, dan LPI, Lembaga Pemilihan Indonesia. Kedua lembaga terakhir itu dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Dengan cara demikian, para calon anggota DPR yang nantinya terpilih menjadi anggota DPR adalah benar-benar mereka yang akan setia kepada Soeharto; apabila tidak, maka mereka akan dituduh melawan Pancasila dan UUD-1945. Lembaga Pemilihan Umum menyelenggarakan Pemilu; sedang Lembaga Pemilihan Indonesia bertugas menghitung hasil suara. Melalui Menteri Dalam Negeri, segala suara yang masuk harus bisa diatur untuk kemenangan Golongan Karya.
Soeharto juga menyiapkan apa yang kemudian dikenal dengan mekanisme lima tahunan. Setiap lima tahun sekali akan dilakukan Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR-RI. Para anggota DPR-RI hasil Pemilu bersama-sama dengan para anggota DPR dari fraksi ABRI dan para Utusan Daerah dan Utusan Golongan akan dilantik bersama pada bulan Oktober. Lalu disusul dengan Pidato Pertanggungjawaban Presiden di depan sidang MPR. Segera sesudah itu MPR akan bersidang, juga minimum sekali dalam lima tahun, yaitu untuk memilih Presiden pada 11 Maret sekaligus memperingati hari terbitnya Super Semar. Lalu presiden terpilih menyusun kabinet, yang selanjutnya bekerja selama lima tahun, sambil menyiapkan Pemilu berikutnya. Meskipun pada setiap periode selaku presiden selalu ada perbaikan-perbaikan, perbaikan mana tentu setiap kali dimaksudkan untuk memperkuat posisinya. Soeharto juga mengeluarkan Tap MPR yang menetapkan UUD-1945 tidak akan diubah. Dalam keterangannya pada 1980:
“… Kalau dikehendaki, 2/3 ranggota MPR bisa mengubah UUD-1945. Tetapi ABRI tidak ingin mengubahnya. Dan kalau ada yang ingin mengubahnya, ABRI akan menghadapinya dengan senjata. Tetapi, daripada menghadapkan kekuatan senjata, lebih baik menculik satu-dua orang dari 2/3 anggota DPR/MPR yang menghendaki perubahan…”
Tap MPR tentang Referendum yang justru mempersulit referendum, pada hakekatnya juga digunakan untuk mencegah perubahan terhadap UUD-1945 itu. Dengan cara itu Soeharto sanggup bertahan selama 7 kali pemilihan presiden.
Berbagai undang-undang dan aturan-aturan itu pun dikemas Soeharto dalam berbagai Ketetapan atau Tap MPR yang kedudukannya disejajarkan dengan Konstitusi. Tentang berbagai Tap MPR dan perundang-undangan itu banyak didengungkan kepada rakyat sebagai “Konsensus Nasional”; sehingga rakyat tidak bisa menolak kecuali menurutinya. Dengan berbagai Tap MPR-nya itu tidak ada pihak yang bisa menggugatnya kecuali menghadirkan Sidang MPR sebagai lembaga tertinggi Negara yang 90 persen suaranya telah benar-benar dikuasainya. Pasal 1 ayat 2 UUD-1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” benar-benar dimanfaatkannya sebaik-baiknya, sehingga siapa pun tidak boleh bersuara, apalagi mereka yang berbeda; kecuali semua disampaikan lewat MPR. Tetapi, sekalipun dengan dalih itu pula, 21 mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia yang berunjukrasa di halaman MPR pada 1993 menolak keberadaan Kopkamtib dan menuntut Sidang Istimewa MPR untuk mengadili Soeharto, ditangkap juga, lalu diadili dan dipenjara dengan tuduhan menghina presiden.
Tidak hanya soal MPR saja yang dikerjai Soeharto, tapi semua pasal Konstitusi yang di dalamnya diperlukan undang-undang pelaksanaannya. Demikianlah, maka di samping Pasal 12 yaitu undang-undang tentang Keadaan Bahaya yang membutuhkan pernyataan dari presiden, maka juga pasal-pasal lain. Yaitu: Pasal 16, undang-undang tentang Susunan DPA, atau Dewan Pertimbangan Agung; Pasal 19 tentang Susunan DPR; Pasal 23 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta tentang Perpajakan; Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman; Pasal 25 tentang syarat-syarat menjadi Hakim; Pasal 28, tentang Kemerdekaan Berserikat, Berkumpul dan Menyatakan Pendapat; Pasal 30, tentang Pembelaan Negara; dan Pasal 31, undang-undang tentang Pendidikan dan Pengajaran.
Belum terhitung lagi banyak undang-undang lain, yang harus dikeluarkan dalam rangka menjalankan Negara. Tidak ada undang-undang yang boleh diutak-atik oleh siapa pun, selain oleh Soeharto sendiri. Demikian pula berbagai undang-undang itu tidak boleh diuji secara materiil, karena itu adalah produk presiden sebagai Mandataris MPR. Hanya produk-produk perundangan di bawah undang-undang saja yang bisa diuji secara materiil di hadapan Mahkamah Agung.
Soeharto juga menyiapkan organisasi masa di lingkungan masyarakat yang bisa digerakkan setiap kali untuk melawan masa dari kelompok lain; semisal yang mau menentang atau beroposisi terhadap pemerintah. Organisasi seperti KNPI, Komite Nasional Pemuda Indonesia, lalu AMPI, Angkatan Muda Pembangunan Indonesia; FKPPI, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia; Pemuda Panca Marga; Pemuda Pancasila; dan masih banyak lagi yang lain, sengaja didirikan dan dibiayai oleh pemerintah serta berada di bawah naungan Golkar untuk sewaktu-waktu digerakkan mendukung pemerintah.
Semua organisasi masyarakat, termasuk partai-partai politik, juga diharuskan berideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas. Mereka tidak boleh atau dilarang juga melakukan unjukrasa, kecuali sesudah mendapat ijin dari Polri. Bahkan melakukan diskusi atau seminar pun sewaktu-waktu bisa dibubarkan karena tidak ada ijin dari Polri. Demikian pula organisasi-organisasi perburuhan mendapat larangan berunjuk rasa, apalagi mogok. Mereka yang mogok bisa dituduh melakukan tindakan subversif. Mereka yang melawan akan berhadapan dengan Polri atau TNI, dan pengadilan.
Orang-orang yang dituduh terlibat dengan komunis dan Peristiwa ‘65 segera dibuang ke pulau Buru di Maluku Barat; ratusan ribu jumlahnya. Mereka dipaksa bekerja paksa untuk menghidupi dirinya; yaitu dengan membuat sawah, menanam padi untuk menghasilkan beras dan mempertahankan hidup. Sebagian yang beruntung diadili dan dihukum di penjara-penjara. Sesudah lepas, mereka pun masih diberi tanda di kartu identitasnya, sebagai mantan komunis, dan diperlakukan berbeda. Rumah, tanah dan harta kekayaan mereka hilang dijarah; gaji pun berhenti dan pensiun pun tidak ada. Banyak di antara mereka yang masih berharap ada perubahan; bahkan sampai sekarang. Mereka mengaku bukan komunis; hanya cinta kepada Soekarno.
Sampai dengan tahun 1980-an, Soeharto masih melakukan berbagai penangkapan dan pemenjaraan tanpa proses hukum; kebanyakan mereka dituduh pengikut komunis dan terlibat dengan Peristiwa ‘65. Tetapi selain itu, masih banyak rakyat kecil, terutama petani dan orang desa, yang terbunuh atau sengaja dibunuh di masa Soeharto berkuasa, karena menentang program pemerintah, menuntut ganti rugi tanah yang tergusur, dan lain-lain. Sebagai contoh, dalam rangka membangun bendungan, orang dipaksa untuk mau berpindah atau pilih ditembak mati. Termasuk yang dibunuh adalah Marsinah pada 1993, aktivis buruh wanita dari Sidoarjo, Jawa Timur; serta Fuad Muhammad Syafruddin, atau Udin, wartawan dari Mingguan Bernas, Bantul, Yogyakarta, pada 1995. Mereka menentang larangan menyampaikan pendapat, serta perlakuan kejam para pejabat dan aparat, khususnya militer.
Tetapi mulai awal 1990-an pasal pidana yang sering digunakan adalah melanggar keamanan Negara dan menghina martabat presiden dan wakil presiden. Puluhan mahasiswa dan pemuda terkena pasal tersebut sehingga harus masuk penjara. Selama masa Soeharto ada ribuan tahanan dan narapidana politik, Tapol dan Napol, tersebar di seluruh penjara Indonesia; selain dari Jawa, mereka juga datang dari gerakan Republik Maluku Selatan, Gerakan Papua Merdeka, Gerakan Aceh Merdeka, dan juga dari Timor-Timur, seperti Fretilin yang mewakili gerakan Timor-Timur Merdeka.
Para Pembangkang
Tetapi terlepas dari segala upayanya untuk merekayasa Orde Baru, Soeharto pun merasa perlu melindungi dirinya dan menancapkan kaki-kakinya secara kuat pada kekuasaan. Hal ini ditempuhnya dengan menjalankan konsep Dwi-Fungsi ABRI. Dwi-Fungsi ABRI pada awalnya adalah kreasi Jenderal Abdul Haris Nasution yang menuntut agar TNI diberi porsi yang cukup untuk ikut berpolitik menentukan jalannya Republik. Hal ini ditunjukkannya pada Peristiwa 17 Oktober 1952 dengan membawa Kemal Idris bersama dengan tank-tanknya di depan Istana Negara untuk menuntut porsi ABRI di pemerintahan dan di DPR; dalam kesempatan lain, Kemal Idris yang pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat menyatakan bahwa pada waktu itu dia diperintah Nasution.
Mengingat peristiwa itu, Bung Hatta tetap berpendapat, bahwa Nasutionlah yang harus bertanggungjawab atas timbulnya konsep Dwi-Fungsi ABRI sebagaimana diterapkan Soeharto. Menurut Bung Hatta, Dwi-Fungsi ABRI telah menempatkan ABRI pada posisi di luar fungsi yang sesungguhnya sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara. Sedang Nasution, sesudah itu, mengatakan bahwa bukan Dwi-Fungsi ABRI seperti itu, yang diterapkan oleh Soeharto, yang dia maksud pada 1952 itu…
Di dalam Dwi-Fungsi ABRI yang diterapkan Soeharto, ada unsur militerisme dan militerisasi. Dengan militerisme, orang-orang militer, tepatnya angkatan bersenjata, harus ikut serta di dalam menentukan politik jalannya negara; sedang militerisasi adalah menempatkan personil-personil angkatan bersenjata di berbagai tempat, baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun di luarnya, yaitu kekuasaan legislatif dan yudikatif, bahkan di sektor-sektor bisnis yang strategis dan penting bagi negara. Para jenderal yang setia kepada Soeharto selalu memeroleh posisi-posisi strategis itu. Dari situ pulalah muncul berbagai sumber korupsi dan kesewenang-wenangan.
Kebijakan Soeharto itu bukannya tidak mendapat tentangan dari para jenderal ABRI lainnya (Jenkins; 2010). Tentangan-tentangan itu awalnya datang dari para perwira tinggi TNI-AD sendiri, termasuk yang purnawirawan, yang melihat Soeharto selalu melakukan tindakan represif dengan menggunakan kekuatan militer, antara lain, terhadap kelompok mahasiswa yang tidak setuju atau berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Sebagai misal adalah dikerahkannya tentara di beberapa kampus universitas, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Institut Teknologi Bandung, dan lain-lain, untuk membungkam suara mahasiswa menjelang pemilihan presiden pada Maret 1978. Oleh Soeharto, para jenderal TNI itu mendapat julukan sebagai Barisan Sakit Hati.
Menyikapi itu, pertemuan-pertemuan berlangsung di antara kelompok perwira dari tiga divisi, yaitu Brawijaya, Siliwangi dan Diponegoro; antara lain, oleh para alumnus dari Seskoad, Sekolah Staf Komando Angkatan Darat, Bandung, yang sudah berdiri sejak 1966. Dari situ kemudian terbentuk yang disebut Fosko, yaitu Forum Studi dan Komunikasi, TNI-AD. Fosko TNI-AD yang kemudian menjadi Fosko TNI ini secara resmi dinyatakan berdiri oleh pimpinannya, Letjen Widodo setelah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat pada awal 1978. Fosko TNI ini mendapat dukungan yang luas dari para perwira tinggi penentang kebijakan Soeharto, seperti Jenderal Nasution dan Jenderal Sumitro; mereka menuduh Soeharto telah membawa TNI sebagai kekuatan politik, yaitu Golkar.
Meskipun begitu yang duduk di dalamnya adalah para perwira pensiunan TNI-AD saja. Di antara mereka adalah Letjen Mohammad Jasin, anggota Presidium Fosko, yang mantan Panglima Brawijaya dan Wakil KSAD. Jasin terang-terangan menyerang Soeharto dan para jenderal di sekelilingnya yang dituduhnya korup; bahkan dikatakannya korupsi telah terjadi di seluruh eselon pemerintahan dari yang paling bawah hingga paling atas. Jasin juga menandai korupsi yang dilakukan oleh Ibu Tien Soeharto, sesuatu yang sudah banyak pula diketahui oleh masyarakat luas; bahwa Ibu Tien selalu mengutip paling tidak 10 persen dari setiap peluang bisnis yang diberikannya selaku Ibu Negara.
Beberapa jenderal purnawirawan lainnya yang duduk di dalam Fosko-TNI, antara lain, adalah Letjen Jatikusumo, Mayjen Achmad Sukendro, Letjen HR. Dharsono, Letjen Mokoginta, Mayjen Munadi, Letjen Sugih Arto dan Kolonel Alex Kawilarang. Pada intinya, Fosko menghendaki “perubahan sistim” demi infra struktur politik yang lebih baik, melalui berbagai pertemuan dan dialog dengan pimpinan TNI.
Beberapa bulan sesudah itu, muncul LKB, Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, dalam bentuk yayasan. Yayasan ini didirikan atas inisiatif Jenderal Nasution dengan keanggotan lebih luas, yaitu mencakup berbagai elemen bangsa. Bung Hatta diminta untuk menduduki jabatan Ketua Umum LKB. Sesudah menguji kesungguhan Nasution, Bung Hatta pada akhirnya menyetujui. Ternyata LKB juga mendapat dukungan dari Fosko TNI-AD, seperti Jatikusumo dan Sukendro. Selain itu ada pula tokoh-tokoh dari empat angkatan, seperti Mayjen Azis Saleh, Letjen KKO Ali Sadikin, Laksamana Madya Udara Suyitno Sukirno dan Jenderal Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri. Sedang para anggota dari masyarakat sipil adalah Achmad Subardjo, mantan Menteri Luar Negeri; Frans Seda, mantan Menteri Keuangan; Chris Syner Keytimu, dosen dari Atma Jaya; Yudil Herry Justam, dokter muda Universitas Indonesia; Muchtar Lubis, wartawan harian Indonesia Raya; Nuddin Lubis dari Partai Persatuan Pembangunan; Sanusi Hardjadinata, dari Partai Demokrasi Indonesia; dan Anwar Haryono, mantan ketua Masyumi.
Dalam aktivitasnya LKB melakukan serangkaian pertemuan dan dialog dengan berbagai unsur dalam pemerintahan dan DPR; mereka terutama mempertanyakan berbagai kebijakan pemerintah dalam pembangunan, sistim demokrasi berikut partai-partai politik dan Golkarnya, serta praktek Dwi-Fungsi ABRI. Sesudah pidato Soeharto di Pekanbaru pada Maret 1980 perlawanan Fosko-TNI dan LKB semakin mengemuka.
Soeharto melakukan kunjungan ke Pekanbaru dalam rangka mengambil proyek pembangunan kilang minyak terapung di Dumai yang bernilai ratusan miliar yang dibiayai Liem Sioe Liong. Di dalam pidatonya tanpa teks pada 27 Maret itu, Soeharto menggunakan kesempatan untuk mengkampanyekan Golkar menghadapi Pemilu 1982 dengan mengatakan, bahwa ABRI adalah bagian dari Keluarga Besar Golkar. Pidato Soeharto yang diulanginya lagi pada 16 April, hari ulang tahun Kopassandha, di Cijantung itu pun ditujukan untuk membalas kritikan-kritikan terhadapnya dengan mengatakan tentang masih adanya sisa-sisa kelompok Orde Lama yang menganut berbagai faham dan ideologi, seperti Marxisme, Leninisme, sosialisme, marhaenisme, nasionalisme dan Islam.
“… Kalau kelompok-kelompok ini dibiarkan menjadi kuat, maka mereka akan mengganti Pancasila sebagai ideologi nasional dengan cara kekerasan… ABRI harus secara jelas memilih mana lawan, dan mana kawan yang mendukung Pancasila…”
Pidato Soeharto yang mengenakan jaket kuning simbol Golkar itu ditanggapi dengan kemarahan, tidak saja oleh kelompok-kelompok Islam dan partai-partai, tetapi juga oleh banyak perwira tinggi TNI dan Polri; mereka merasa punya jiwa nasionalisme yang tinggi, jauh hari sebelum kemerdekaan. Soeharto sebagai presiden dianggap telah memecah-belah masyarakat dengan menempatkan Pancasila sebagai pemisah dan bukan pemersatu bangsa. Soeharto juga dinilai telah jauh menyimpangkan ABRI yang dalam konsep politiknya harus berdiri di atas semua golongan, netral, tidak berpihak, apalagi dengan cara meng-Golkarkan ABRI.
Reaksi atas pidato Soeharto di Pekanbaru itu awalnya datang dari Jenderal Mokoginta dan Jenderal Dharsono yang masing-masing bersurat kepada Panglima ABRI, Jenderal Mohammad Jusuf dan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Poniman. Sebagai akibatnya, atas perintah Panglima Kopkamtib Sudomo, dari Angkatan Laut, ABRI memutuskan hubungan dengan Fosko-TNI.
Sementara itu pada 5 Mei 1980, sejumlah mantan perwira dan pejabat tinggi serta para aktivis muda menyampaikan pula Pernyataan Keprihatinan dalam sebuah petisi kepada DPR yang menyatakan kekecewaannya atas berbagai pernyataan Presiden RI Soeharto serta beberapa petinggi di sekelilingnya serta anggota kabinet. Petisi itu ditandatangani oleh 50 orang, di antaranya adalah dua mantan Perdana Menteri dan tokoh Islam, yaitu Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap; lalu tokoh nasionalis Manai Sophian, dan perempuan pejuang mantan Duta Besar Luar biasa Berkuasa Penuh SK. Timurti; diikuti oleh mantan Kepala Pemerintah Darurat Indonesia di Sumatra Utara, Sjafruddin Prawiranegara, kemudian Jenderal Nasution, Jenderal Jasin, Jenderal Mokoginta, Letjen Ali Sadikin, Marsekal Madya Udara Sujitno Sukirno dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Juga ada Chris Syner Key Timu dan Judil Herry Justam, Bakrie Tian Lea dan AM. Fatwa. Kelompok pengirim petisi itu kemudian dikenal dengan nama Petisi-50.
Petisi-50 menyampaikan kekecewaannya atas penafsiran keliru dari Soeharto, seakan-akan terjadi perpecahan di kalangan masyarakat, antara yang setuju dan tidak setuju dengan Pancasila; tentang Dwi-Fungsi ABRI; tentang demokrasi; serta tentang jalannya pembangunan. Soeharto membalas dengan menyatakan, bahwa mereka yang menandatangani Petisi-50 adalah “para pembelot”, “pengkhianat” dan “pembangkang” atau dissident. Kebanyakan dari mereka kemudian dicopot dari kedudukannya, sekalipun, di lingkungan swasta, dan dicabut hak-hak perdatanya; Jenderal Nasution dan Ali Sadikin dicegah dari bepergian ke luar negeri; Mohammad Natsir selain dicekal juga diawasi rumahnya sampai akhir hayatnya; Chris Syner dan Judil Herry dikeluarkan masing-masing dari kepegawaiannya di Universitas Atmajaya dan Universitas Indonesia, Jakarta, oleh Menteri Pendidikan Daud Yoesoef. Para negarawan itu pun kemudian tidak mendapat undangan lagi ke Istana untuk memeringati Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Dalam kesehariannya kemudian Petisi-50 dipimpin oleh Ali Sadikin, di mana setiap minggu ada pertemuan di rumahnya di antara para anggota Petisi dan yang bukan. Rumah Ali Sadikin yang berhadapan dengan rumah Sudomo di Jalan Borobudur menjadi tempat belajar para pemuda dan mahasiswa aktivis tentang kenegaraan sampai Bang Ali, demikian sebutan akrab beliau, meninggal pada Juni 2008; sekalipun Soeharto sudah jatuh, bahkan meninggal dunia lebih dahulu.
Mafia Berkeley
Kebijakan pembangunan Soeharto yang selalu disampaikannya pada awal pemerintahannya disebutnya berdasarkan konsep Trilogi Pembangunan, yaitu Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas. Widjojo Nitisastro, yang disebut-sebut sebagai Arsitek Pembangunan Indonesia, sejak awal, bahkan sebelum berangkat ke Amerika Serikat untulk mengambil doktornya, menolak konsep pembangunan berdasarkan Pasal-33. Dia tidak percaya dengan badan usaha koperasi, atau lebih luas lagi ko-operasi dalam perekonomian, yang akan bisa membawa kepada kesejahteraan rakyat. Widjojo Nitisastro juga tidak percaya kepada pemerataan, melainkan pertumbuhan saja; dengan keyakinan, bahwa pemerataan akan terjadi dengan sendirinya lewat proses trickle-down effect. Dikemukakannya hal itu pada tahun 1955 di dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia yang juga mengundang Ketua Parlemen Indonesia Mr. Wilopo sebagai pembicara.
Kebetulan sekali, ketika Widjojo akhirnya berangkat untuk mengambil doktornya di Amerika Serikat, di belahan bumi Barat itu sedang gencar-gencarnya para ahli ekonomi kaliber dunia menggelar pemikiran-pemikiran tentang pembangunan ekonomi, bahwa negara-negara berkembang hanya akan bisa mencapai kesejahteraan ekonomi kalau ada dana besar yang mulai digunakan mendorong perekonomian yang macet itu. Muncullah teori “Big Push”, antara lain, dari Rosenstein Rodan yang mengaitkan modal besar itu dengan industrialisasi, dan macam-macam teori lain yang mendukungnya, seperti yang dikemukakan oleh W. W. Rostow dengan tahapan-tahapan pembangunannya. Maka tidak heran, kalau pikiran tentang hutang asing, di mana Indonsia perlu meminjam sejumlah dana besar yang nantinya bisa menggerakkan perekonomian Indonesia kemudian juga diterapkan di Indonesia. Hampir sudah dipastikan setiap tahun Soeharto meminjam sekitar USD 5 milyar.
Tim Sultan yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono-IX dan membawa para ahli ekonomi pimpinan Widjojo Nitisastro berangkat ke Jenewa, Swiss, pada akhir 1967. Di situlah kekayaan Indonesia berupa sumberdaya alam mulai dibagi-bagi oleh perusahaan-perusahaan investor kapitalis internasional, MNC, atau Multi National Corporations, sebagai pengorbanan Indonesia untuk mendapatkan hutang asing, sesuai dengan paham Widjojonomics. Indonesia memeroleh IGGI, Inter-Governmental Groups on Indonesia, yaitu kumpulan dari negara-negara donor untuk membantu dana, atau lebih tepatnya dana hutang, bagi pembangunan Indonesia. Tetapi karena Ketua IGGI dari Belanda, JP. Pronk, dinilai terlalu mengatur Indonesia, maka, sekalipun fungsinya sama, Soeharto kemudian membubarkan IGGI pada Maret 1992 dan menggantinya menjadi CGI, Consultative Groups on Indonesia. Hutang luar negeri, kali ini lewat CGI, pun jalan terus.
Indonesia pun, bersama itu, mulai tercengkeram oleh IMF, Dana Moneter Internasional dan the World Bank, Bank Dunia, karena segala kesepakatan tentang hutang itu tidak terlepas dari pengamatan oleh kedua lembaga keuangan dunia itu. Berbagai syarat harus dipenuhi Indonesia agar bisa kembali menjadi anggota IMF, antara lain, membayar hutang kepada Negeri Belanda, yang terjadi selama masa penjajahan Belanda dan menerbitkan undang-undang tentang penanaman modal asing, PMA. Freeport Indonesia menjadi perusahaan asing pertama yang masuk dalam kategori PMA.
Dibayangi oleh “suksesnya” di forum internasional itu, kiranya Widjojo luput menyimak pikiran yang juga ditulis oleh banyak ekonom Barat lain, bahwa hutang asing itu nantinya akan membelit negara penghutang sehingga tidak akan lepas, kecuali dalam jangka waktu yang panjang, antara lain, seperti ditulis oleh Henry J. Bitterman pada tahun 1973; tahun-tahun awal pembangunan di Indonesia. Ini terbukti, bahwa untuk bisa kembali berhutang sebesar USD 5 milyar seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1994/95 Indonesia harus mengembalikan bunga dan pokok pinjamannya yang sudah jatuh tempo sebesar USD 9 milyar! Sehingga dengan begitu Indonesia sudah menjadi negara donor…
Tetapi justru pada tahun 1955, tahun yang sama saat Widjojo lebih percaya pada pertumbuhan daripada pemerataan, Simon Kuznets, kemudian menerima hadiah Noble, menulis tentang perlunya keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, karena trickle down effects, tidak seperti yang semula diduga, tidak akan terjadi dengan sendirinya. Sejak itu muncullah teori-teori baru pembangunan ekonomi yang juga ditulis para ahli ekonomi Barat yang menyatakan perlunya perhatian terhadap pemerataan, antara lain, pertumbuhan harus berlangsung bersama-sama dengan pemeratan; yaitu sebagai syarat agar pertumbuhan ekonomi bisa berlangsung terus-menerus.
Prof. Mubyarto, pakar ekonomi pertanian dari Universitas Gadjah Mada, UGM, sudah juga sering mengingatkan bahwa keputusan untuk melakukan investasi pada suatu produk industri dari sejak awal sudah dapat memperlihatkan arti pemerataan atau tidaknya produk itu di kemudian hari. Bahkan Presiden Soeharto sendiri pernah sementara waktu mendorong para ahli ekonomi Indonesia untuk memikirkan tentang perlunya pemerataan, agar yang miskin bisa ikut menjadi kaya. Pikiran itu yang kemudian menelorkan apa yang dikenal dengan “delapan jalur pemerataan” pada tahun 1980-an dan “Inpres desa tertinggal” pada tahun 1993.
Tetapi seakan-akan Sang Arsitek Pembangunan Prof. Widjojo Nitisastro dan kawan-kawannya dari kelompok Mafia Berkeley mengabaikan semua pendapat itu. Selain terjadi krisis moneter 1997/1998 yang menghabiskan ratusan, bahkan ribuan, trilyun dana rakyat; dan menunjukkan ketidaktahanan perekonomian menghadapi goncangan dunia; pada akhirnya terbukti pula, Indonesia terbelit hutang asing dan dalam negeri yang tiada habisnya. Demikian pula pemerataan pendapatan juga tidak pernah terjadi, bahkan kesenjangan pendapatan antara si Kaya dan si Miskin semakin melebar. Sementara itu sumberdaya alam Indonesia juga semakin terkuras.
Dalam masa pembangunan rezim Soeharto itu pun sumberdaya alam Indonesia mulai dibabat dan digali dan dialirkan ke negara-negara Barat demi mendapatkan dana asing yang lebih banyak bagi pembangunan. Tetapi ketidakmampuan dalam teknologi mengakibatkan hasil-hasil alam, seperti hutan dan tambang, itu tidak diolah lebih lanjut untuk mendapatkan nilai tambah, sehingga terjual dengan harga murah. Sebagai contoh, sejak 1971/72 dimulailah pembabatan hutan tropis Indonesia dengan memperkenalkan program HPH, hak pengusahaan hutan; maka gelondongan kayu-kayu hasil pembabatan hutan pun diekspor keluar negeri untuk mendapatkan devisa. Sampai dengan tahun 1988/89 ekspor Indonesia di luar minyak bumi dan gas alam didominasi oleh dua komoditi baru, yaitu produk kayu, berupa kayu gelondongan, gergajian dan kayu lapis, serta produk-produk pertekstilan.
Akan tetapi sebagai akibatnya hutan-hutan Indonesia menjadi gundul, karena hutan kayu yang berumur ribuan tahun itu tidak pernah diremajakan kembali dengan benar. Demikian pula ketika diperkenalkan program lain HTI, hutan tanaman industri, hutan-hutan tropis itu tidak pernah kembali seperti semula, karena telah digantikan dengan perkebunan industri, antara lain, kelapa sawit, sebagai bahan baku minyak sawit dan lain-lain; dan pulp, sebagai bahan kertas. Gundulnya hutan-hutan itu juga diikuti dengan habisnya produksi kayu rotan, di samping punahnya bermacam-macam species flora dan fauna yang amat sangat berharga karena sifatnya yang khas hutan tropis.
Pembabatan dan penggundulan hutan-hutan itu sampai hari ini, dari Sabang sampai Merauke, masih terus berlangsung tanpa berhenti. Bahkan sudah sampai pada puncaknya yang mengakibatkan terjadinya konflik berdarah yang memakan korban jiwa rakyat setempat. Konflik terjadi antara penggarap lahan selama berpuluh-puluh tahun, dan para pengusaha baru pemegang surat tanda HPH. Kesalahan menetapkan batas-batas HPH mengakibatkan rakyat marah, karena kehilangan lahan sebagai sumber penghidupannya. Tidak sedikit kejadian pengusaha pemegang HPH sengaja membakar hutan tanaman yang dikelola rakyat; dan aparat hampir selalu memenangkan para pengusaha.
Sejak awal pembangunan ekspor Indonesia selalu didominasi oleh Migas, atau minyak bumi dan gas alam. Pada saat harga minyak dunia naik dari 3 USD per barrel menjadi 10 USD pada awal 1980-an, maka Indonesia sebagai salahsatu negara pengekspor minyak mendapatkan windfall profit yang mampu membuat pertumbuhan Indonesia mencapai 9 persen; sesudah itu, pertumbuhan sebesar itu tidak pernah tercapai. Banyak ahli menyayangkan kesempatan tersebut tidak digunakan untuk membayar hutang asing; sebagai akibatnya Indonesia terus-menerus terbelit hutang. Bahkan sampai Indonesia akhirnya terpaksa menjadi negara pengimpor minyak awal pada 2009, kenaikan harga sampai lebih dari 100 USD tidak memberikan keuntungan, melainkan kerugian.
Pada periode 1988/89, sesudah hampir 20 tahun kemudian, barulah ekspor mulai didominasi oleh produk-produk non-Migas, seperti manufaktur, pertambangan dan industri non-Migas lainnya. Akan tetapi, sekalipun neraca perdagangan Indonesia masih positif, angka current account, neraca yang sedang berjalan, tetap saja negatif sampai saatnya Soeharto jatuh; hal ini adalah sebagai akibat dari besarnya pembayaran bunga hutang dan impor atas jasa-jasa yang tidak bisa ditangani oleh kemampuan teknologi Indonesia.
Lemahnya sumberdaya manusia Indonesia dalam menguasai teknologi ini terlihat pada industri minyak. Ternyata sampai sekarang, Pertamina, perusahaan minyak milik negara, tidak pula memunyai kemampuan untuk melakukan eksplorasi minyak bumi dan mengolahnya sekaligus agar cukup bagi kebutuhan rakyat. Lalu diserahkannya sumber-sumber minyak bumi itu kepada pihak asing; juga sumber tambang lain.
Adalah Ibnu Soetowo seorang jenderal TNI, mantan Panglima Daerah Militer Sriwijaya, Sumatera Selatan, yang ditunjuk Soekarno untuk memimpin Permindo, sebuah Perusahaan Negara minyak Indonesia yang pertama. Permindo membeli minyak dari perusahaan-perusahaan asing yang sudah sejak jaman Belanda beroperasi di Indonesia. Sesudah kemerdekaan, perusahaan-perusahaan milik Belanda itu dijual kepada pihak asing, seperti Stanvac dari Amerika Serikat, dan Shell dari Inggris. Pasca terungkapnya keterlibatan Amerika Serikat dalam pemberontakan PRRI-Permesta, Stanvac, dinasionalisasi menjadi PN. Permina sebagai perusahaan negara. Menyusul itu, Shell menjadi PN. Pertamin. Pengambilalihan itu hanya dalam aktivitas distribusinya saja, karena kemampuan putera-putera Indonesia belum cukup untuk menguasai kepemilikan atas aktivitas explorasi dan pengolahan. Demikian pula Caltex yang tidak memunyai aktivitas pemasaran di Indonesia tidak ikut serta dinasionalisasi.
Pada Agustus 1968, ketiga perusahaan minyak negara itu digabung menjadi satu dengan nama PN. Pertamina; Soeharto pula yang menunjuk Ibnu Soetowo untuk memimpin sebagai Direktur Utamanya. Pada jaman Ibnu pula sumur-sumur explorasi berikut pengilangan minyaknya yang tersebar di sekitar Pekanbaru, Riau; Palembang, Sumatera Selatan; dan Balik Papan, Kalimantan Timur dibeli oleh Pertamina.
Memang prestasi Pertamina di bawah Ibnu Soetowo luar biasa; dia membangun berbagai fasilitas distribusi minyak, seperti depo-depo penyaluran, ke seluruh wilayah Indonesia sehingga masyarakat benar-benar bisa menikmati BBM yang sangat dibutuhkan itu. Ibnu Soetowo pun mampu menjual BBM itu kepada masyarakat dengan harga murah semurah harga gas cair LPG; bahkan mampu mengekspor pula sisa minyak mentahnya.
Ditunjang pula oleh kenaikan harga minyak dunia, Ibnu mampu pula membangun banyak infrastruktur dan fasilitas industri untuk minyak di tempat-tempat lain; bahkan yang non-minyak pula yang umum dibutuhkan dalam pembangunan Indonesia. Tetapi oleh IGGI, melalui IMF dan Bank Dunia, hal itu dinilai sebagai aktivitas pembangunan yang tidak sejalan dengan program pembangunan Negara yang dipimpin Widjojo Nitisastro dan para ekonom Berkeley. Melalui kelompok Mafia Berkeley, antara lain, Mohammad Sadli yang menjadi Menteri Pertambangan waktu itu, Ibnu Soetowo dituduh “membangun negara di dalam negara”, melakukan korupsi, dan ikut serta menambah hutang asing pemerintah; akibatnya Ibnu Soetowo dipaksa berhenti.
Besarnya kontribusi minyak bumi, lalu gas alam, atau Migas, terhadap pendapatan nasional sesungguhnya menunjukkan lemahnya kemampuan sumberdaya manusia dalam menguasai teknologi; khususnya dalam bidang industri dan manufaktur, serta penyediaan jasa-jasa, seperti pendidikan, kesehatan, keuangan dan perbankan, asuransi, energi, angkutan laut dan udara, dan infrastruktur umumnya. Kelemahan ini terus berlanjut hingga sekarang, yang sekaligus menjadi tanda keroposnya pondasi ekonomi Indonesia. Hal itu pula yang menjadi sebab utama terjadinya krisis moneter 1997/98 yang begitu besar terasa dampaknya hingga sekarang terhadap perekonomian Indonesia; dibanding dampaknya pada negara-negara tetangga, seperti ASEAN. Perihal kekhawatiran akan terjadinya krisis itu aku sampaikan dalam seminar di Jerman pada 1995; tiga tahun kemudian, krisis moneter itu benar-benar melanda Indonesia bahkan menjadi penyebab jatuhnya Sang Diktator.
Satu-satunya hal positif dari Soeharto yang menjadi kenangan bagus bagi rakyat adalah keberhasilannya dalam membuktikan, bahwa bangsa Indonesia ini mampu membangun. Meskipun sangat boros, dan pada akhirnya bangunan itu runtuh karena tidak cukup kuat pondasinya, tetapi paling tidak, bangunan itu pernah berdiri dan bangsa ini punya keyakinan untuk bisa membangun lagi dengan lebih baik. Sebagai contoh adalah soal swasembada beras; itu tercapai pada awal 80-an. Sebelumnya Indonesia adalah pengimpor beras terbesar di dunia. Akan tetapi sejak dilakukan perbaikan dan pembangunan besar-besaran pada bendungan dan saluran air yang sebelumnya rusak berat, yaitu dalam kerangka intensifikasi sawah, maka produksi beras meningkat tajam dan kebutuhan rakyat akan beras terpenuhi; bahkan Indonesia pun sempat mengekspor berasnya.
Akan tetapi hampir bersamaan dengan meningkatnya produksi beras, keterbatasan dana berakibat pula pada menurunnya produksi tanaman pangan lainnya. Bahkan sesudah tercapai, Indonesia kehilangan kesempatan untuk mempertahankan swasembada beras itu dengan baik. Salahsatu sebabnya adalah gairah industrialisasi yang begitu besar, bahkan tak terkendali, baik dalam rangka penanaman modal asing maupun dalam negeri, sehingga sawah-sawah intensifikasi yang sangat subur di Jawa itu berubah fungsinya menjadi industrial estates, kawasan-kawasan industri.
Salahsatu sebab lain adalah infrastruktur yang lebih banyak terbangun di Jawa daripada di luar Jawa; manakala fasilitas infrastruktur, seperti prasarana jalan, angkutan, pelabuhan, tilpun, listrik dan air merupakan tulangpunggung industri. Artinya, telah berlangsung ketidakseimbangan pembangunan fasilitas infrastruktur antara Jawa dan di luar Jawa. Hal ini pula yang mengakibatkan kemampuan Jawa menjadi penghasil beras berkurang; sementara wilayah di luar Jawa, seperti di Aceh, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku dan Irian Jaya tetap tidak cukup maju dan berkembang dalam industrinya. Wilayah-wilayah itu terus bergolak menuntut berlangsungnya pembangunan agar terjadi pemerataan pendapatan nasional; atau dibiarkan saja tidak tersentuh, lalu mengatur sendiri pembangunannya tanpa koordinasi dan keseimbangan.
Sambil Berbisnis
Ternyata Soeharto tidak banyak berbeda dari Ibnu Soetowo. Soeharto, sudah hampir dipastikan, menggunakan dana Negara untuk membangun apa yang kemudian orang sebut sebagai Soeharto Incorporated. Pada awalnya Soeharto membangun puluhan Yayasan, dari mana kemudian di bawah yayasan-yayasan itu didirikanlah usaha-usaha korporasi. Menurut George Yunus Adicondro, sosiolog dari Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, ada sekitar 80 buah yayasan yang didirikan Soeharto dan keluarga, kerabat serta orang-orang dekatnya. Yayasan-yayasan itu bisa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: yang diketuai Soeharto sendiri; yang diketuai oleh isterinya, Tien Soeharto; yang dipimpin Soeharto bersama Bob Hassan dan BJ. Habibie; yang dipimpin anak dan menantu Soeharto; yang dipimpin oleh besan dan sanak saudaranya; dan yang dipimpin kerabat Soeharto dan kerabat Tien Soeharto.
Di antara yayasan-yasan itu yang terkenal adalah Yayasan Harapan Kita yang membangun Rumah Sakit; Yayasan Super Semar yang memberikan beasiswa; dan Yayasan Amal Muslim Pancasila yang membangun mesjid-mesjid. Berkedok yayasan-yayasan itu Soeharto menjalankan usaha-usaha swasta murni lainnya, seperti keuangan dan perbankan, perdagangan dan industri, penerbangan, serta pers dan rumah sakit. Sedemikian rupa, sehingga Soeharto Incorporated memiliki tidak kurang dari 1.250 perusahaan, yang dipersiapkannya seandainya kesepakatan APEC berimbas keuntungan bagi Indonesia. Yang banyak dikenal orang, antara lain, adalah pabrik kertas Kiani, pabrik kabel Kabelindo, flour mill Bogasari dan pabrik kimia Chandra Asri, di usaha mana ada saham penyertaan keluarga Soeharto. Di samping itu masih banyak usaha-usaha korporasi lain yang dikelola anak-anak Soeharto, seperti PT. Sempati dan PT. Mandala yang bergerak di bidang transportasi pesawat terbang; PT. Bimantara dan PT. Timor yang memproduksi mobil; lalu ada PT. Humpuss dan PT. Lamtoro Gung yang menangani banyak bidang usaha.
Hobi Soeharto mendirikan yayasan-yayasan itu tidak terlepas dari pengalamannya sewaktu menjadi Komandan Teritorial-IV yang kemudian berubah menjadi Divisi-VII Diponegoro. Dia menjadi Komandan Diponegoro pada 3 Juni 1956, dan naik pangkat menkadi kolonel pada 1 Januari 1957. Dalam jabatan komandan itu, dia memprakarsai pembentukan badan-badan koperasi di seluruh wilayah kesatuan Diponegoro dengan maksud meningkatkan kesejahteraan prajurit dan masyarakat sekelilingnya; antara lain, dengan melakukan kegiatan perdagangan antar pulau dan expor-impor. Di situ dia dibantu oleh Soetikno, alias Lie Tek Liong, seorang pedagang dari Sindang Laut, Cirebon. Pada waktu Soeharto terkena tuduhan melakukan tindakan korupsi dalam menjalankan bisnisnya yang melibatkan uang Kodam Diponegoro, dan sempat diperiksa beberapa lama, Soetikno itulah yang pasang badan menjadi joki dan divonis bersalah.
Tek Liong pulalah, setelah keluar penjara, menjadi orang yang sangat dipercaya Soeharto; termasuk mengantar gulai sumsum tulang belakang kambing yang menjadi makanan kesukaan Soeharto ke rumah, di Jalan Haji Agus Salim. Ketika kemudian menjadi Presiden, Soeharto memberi Soetikno pangkat tituler, Mayor Jenderal; tentulah Soeharto meniru hal yang dilakukan oleh Belanda terhadap orang-orang Etnis Cina Indonesia, ECI, yang dianggap punya jasa di jaman penjajahan dulu. Para perwira tinggi, khususnya dari Angkatan Darat, yang ingin mendapat kenaikan pangkat dari Soeharto dengan sabar datang dan antre untuk mendaftar di Kantor Mayor Jenderal Soetikno di Gedung Transaera, di Jalan Medan Merdeka Selatan; seakan-akan Soetikno menjadi penasihat Soeharto di samping Wanjakti, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi.
Adalah Soetikno pula yang kemudian dipercaya Soeharto untuk mengurus usaha peternakannya, PT. Tiga “S”, di Tapos, Bogor. Orang banyak mengartikan Tiga “S” sebagai kependekan dari Soeharto, Soetikno dan Sigit, anak Soeharto yang paling tua.
Meskipun begitu, penasihat Soeharto di bidang bisnis yang sesungguhnya adalah Bob Hasan, bukan Soetikno. Bob Hasan yang nama aslinya The Kian Seng juga bertemu dengan Soeharto ketika Soeharto menggantikan posisi Jenderal Gatot Soebroto sebagai Komandan TT-IV Diponegoro. Kian Seng adalah anak angkat Pak Gatot Soebroto, sesudah Sang Jenderal merasa iba terhadap anak yang ditabrak mobilnya itu; Soeharto dimintanya untuk memperhatikan anak angkatnya yang asal Semarang itu. The Kian Seng mengubah namanya pada waktu masuk Islam menjadi Bob Hasan yang ternyata sangat piawai menjalankan bisnis; bersama Soeharto, Bob membangun bisnisnya di lingkungan Divisi Diponegoro.
Waktu The Kian Seng masih kanak-kanak, Liem Sioe Liong sudah menjadi pedagang; Sioe Liong akhirnya berteman pula dengan Soeharto. Sioe Liong yang lahir di Fukien, RRC pada 1916, jadi beda 15 tahunan dari Kian Seng, masuk ke Indonesia pada usia 20 tahun. Awalnya Liem Sioe Liong mendarat di Semarang, menyusul kakaknya, Liem Sioe Hie, yang sudah menjadi saudagar pemasok minyak sawit dari Sumatera ke Jawa lebih dahulu. Setelah merasa berhasil menjadi pedagang, pada sekitar tahun 1940-an, Sioe Liong hijrah ke Kudus dan memulai usaha sebagai penyalur cengkih untuk pabrik-pabrik rokok yang banyak di situ, serta tembakau. Sebagai penyalur tekstil, dilakukannya impor dari Cina.
Konon Sioe Liong juga berdagang senjata untuk memasok para tentara dalam melawan Belanda pasaca kemerdekaan. Ketika menjadi Panglima Divisi Diponegoro itulah Soeharto bertemu Liem Sioe Liong, si Saudagar dari Fukien. Lewat Soeharto pula, Sioe Liong memegang hak monopoli, antara lain, pengadaan sabun dan keperluan rumah tangga untuk tentara di Divisi Diponegoro.
Tentulah Lie Tek Liong, The Kian Seng dan Liem Sioe Liong kenal satu sama lain. Mereka pasti juga tahu tentang perkara korupsi yang dituduhkan terhadap Soeharto, sebab terjadinya penyimpangan dalam soal barter gula itu dilakukan Soeharto bersama-sama Kian Seng dan Sioe Liong. Tetapi bagaimana akhirnya Tek Liong yang masuk menjadi joki di penjara, tidak pernah terungkap; Soeharto sendiri tidak pernah berbicara soal pengalaman pahitnya itu.
Ternyata Gatot Soebroto dan Ahmad Yani tahu juga soal korupsi itu dan merasa ikut berkepentingan. Ahmad Yani dan Soeharto yang sama-sama Letkol pernah sama-sama bertugas di Jawa Tengah dalam waktu yang hampir bersamaan. Ketika Soeharto memegang Divisi Diponegoro, Ahmad Yani sudah menjadi asistennya Mayjen Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat. Ahmad Yani sempat marah dan mengusulkan agar Soeharto dipecat dari Angkatan Darat; bahkan Ahmad Yani sempat melakukan tindakan fisik terhadap Soeharto. Akan tetapi karena pembelaan Wakil Kasad Mayjen Gatot Subroto, dan permohonan isterinya, Siti Soehartinah, Soeharto hanya diwajibkan untuk sekolah lagi di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, SSKAD, di Bandung. Sesudah selesai sekolah, dia “merasa” dibuang ke Kostrad oleh Nasution dan Soekarno.
Kostrad pada awalnya adalah sebuah komando untuk cadangan tentara nasional. Komando itu didirikan pada 6 Maret 1961 atas prakarsa Soekarno dan Nasution. Soeharto adalah Komandan Kostrad yang pertama. Setelah menyelesaikan sekolahnya di SSKAD Bandung, Soeharto ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat, sebagai Deputi-I KASAD. Sementara itu pangkatnya sudah naik menjadi Brigadir Jenderal. Sebelum ditempatkan di Kostrad, Soeharto masih sempat bepergian ke luar negeri mendampingi Nasution, antara lain, ke Yugoslavia, Perancis dan Jerman Barat. Di Jerman itulah Soeharto bertemu kembali dengan BJ. Habibie yang sudah dikenalnya ketika di Makasar. BJ. Habibie sedang bersekolah di Sekolah Tinggi Teknik Aachen, Jerman Barat.
Di dalam bukunya, Soeharto mengakui bahwa barter beras dengan gula itu memang terjadi (Dwipayana dan Ramadhan; 1989). Ditugasinya Bob Hasan ke Singapur untuk mendapatkan beras. “Beras harus tiba dulu di Semarang, baru gula bisa dikirim”, katanya. Tetapi Soeharto juga menganggap bahwa tuduhan itu adalah fitnah terhadap dirinya. Tuduhan itu, katanya, datang ketika dia sedang bersekolah di SSKAD, Bandung. Sangat mungkin dendam Soeharto terhadap Ahmad Yani dan Nasution, dan juga Soekarno, itu pula yang menjadi salahsatu alasan yang melahirkan Peristiwa ’65; dan juga pembunuhan terhadap tujuh jenderal dalam G30S kurang dari 10 tahun dari sejak perkara korupsi itu terungkap.
Rupanya kebiasaan Soeharto mengumpulkan uang sewaktu menjadi Komandan Kostrad pun tidak hilang. Tentulah itu dari para pengusaha ECI kenalannya selama itu; dengan dana itu pulalah kiranya dia menyiapkan diri menghadapi Peristiwa ’65. Soeharto pun mendirikan Yayasan Kostrad yang lalu mampu menghimpun banyak uang. Dari dana itu dia membantu Liem Bian Kun, aktivis mahasiswa ’66 yang ikut mendukung gerakan menjatuhkan Soekarno, menjadi pengusaha; tentunya juga aktivis yang lain dibantunya. Bian Kun, yang mengubah nama menjadi Sofyan Wanandi, kemudian menjadi pengusaha besar, bahkan terpilih ke sekian kali menjadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Apindo; bahkan sampai sekarang. Dari situ pulalah gerakan ECI untuk mendominasi perekonomian Indonesia dimulai; bahkan menjadi gerakan untuk menguasai Nusantara bersama CSIS.
Adalah CSIS, atau Central Strategic and International Studies, yang didirikan Harry Tjan, juga aktivis ’66, yang menambahkan namanya dengan Silalahi, pada 1971, bersama dengan Liem Bian Kie, atau Jusuf Wanandi, kakak Sofyan. Di belakang mereka adalah Letkol Ali Murtopo, Staf Bidang Intelijen Luar Negeri dan Kolonel Sudjono Humardani, Staf Bidang Ekonomi; pada awalnya, keduanya adalah Asisten Pribadi Soeharto, yang kemudian menjadi Jenderal. Melalui keduanya, kelompok CSIS ini dipercaya memberikan masukan-masukan kepada Soeharto dalam menetapkan kebijakan Orde Baru di dalam negeri dan hubungan luar negeri. Dalam perjalanannya, CSIS merupakan kumpulan dari para tokoh dan pemikir yang mendekatkan diri kepada pemerintah Orde Baru dan Golkar, bahkan berusaha menjadi think tank-nya. Mereka berseberangan, kalau tidak mau dibilang membenci, kelompok Islam pada umumnya; sebaliknya mereka dekat dengan kelompok ECI dan non-muslim umumnya. Agama Nasrani memang menjadi tempat pelarian orang-orang ECI, di mana mereka merasa lebih nyaman menjadi Nasrani daripada Islam dan agama leluhur mereka.
Ali Murtopo yang amat berambisi menggantikan Soeharto dan Sudjono Humardani yang tokoh klenik dan anti Islam dikenal sebagai tokoh-tokoh Opsus, Operasi Khusus, Rezim Soeharto, yang membawa CSIS melakukan banyak “operasi khusus” atau intelijen kepada berbagai lapisan dan kelompok masyarakat Indonesia, termasuk Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, ICMI. Pada awal Orde Baru mereka ikut memberi arti kepada Pendidikan Pancasila, dan menjauhkan Soeharto dan ABRI dari Islam. Hal itu berlanjut dalam masa kepemimpinan Benny Moerdani yang mendirikan Badan Intelijen Strategis, BAIS, yaitu setelah Ali Murtopo tersingkir. Kehadiran Ali Murtopo dan Benny Moerdani, dan di belakang itu adalah Soeharto sendiri, menjadi awal dari perpecahan di kalangan ABRI dan pelemahan terhadap kekuatan TNI khususnya; sesuatu yang justru dikehendaki oleh kelompok CSIS secara diam-diam (Adicondro; 2003).
Di antara para tokoh pemikirnya semasa Soeharto adalah Daud Yoesoef, Pang Lay Kim dan Pater Beek, SJ. Sekembali dari Perancis, Daoed Yoesoef dipromosikan CSIS menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pang Lay Kim yang mengubah namanya menjadi Pangestu adalah ahli ekonomi yang dikenal sebagai Bapak Swastanisasi Indonesia. Badan-badan Usaha Milik Negara, BUMN, baginya adalah beban Negara yang harus diswastakan; sesudah diswastakan, BUMN-BUMN itu bisa saja kemudian diambil alih kaum ECI. Pater Beek berkelahiran Belanda, pernah menjabat Kepala Dokumentasi di Vatikan adalah Pastor dari Ordo Jesuit. Dia mendidik pemuda-pemuda Katolik Indonesia untuk membenci Islam. Kemudian ada Hadi Soesastro, Soedjati dan Sudradjat Djiwandono bersaudara, J. Kristiadi dan Mari Elka Pangestu, anak Pang Lay Kim.
Begitu Soeharto menjadi pejabat Presiden pada 1967, Bob Hasan mengawali kepiawaiannya dengan mendorong Soeharto untuk mengelola bisnis kehutanan di Luar Jawa. Pada tahun 1971 Bob Hasan diberi kepercayaan Soeharto untuk menjadi agen tunggal bagi perusahaan-perusahaan asing yang mau menanam modalnya di bidang kehutanan di Kalimantan dan tempat-tempat lain. Dalam kesempatan itu Bob menjadi mitra patungan perusahaan Amerika Serikat Georgia Pasific; Bob pun menjadi perantara dengan mempertemukan perusahaan-perusahaan asing itu dengan mitra patungannya di Indonesia. Ketika pada tahun 1981 pemerintah mulai melakukan larangan terhadap ekspor kayu gelondongan, Georgia Pasific lalu dijual kepada Bob Hasan. Pada akhirnya Bob menjadi Raja Kayu Indonesia dan pemasok kayu lapis terbesar dunia.
Pada Maret 1998, Soeharto memberi Bob Hasan dengan hadiah pada ulang tahunnya yang ke 67 berupa kedudukan Menteri Perdagangan dan Perindustrian; dia menjadi satu-satunya orang keturunan Cina yang diangkat Soeharto menjadi menteri sekalipun hanya untuk 3 bulan, yaitu justru sebelum Soeharto mundur pada bulan Mei. Bob dikenal sebagai perintis dan penyumbang terbesar kegiatan olahraga, khususnya atletik, di Indonesia. Sesudah Soeharto mundur, Bob sempat didenda 50 milyar Rupiah, karena terbukti membakar hutan Sumatera. Terakhir, Bob menjadi terdakwa dalam perkara korupsi yang merugikan Negara 2.4 trilyun Rupiah karena memalsu peta pengusahaan hutan, dan karenanya dihukum masuk penjara selama 6 tahun; dari penjara Cipinang, Bob dikirim ke penjara Nusakambangan sampai keluarnya pada 2004; lalu meninggal pada 2010.
Akan halnya Liem Sioe Liong, seperti Bob Hasan, Sioe Liong pun ganti nama menjadi Sudono Salim sesuai dengan instruksi menteri Dalam Negeri Nomor 6/1969 untuk semua warga Negara Indonesia keturunan Cina. Diilhami oleh bantuan Amerika Serikat pasca Peristiwa ’65 dalam rangka PL-480, di mana Indonesia mendapat bantuan pangan, antara lain, tepung terigu, maka Sudono Salim diberi hak sebagai agen tunggal pemasok terigu ke Indonesia. Kegiatan itu dilanjutkan Sudono Salim bersama Djuhar Sutanto alias Lin Wen Chiang, Ibrahim Risyad dan Sudwikatmono dengan mendirikan PT. Bogasari Flour Mill, perusahaan tepung terigu Indonesia terbesar yang memonopoli 2/3 kebutuhan dalam negeri. Pabriknya didirikan di kawasan pelabuhan Tanjung Priok, di Jakarta dan Tanjung Perak, di Surabaya, sehingga impor terigu, terutama dari Australia, bisa tercurah dari kapal angkutnya langsung ke pabriknya.
Sudono Salim adalah pendiri dan pemilik Grup Salim pada 1968 yang meliputi Indofood, Indomobil, Indosiar, Bank Central Asia, Bank Windu Kencana, Indomaret, Indomarco, PT. Mega, PT. Hanurata, PT. Waringin Kencana dan lain-lainnya. Tidak kurang dari 300 usahanya di seluruh Indonesia, tetapi hanya mampu menyerap 135 ribu karyawan. Kekayaannya yang mencapai semua usaha itu diperolehnya dari kedekatannya dengan Soeharto. Berbagai usahanya itulah yang membikin Sudono Salim, selain orang terkaya Indonesia, juga tepercaya di mata Soeharto. Soeharto menyebutnya sebagai “ayam petelur emas” yang selalu mengisi pundi-pundi Soeharto dengan membantu yayasan-yayasan yang didirikannya. Om Liem, demikian anak-anak Soeharto menyebut Sudono Salim, yang sekaligus menjadi ejekan orang untuk mencemoohnya, selalu memberi hadiah rumah kepada para jenderal yang “menjaga” Soeharto. Sudono Salim pulalah terutama yang membantu Soeharto dengan dana untuk menginvasi Timor-Timur atas perintah Amerika Serikat.
Pada 1997, sebelum terjadi krisis moneter, kelompok usaha Salim Group sudah memiliki sekitar 500 perusahaan dengan nilai aset mencapai sekitar USD 20 miliar dan memiliki tak kurang dari 200 ribu tenaga kerja. Sudono Salim termasuk 10 orang paling kaya di Indonesia, menjadi langganan dalam daftar 25 besar pengusaha terkaya di Asia dan 100 orang terkaya di Dunia versi majalah Forbes.
Pada saat terjadi krisis moneter 1997/1998, bisnis Salim Group ikut terkena imbasnya dan mengalami kemunduran ketika utangnya diperkirakan mencapai USD 4,8 miliar. Selain tidak lagi dipercaya oleh Soeharto untuk ikut mengelola yayasan-yayasan Soeharto, Salim Group terpaksa harus menjual 108 perusahaan kepada pemerintah guna membayar utangnya yang Rp 52,7 triliun; sedemikian sehingga BCA terpaksa harus pula berpindah tangan ke Grup Djarum. Dalam Kerusuhan Mei yang melanda Jakarta pada Mei 1998, rumahnya yang berada di jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, ikut menjadi korban perusakan dan penjarahan. Setelah peristiwa tersebut, Sudono Salim meminta anaknya Anthony Salim dan menantunya Fransiscus Welirang untuk menggantikan kepengurusan bisnisnya. Pada 1998 itu pula, mengikuti lengsernya Soeharto, Sudono Salim pindah dan tinggal di Singapur hingga tutup usia pada 2012.
Rakyat Bergerak
Rupiah benar-benar jatuh dari ketinggial 2.450 Rupiah per Dollar pada pertengahan Juni 1997 mencapai 16.500 Rupiah pada Januari 1998; bahkan sempat menyentuh 17.000 Rupiah pada 22 Januari. Jatuhnya Rupiah itu dipicu pula oleh putusan melikwidasi 16 buah bank swasta oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhamad. Ironinya, kebijakan yang membikin bangkrut bank-bank itu justru adalah saran yang bersifat memaksa oleh duo pembesar Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional atau WB dan IMF, yang masing-masing dipimpin James Wolfensohn dan Michael Camdessus; konon untuk mencegah krisis keuangan dan perbankan Indonesia yang lebih besar.
Sebagai akibatnya terjadi rush yang luar biasa besarnya, yang memaksa pemerintah memberikan injeksi Bantuan Likwiditas Bank Indonesia kepada perbankan dan industri lain lebih dari 1000 trilyun Rupiah! Pengucuran dana BLBI dalam situasi krisis itu menjadi kacau-balau, dan sarat dengan tindakan pidana korupsi oleh para pemilik korporasi dan para Pejabat Tinggi Negara dan pimpinan Bank Indonesia. Perampokan atas uang rakyat itu sampai hari ini belum juga berhasil diselesaikan dan dibongkar; atau mungkin justru sengaja dipeti-eskan, karena terlalu banyak pejabat yang terlibat. Sementara itu para penikmatnya justru sudah menjadi orang-orang kaya dan konglomerat yang tak tersentuh hukum, dan makin lebar pula kesenjangan antara si Kaya dan si Miskin.
Di tengah-tengah krisis moneter pada 12 Mei itu, aksi Mimbar Bebas diadakan oleh Senat Mahasiswa Universitas Trisakti di dalam kampus dengan tema Pemberdayaan DPR/MPR dan Koreksi Terhadap Eksekutif. Ketua Senat Mahasiswa Hendro Cahyono sudah mengantongi Surat Ijin dari Rektor Prof. Dr. Moertedjo. Mahasiswa menilai, bahwa selama lebih dari 30 tahun Rezim Soeharto, DPR/MPR lebih menyerupai corong pemerintah daripada badan wakil rakyat; dan bahwa kebijakan pemerintah dalam hampir semua bidang, khususnya ekonomi, sosial, hukum dan politik tidak berpihak kepada rakyat banyak, bahkan terasa gagal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di belakang mimbar berjajar bendera tiap-tiap universitas yang ikutserta meramaikan acara itu; mereka datang dari Jakarta, seperti Universitas Indonesia, Universitas Nasional, Institut Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Pancasila, Universitas Jakarta, Institut Sains dan Teknologi Nasional, dan masih banyak lagi lainnya. Berbagai spanduk dan poster juga menghiasi arena di sekitar mimbar bebas tersebut. Salahsatu poster besar yang sengaja dipasang di depan bertuliskan “Rakyat Minta Soeharto Turun!”
Berbagai sambutan oleh para pimpinan dan dosen Trisakti dilanjutkan dengan orasi para tokoh masyarakat. Awalnya acara berjalan dengan tertib; demikian pula ketika para tokoh mahasiswa mulai berorasi. Menjelang siang hari, ketika lebih banyak lagi mahasiswa datang dari berbagai universitas lain, suasana menjadi memanas karena sepasukan polisi dengan senjata lengkap memaksa masuk dan berdiri mengelilingi panggung mimbar tempat berorasi. Para mahasiswa itu seperti dibakar amarahnya, mengingat sehari sebelumnya sepasukan polisi juga melakukan kekerasan terhadap aksi serupa di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, IKIP, Jakarta, yang berakibat beberapa mahasiswa jatuh menjadi korban.
Suasana mimbar menjadi agak kacau ketika para mahasiswa merasa terganggu dan menjadi tidak suka dengan kehadiran beberapa aparat kepolisian itu. Satu-demi-satu para mahasiswa meninggalkan panggung untuk keluar menuju pintu gerbang universitas di jalan S. Parman. Tanpa dikomando, mereka bersepakat untuk turun ke jalan seakan-akan menantang para aparat Polri yang datang tak diundang itu. Menjelang jam 13, pintu gerbang dibuka, dan para mahasiswa berbaris di jalanan dengan satu maksud melakukan long-march menuju gedung DPR/MPR.
Di depan mereka sudah siap lebih banyak lagi pasukan polisi yang menghadang lengkap dengan tameng dan pentungan. Ketika tawar-menawar antara pimpinan mahasiswa dengan komandan sedang berlangsung, bahwa para mahasiswa akan berjalan kaki ke arah gedung DPR/MPR dengan tertib, sepasukan militer di bawah komandan distrik militer ikut menghadang barisan mahasiswa. Menjelang jam lima sore hari, kesepakatan tercapai, bahwa baik mahasiswa maupun pihak aparat Polri dan TNI sama-sama mundur dari posisinya saat itu: para mahasiswa kembali masuk ke kampus, dan pasukan aparat pun kembali ke markasnya masing-masing.
Akan tetapi ketika para mahasiswa mulai bergerak kembali ke kampus, tidak terlihat adanya gerakan mundur dari pasukan aparat keamanan. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan para mahasiswa, sehingga mereka pun mengurungkan niatnya kembali ke kampus. Kata-kata kotor dan lemparan botol minuman ke arah pasukan ternyata dibalas dengan serbuan oleh pasukan keamanan dengan lemparan gas air mata dan tembakan ke arah atas. Mereka mengejar para mahasiswa, bahkan sepasukan Unit Reaksi Cepat menggunakan sepeda motor jengki dan rotan pemukul menyerbu dan memukul ke tengah-tengah kerumunan mahasiswa, sehingga banyak pula mahasiswa yang jatuh dan lari tunggang langgang masuk kembali ke kampus. Mereka yang jatuh pun masih mendapat pukulan dan tendangan secara brutal.
Setelah sebagian besar mahasiswa memasuki kampus, dan aparat berhenti sampai di pintu gerbang, terdengarlah suara beberapa tembakan. Sebagian peluru hasil tembakan itu mengenai tembok gedung terdekat, tetapi sebagian yang lain menembus tubuh limabelas mahasiswa; tiga di antaranya tewas seketika, dan beberapa lainnya dinyatakan dalam keadaan kritis. Satu korban tewas lagi menyusul. Malam hari itu seluruh Indonesia berkabung. Banyak di antara warga Jakarta yang datang ke kampus untuk menyatakan dukacitanya. Wakil Presiden Habibie, atas nama pemerintah dan pribadi, juga menyatakan dukacitanya. Berbagai lembaga, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Keluarga Besar Universitas Indonesia, Petisi-50, YLBHI, Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia, serta pribadi-pribadi menyampaikan kutukannya terhadap peristiwa berdarah yang merenggut jiwa anak-anak muda harapan bangsa itu.
Herry Hertanto, dari Teknik Mesin 1995, Hafidhin Royan, dari Teknik Sipil 1996, Elang Mulia Lesmana, dari Teknik Arsitektur 1996, dan Hendriawan Sie, dari Ekonomi Menejemen 1996 adalah mereka yang tewas. Mereka yang meninggal itu dibawa kembali ke kampus pada sekitar jam 03.00 dini hari Rabu dari Rumah Sakit Sumber Waras, dan disemayamkan di gedung Sjarief Thayeb Universitas Trisakti. Jam 04.30 pagi itu dilakukan pelepasan jenazah kepada keluarganya diiringi oleh lantunan lagu Gugur Bunga:
“Telah gugur pahlawanku… Tunai sudah janji bakti…”
Rupanya para pimpinan Universitas Trisakti telah dihubungi oleh para pejabat tinggi, pimpinan keamanan dan Menteri Pendidikan agar mereka yang tewas segera dievakuasi untuk secepatnya bisa keluar kampus, serta mencegah kemarahan masyarakat dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Sebelum ke empat peti mati yang dibungkus dengan bendera Merah-Putih itu diangkat, Rektor Moertedjo menyampaikan sambutan singkatnya:
“… Sekalipun pemerintah tidak menyatakan mereka sebagai pahlawan; akan tetapi kami, khususnya sivitas akademika Universitas Trisaksi seluruhnya, di dalam hati, kami anggap mereka adalah pahlawan dan pejuang reformasi sejati!”
Kata-kata itu disambut dengan tangisan dan isakan pihak keluarga, di samping tepukan tangan lirih tanda sepakat dari para hadirin bahwa mereka adalah pahlawan reformasi. Tetapi dari kejauhan terdengan sesekali teriakan beberapa mahasiswa “Selamat Jalan Pahlawan Reformasi!”; “Selamat Jalan Pahlawan Rakyat!”; dan “Hidup Mahasiswa!”.
Ketika itu aku masih berada di penjara Cipinang; melalui kurir penjara Cipinang, Selasa malam itu aku memberi kabar kepada Erna, isteriku, agar tidak usah menengokku pada Rabu esok harinya, tetapi memintanya untuk pergi ke kampus Universitas Trisakti saja untuk menyatakan dukacita kami. Aku tidak lupa menyampaikan selamat ulang tahunnya pada 14 Mei. Erna datang ke sana, dan bahkan menyampaikan orasi bersama para aktivis dan tokoh-tokoh lain, seperti Bang Ali Sadikin, Bang Buyung, Mahar Mardjono, Hariadi Darmawan, Karlina Leksono, WS. Rendra, Hariman Siregar, Setiawan Djodi, Megawati, Amien Rais dan Emil Salim. Dalam orasinya, Erna juga meneriakkan beberapa kali: “Gantung Soeharto!” yang segera disambut dengan teriakan riuh yang sama oleh para mahasiswa. Ada sekitar lima ribuan mahasiswa hadir pada siang hari itu.
Ketika jenazah Herry Hertanto dan Elang Laksana dibawa ke Pemakaman Tanah Kusir, ada limabelas ribuan orang hadir dalam upacara penguburan itu. Jenazah Hendriawan Sie yang dikubur ke Pemakaman Kebon Jeruk juga diiringi oleh ribuan pelayat. Sedang jenazah Hafidhin Royan segera dibawa oleh keluarganya ke Bandung, tempat orang tuanya tinggal, dan dimakamkan di sana.
Tentang Tragedi Trisakti itu aku sempat menulis di selku di Cipinang sebagai berikut, dengan judul “Para Snipers di Trisakti” tertanggal 13 Mei, tentulah malam hari:
“Tidak ada tayangan yang begitu mengharukan seperti yang diambil SCTV sore hari menjelang tenggelamnya matahari. Diiringi hanya dengan lagu tanpa syair, yang menyayat, dan menyedihkan. Mirip memang dengan saat-saat ketika orang menguburkan jenasah. Dan gambar tayangan itu, seperti silhuette, lebih memperjelas kepedihan dan keharuan yang sekaligus bercampur dengan rasa geram dan gemas. Dan itu baru terjadi pada tanggal 13 Mei sore hari.
Pada awalnya ditayangkan situasi di sekitar Universitas Trisakti. Matahari yang sedang tenggelam ke arah Barat itu memang memperlihatkan suasana seram dan kelam: gedung-gedung hanya kelihatan seperti sosok-sosok yang gelap. Demikian pula pohon-pohonan. Sepi! Yang ada hanya lagu yang menyayat-nyayat hati itu. Lalu ada gambar sosok jembatan. Tentu itu jembatan layang di muka Universitas Trisakti. Di latar belakangnya terlihat bangunan-bangunan gelap seperti Universitas Tarumanegara, juga kelihatan seperti bangunan Hotel Ciputra.
Lalu di atas jembatan terlihat ada sosok-sosok manusia yang bergerak. Bahkan berlari-lari seakan berkejaran. Ternyata mereka juga memegang tongkat yang dibidikkan. Ternyata itu senapang berlaras. Mereka pasti tentara, atau anggota angkatan bersenjata. Mereka berlari-lari sambil menembak. Mereka tidak satu, tetapi banyak. Mereka pasti menembak ke arah bangunan Kampus Universitas Trisakti. Warta berita sebelumnya menyebut-nyebut soal itu.
Tayangan berikutnya tidak dalam kegelapan menjelang matahari terbenam. Tetapi kelihatan nyata. Tetapi lagu yang mengiringinya tetap menyayat. Tidak ada suara manusia, jerit ataupun tangis. Tetapi dari gambar kelihatan tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada wajah menggeliat kesakitan. Ada darah menggenang. Ada baju-baju berdarah-darah. Ada orang-orang berteriak histeris. Ada yang jatuh di jalanan. Ada wanita yang jatuh, matanya terbelalak tak bergerak. Mungkin dia mahasiswi yang juga jatuh karena pukulan atau tembakan. Ada tentara-tentara; cukup banyak. Ada pula polisi-polisi; banyak pula. Salahasatu dari mereka menginjak tubuh mahasiswi itu. Juga tubuh pemuda-pemuda lainnya. Semuanya tak bersuara. Hanya lagu-lagu sedih yang memilukan. Tapi itu semua, itu semua sudah menceritakan dan menunjukkan gambaran sesungguhnya dari apa yang terjadi…; tanpa usah ada kata-kata, apalagi warta berita!
Lalu ada suasana sebuah rumah sakit. Ada wajah-wajah yang menangis. Ada wajah yang meraung-raung. Ada yang memeluk putus asa. Ada tubuh yang tak bergerak. Tubuh yang tak bisa bergerak itu dipeluki banyak orang. Mereka memeluk sambil menangis, menahan isak, gemas, geram, meraung. Tentu itulah para mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas. Mereka tewas terkena peluru-peluru tongkat senjata yang dibidikkan dari atas jembatan layang. Mereka tewas sebagai pahlawan. Pahlawan reformasi!”
Tetapi lewat tengah hari, sesudah upacara penguburan itu selesai, Jakarta terbakar. Beberapa titik api mulai tersulut di beberapa pusat bisnis di Jakarta Barat, Utara dan Timur; yang lalu melebar ke banyak tempat yang lain. Kebakaran di pusat-pusat bisnis ini ternyata menelan ratusan korban jiwa. Mereka terbakar seperti kayu bakar. Erna membantu orang-orang yang kehilangan sanak-saudaranya di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo untuk mengidentifikasi korban-korban yang hangus terbakar. Berhari-hari sesudah itu baru bau mayat hangus hilang dari baju dan badannya.
Semula ada yang mengaitkan kebakaran ini dengan kemarahan mahasiswa terhadap kematian rekan-rekannya. Akan tetapi teori ini ditolak setelah melihat dari dekat, bahwa kebakaran di pertokoan dan pusat belaja tersebut terkait erat dengan aksi penjarahan toko-toko dan pusat belanja oleh masyarakat. Hal ini tidak mengherankan, karena inflasi pun sedang menggila mencapai 70 persen. Hal yang sama terjadi pada nilai Rupiah: posisinya pada Januari sempat jatuh hingga 17.000 Rupiah per Dollar; turun hingga 8.000 Rupiah pada April, dan Mei itu naik lagi sampai 13.000 Rupiah. Situasi Jakarta sungguh-sungguh kacau dan tidak terkendali.
Kebakaran dan penjarahan itu dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998. Dimulai pada 13 Mei dan berakhir pada 19 Mei. Di Jakarta saja, tidak kurang dari 500 orang tewas dan sebagian besar terbakar hangus; 6.000 bangunan rusak dan terbakar, di antaranya 1.000 rumah penduduk habis terbakar; serta lebih dari 2.000 kendaraan bermotor terbakar, di antaranya 100 kendaraan umum dan 800 sepeda motor; selebihnya adalah milik pribadi. Kerugian berupa harta benda ditaksir tidak kurang dari 3 trilyun Rupiah.
Tidak hanya itu, bahkan kerusuhan itu pun ditandai dengan perkosaan dan pelecehan seksual terhadap warga perempuan keturunan Cina. Pelecehan seksual yang bersifat masal; tidak kurang dari seratus kasus terjadi selama kerusuhan tersebut berlangsung. Romo Sandyawan Sumardi dan para relawannya, konon memunyai bukti-bukti yang mereka bisa kumpulkan. Pemerkosanya adalah tentara; dan dilakukan beramai-ramai. Karena itu perkara itu tidak pernah bisa dibuka. Masyarakat menduga Prabowo Subianto dan anak buahnya dari Kopassus terlibat dalam Kerusuhan Mei 1998 itu.
Hal itu dikaitkan dengan pernyataan Prabowo sebelumnya. Dalam masa-masa sulit itu, saat kejatuhan Soeharto sudah semakin dibayang-bayangkan dan pula menjadi pergunjingan masyarakat, Prabowo Subianto, anak Soemitro dan menantu Soeharto, juga mencium bahu tak sedap tentang adanya gerakan yang bermaksud menjatuhkan Soeharto. Dari hasil penciumannya, dia melontarkan suatu tuduhan serius kepada kelompok ECI. Di depan Liem Bian Koen, alias Sofyan Wanandi, salahsatu tokoh Angkatan ’66 yang lalu menjadi pengusaha, dan yang kemudian menjadi Ketua Umum Apindo, Prabowo menuduh orang-orang Cina Katolik sedang bergiat melakukan gerakan untuk merongrong dan menjatuhkan Soeharto. Dalam kesempatan itu, konon Sofyan menjawab, bahwa yang bisa menjatuhkan Soeharto adalah kelompok Islam dan tentara; sungguh tidak masuk akal kelompok Kristen-Katolik atau Cina yang kecil jumlahnya ini bisa menggusur Soeharto.
Tentulah jawaban Sofyan bukan sekedar jawaban spontan, tapi sudah masuk lama di otaknya, mengingat jawabannya tentang kekuatan Islam dan tentara ini juga menjadi pikiran negara-negara maju yang mau mendominasi kekayaan alam Indonesia. Hanya saja penciuman Prabowo yang kurang tepat; mestinya dia juga mendatangi Mokhtar Riady dan James Riady, bapak dan anak. Sekalipun begitu, tuduhan Prabowo itu sudah menjadi catatan sendiri bagi Keluarga Wanandi dan Riady beserta kawan-kawan gerakannya.
Sebelum itu, bahkan, Prabowo pernah pula menyatakan keinginannya untuk “mengusir keluar seluruh orang Cina dari Indonesia, sekalipun ekonomi Indonesia bakal mundur beberapa lama sebagai akibat dari itu….”
Prabowo benar perekonomian Indonesia sesudah 30 tahun Soeharto berkuasa memang sudah dikuasai mereka. Kalau 200 orang konglomerat ECI ini terusir, perekonomian Indonesia pasti mundur. Tetapi dengan demikian tidak ada lagi adikuasa ekonomi di Indonesia: keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia bisa terwujud…
Rancangan Kudeta
Kerusuhan dan pembakaran bahkan meluas hingga ke Solo, Surabaya, Denpasar, Medan dan Batam. Dalam beberapa kejadian, nyata sekali bahwa aksi penjarahan disertai dengan pembakaran dan perusakan tersebut justru didukung oleh oknum-oknum TNI. Bahkan orang-orang pun didorong untuk melakukan penjarahan itu; atau minimal ada usaha pembiaran oleh oknum-oknum itu daripada usaha pencegahan. Polisi juga menghilang, tidak terlihat sosok dan batang-hidungnya. Orang tidak pernah mendengar Kapolri Dibyo Widodo, misalnya, menyampaikan instruksi kepada Polri atau pesan-pesannya kepada masyarakat dalam masa kerusuhan itu.
Beberapa jenderal, antara lain, Kivlan Zen mengatakan krisis ABRI terbesar dalam sejarah terjadi pada 1965/67 dan 1998; tentulah yang dimaksud adalah Kerusuhan Mei 1998 itu. Memang masyarakat melihat ABRI pada Mei 1998 itu sangat lemah, tidak berdaya, kacau dan tidak tampak berada di tengah-tengah rakyat. Tragedi kerusuhan yang disertai dengan tindak pidana penjarahan, perkosaan dan pembunuhan itu hilang begitu saja dari catatan hukum. Kalau TNI dan Polri tidak bisa diharapkan mampu melindungi rakyat; bagaimana mau melindungi negara?!
Angkatan Bersenjata Republik Indonesa yang hebat itu, tidak saja kecolongan, tetapi juga menghindar dari tanggungjawab meredakan kerusuhan yang sangat dahsyat itu! Di situ pun kelihatan sekali, Wakil Presiden Habibie yang menjadi Penjabat Presiden sementara Soeharto sedang berada di Timur Tengah sejak 8 Mei tidak mampu berbuat sesuatu, baik terhadap Polri maupun TNI. Ke mana para jenderal Polisi dan TNI yang mestinya membantu presiden?!
Akibatnya, Soeharto yang mempercepat kunjungannya ke Kairo dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Negara-negara G-15 itu tiba kembali pada 15 Mei, serta melihat Jakarta yang sedang terbakar. Segera saja dia mengeluarkan Instruksi Presiden kepada Wiranto esok harinya untuk mewujudkan kembali keamanan dan ketertiban sehubungan dengan Kerusuhan Mei yang belum kunjung usai itu. Tetapi tampaknya, sekali lagi, Wiranto yang baru diangkat Maret itu enggan melakukannya, menolaknya, atau sekedar mau menunjukkan bahwa dia tidak mampu melaksanakan perintah tersebut. Di dalam konteks ketentaraan, seharusnya Wiranto menghadap Pak Harto dan mundur dari jabatannya di TNI karena merasa gagal (Subroto; 2009). Tetapi Wiranto tidak melakukannya; dia seperti orang bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan…
Pak Harto sendiri cuma bisa murung. Dia tahu sudah sejak lima tahun sebelumnya, yaitu ketika Jenderal Harsudiono Hartas, Kepala Sospol dan Ketua Fraksi ABRI di DPR “memaksakan” Jenderal Try Soetrisno untuk menjadi Wakil Presiden, dengan menolak BJ. Habibie, merasakan bahwa TNI mulai mbalelo kepadanya. Sekarang, ketika Habibie benar-benar diangkatnya menjadi Wakil Presiden, ABRI enggan mendukungnya lagi.
Kelihatannya demikian pula DPR/MPR sudah mulai tidak setia kepadanya, terbukti dari terbukanya pintu DPR/MPR bagi para pemuda dan mahasiswa. Soeharto mulai berpikir keras untuk menyelamatkan dirinya dan mesin-mesin politiknya. Soeharto mulai sadar, tidak saja krisis moneter telah mengakibatkan masyarakat resah dan meminta pertanggungjawabannya, tetapi juga Amerika Serikat sedang kuat mengunci segala persendian anggota tubuhnya… Dia mulai sadar mungkin sekarang saatnya mundur; akan tetapi dia membutuhkan persiapan agar dia dan keluarganya selamat!
Soeharto pun tahu adanya friksi antara Jenderal Wiranto dan Jenderal Prabowo. Friksi di antara mereka itu baru terkuak di masyarakat setelah terbongkar laporan Wiranto kepada BJ. Habibie, tentang adanya pasukan Kostrad, Komando Strategis Angkatan Darat, Prabowo Subianto, berada di sekitar rumah dinas Habibie di Patra Kuningan; yaitu setelah Habibie diangkat menjadi Presiden. Hal itu diartikan sebagai usaha “mengganti” Habibie.
Demikian pula beberapa kali ucapan Wiranto yang mengatakan seakan-akan dia bisa melakukan kudeta terhadap Soeharto seandainya dia mau, pada Mei 1998 itu, menunjukkan adanya perseteruan kekuasaan di dalam tubuh TNI. Pikiran kudeta Wiranto ini dikonfirmasi oleh seorang komandan Marinir di Jakarta yang berhasil membaca pikiran Wiranto. Tapi, karena Jenderal Marinir ini tidak mendukung, bahkan mengecoh Wiranto dengan mengatakan kekuatannya berlipat dari yang sebenarnya, Wiranto menjadi gentar; lalu dengan serta-merta mengurungkan niatnya.
Sedang Prabowo merasa karirnya sempat terhenti oleh para senior yang tidak suka kepadanya. Tetapi sangat mungkin, karena dia terlibat dalam banyak persoalan akibat sikap megalomania di dalam dirinya sendiri. Sekalipun kemudian dia menjadi menantu Soeharto, tetapi sejak lama dia sudah memendam rasa tidak puas, karena merasa banyak seniornya yang mengganjal karirnya, seperti Benny Moerdani. Banyak orang percaya, bahwa cerita tentang pemerkosaan terhadap para warganegara perempuan dari etnis Cina yang terjadi pada masa Kerusuhan Mei 1998 itu juga adalah hasil ulah Prabowo. Terbakarnya Jakarta, dengan rentetan peristiwa yang terkait di dalamnya, dengan begitu bukan dari akibat marahnya para mahasiswa, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh adanya pertentangan di antara dua jenderal yang berebut kekuasaan itu. Bahkan, terbunuhnya para mahasiswa Trisakti itu sendiri adalah hasil rekayasa untuk menciptakan suasana kondusif bagi sebuah kudeta militer.
Ternyata ribuan orang asing telah pergi meninggalkan Jakarta. Mereka membanjiri Bandara dari berbagai Kedutaan Besar di Jakarta. Kedutaan-kedutaan Besar mengira “kerusuhan” akan tidak terbendung, dan lalu memerintahkan warganegaranya untuk mengevakuasi diri mereka; paling tidak untuk sementara waktu. Mereka berangkat berbondong-bondong meninggalkan Jakarta menuju Singapur…terminal aman paling dekat.
Memang masih tidak terungkap, apa yang dibicarakan Soeharto dengan Prabowo dan Syafrie beberapa hari sebelum Soeharto berangkat ke Timur Tengah di jalan Cendana. Hari itu Pangab Wiranto berselisih jalan dengan Danjen Kopassus Prabowo yang berjalan bersama Pangdam Jaya Syafrie Syamsuddin, ketika Wiranto mau memasuki Istana Cendana. Wiranto sempat bertanya: “Ada apa?! Formil atau pribadi?” Yang ditanya tentu tidak bisa mengelak, karena mereka memakai seragam dinas lengkap: “Formil, Dan!”
Tentu saja Wiranto yang tidak merasa pernah memberi tugas kepada mereka untuk bertemu dengan Soeharto menyimpan rasa curiga. Mungkin saja Soeharto memberikan pesan-pesan khusus kepada menantunya itu; tetapi kenapa tidak sekaligus kepada Menpangab. Mungkin saja Soeharto menyampaikan sesuatu yang bersifat rahasia; atau sengaja mempermainkan Prabowo dan Wiranto. Sudah sejak Prabowo berpisah dari anaknya, Soeharto sudah mulai tidak percaya kepada Prabowo; dan Soeharto tentu tahu betul sifat-sifat menantunya itu. Dan Soeharto pun tahu pula akan adanya friksi mantan menantunya itu dengan Wiranto.
Di kalangan TNI, bukan hal baru, kalau Prabowo Subianto adalah orang yang mudah frustrasi, stress dan lalu melakukan hal-hal yang di luar akal sehat; dia merasa super dalam semua hal lalu menjadi megalomania. Sejauh itu orang-orang TNI memang merasa segan kepadanya, sesudah dia menjadi menantu Soeharto. Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, Prabowo terlibat dalam peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa Kopassandha, Komando Pasukan Sandi Yudha, yang kemudian pada 1985 berubah menjadi Kopassus, Komando Pasukan Khusus (Subroto; 2009). Sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 Anti Teror, Kopassandha, Kapten Prabowo bersama pasukannya, secara sendiri, tanpa menyampaikan informasi kepada ataupun mendapat perintah dari atasannya langsung, yaitu Mayor Luhut Panjaitan; dia menyiagakan pasukannya untuk menangkap Letjen LB. Moerdani, Asisten Intel Hankam, dan beberapa jenderal lain, antara lain, Letjen Sudharmono dan Letjen Moerdiono. Mereka dicurigai Prabowo akan melakukan kudeta terhadap Soeharto. Rencana Prabowo itu digagalkan Luhut Panjaitan.
Betapapun, peristiwa itu pasti diketahui pula oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan, Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf, dan Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Rudini. Justru kemudian Letjen LB. Moerdani diangkat Soeharto menjadi Panglima ABRI/Menhankam menggantikan Jenderal M. Jusuf. Dua tahun kemudian Mayor Prabowo, lewat surat perintah Rudini, sesuai dengan saran atasan langsungnya, Letkol Luhut Panjaitan, dipindahkan ke Yonif 328/Raiders Kostrad.
Pada awalnya, Prabowo mempertanyakan pemindahannya itu kepada Kolonel Sintong Panjaitan, Komandan Kopassandha. Tetapi pertanyaan yang bermakna “menilai” atasan itu tidak ditanggapi Sintong. Segan terhadap menantu Soeharto itu, Sintong memilih tidak peduli terhadap “penilaian” Prabowo daripada memecatnya. Akibat dari Peristiwa Kopassandha itu, berlangsunglah deBennysasi, sekalipun hampir semua jenderal yang pernah memimpin Angkatan Darat tidak percaya akan ada rencana kudeta oleh Benny, demikian panggilan akrab LB. Moerdani. Para jenderal itu pun segan terhadap Soeharto.
Prabowo mengulang kembali ulahnya menjelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998. Komandan Jenderal Kopassus itu memberikan perintah lisan kepada salahsatu komandan Sandiyudha; lalu disusul dengan perintah tertulis Prabowo sendiri kepada Mayor Bambang Kristiono dari Detasemen 81/Anti Teror untuk membentuk Tim Mawar yang terdiri dari 10 orang perwira dan bintara. Mereka ditugasi secara rahasia menculik beberapa aktivis pro-demokrasi, antara lain, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Andi Arief, Desmond Mahesa dan Faisol Reza. Sekalipun alasan Prabowo adalah untuk menyelamatkan keadaan negara dan bangsa manakala terjadi ancaman yang nyata, akan tetapi perintah Prabowo secara spontan itu seharusnya segera dilaporkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, dan Kepala staf Angkatan Darat Jenderal Wiranto; semuanya adalah atasannya. Tetapi Letjen Prabowo dengan megalomania-nya itu enggan melaporkan tindakan operasional yang diambilnya itu kepada para atasannya.
Beberapa orang aktivis yang diculik selama beberapa bulan akhirnya bisa dibebaskan oleh perintah Panglima ABRI. Sidang pengadilan Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk pada awal Agustus 1998 pada akhirnya memutuskan Mayor Bambang Kristiono dihukum penjara satu tahun dan sepuluh bulan, serta dipecat dari dinas militer TNI-Angkatan Darat. Empat orang perwira lainnya juga dihukum penjara, serta dipecat dari dinas militer TNI-Angkatan Darat; sedang para bintara lainnya dihukum penjara saja. Rupanya Oditur militer enggan menelusuri asal perintah terhadap Tim Mawar itu, sehingga Prabowo lolos dari hukuman. Tetapi Prabowo tidak bisa melepaskan diri dari jerat administrasi; dia dipecat dari dinas militer melalui keputusan Panglima ABRI.
Kemudian, ternyata pula bukti-bukti yang ada di lapangan menunjukkan, bahwa peluru-peluru yang menembus tubuh para mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 itu, masing-masing satu peluru; bukanlah peluru-peluru Polri, melainkan dari sniper TNI. Muncul berbagai informasi sesudah itu yang mengatakan bahwa beberapa tentara, tidak jelas dari kesatuan mana, sudah bersiap sedia di wilayah Grogol di sekitar kampus Universitas Trisakti beberapa hari sebelumnya; bahkan mereka melakukan latihan terjun melalui tali dari helikopter.
Sampai hari ini, Tragedi Trisakti yang mengambil nyawa empat korban mahasiswa itu masih belum terungkap jelas. Bahkan perkara pelanggaran HAM itu pun masih terus menggantung; berkas-berkas yang dikirim Komnas HAM beberapa kali dikembalikan lagi dan lagi oleh Kejaksaan Agung, karena selalu dianggap “kurang lengkap”. Tidak syak lagi, bahwa jenderal-jenderal TNI ikut terlibat di dalamnya, termasuk Wiranto. Oleh sebab itu, apa yang terjadi dan melatarbelakangi Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 ini tidak akan mudah terbongkar semata-mata karena di belakang perkara itu ada para jenderal yang terlibat. Tentulah mereka sebagian berada di pihak Wiranto, dan sebagian lagi di pihak Prabowo.
Saatnya Mundur
Suara-suara tentang mundurnya Soeharto sendiri sudah cukup lama terdengar. Bahkan sejak 1993, Soeharto sendiri sudah berkeinginan untuk mundur; pada hakekatnya Soeharto sudah capai. Hanya karena kedudukan BJ. Habibie sebagai calon Wakil Presiden “diambil-alih” oleh Try Soetrisno melalui dukungan fraksi ABRI, maka Soeharto “rela” dan “sabar” menunggu sampai lima tahun lagi demi mengangkat Habibie menjadi Wakil Presiden. Itu terlaksana pada pemilihan Maret 1998. Bahkan, lebih dari itu, upaya mengangkat Habibie menjadi Wakil Presiden itu adalah untuk meloloskannya sekaligus menjadi Presiden ketika Soeharto mundur kemudian di tengah jalan. Soeharto sudah menyiapkan Tap- MPR Nomor III/1978 untuk memudahkannya mengangkat seorang putera mahkota, dalam sebuah penggantian yang sesuai dengan Pasal-8 UUD-45, di Istana Negara atau tempat lain; bukan harus di gedung MPR.
Masalah penggantian Soeharto oleh BJ. Habibie ini tentu sudah dibaca pula oleh para jenderal TNI, termasuk oleh Wiranto dan Prabowo, karena TNI umumnya “tidak suka” terhadap Habibie yang orang sipil. Orang-orang TNI itu berharap pengganti Soeharto harus orang TNI pula. Oleh sebab itu, Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah rekayasa politik oleh beberapa jenderal TNI, dalam upaya menggantikan Soeharto, sebelum Habibie telanjur diangkatnya menjadi Presiden.
Di satu pihak Prabowo sibuk sendiri merancang dan membuat kerusuhan; di lain pihak Wiranto menggunakan peluang itu untuk tujuan yang sama. Pemanggilan para komandan jenderal oleh Wiranto ke Malang ketika Jakarta terbakar tidak lain adalah untuk menyiapkan diri ketika suksesi harus terjadi, dan untuk mencegah BJ. Habibie sekaligus; sementara Prabowo juga memunyai pikiran yang sama. Pikiran para jenderal TNI ini muncul dalam bentuk tindakan ketika Soeharto berangkat ke Timur Tengah.
Soeharto sendiri, sekalipun kekacauan di tanah-air meningkat dan terus berlangsung sebagai akibat dari krisis moneter dan cara-cara IMF dan para petinggi Amerika Serikat yang tidak jelas tapi terus menekan dalam menangani krisis itu, tetap saja memaksakan diri berangkat ke Timur Tengah sejak 8 Mei. Sesudah itu, ketika masih berada di Mesir, dan mendengar suara dari tanah-air yang memintanya mundur, Soeharto mengatakan bahwa “samasekali dia tidak akan merasa rugi” kalaulah harus mundur dari kepresidenan. Di tanah-air, kata-kata itu ditangkap sebagai isyarat dari Soeharto yang siap untuk mundur. Tidak terkecuali, Wiranto dan Prabowo pun mengartikannya begitu. Tetapi setiba di tanah-air Soeharto membantah. Kedua Jenderal itu gagal menindaklanjutinya pada saat kesempatan itu datang; Soeharto terlalu cepat pulang dan ternyata masih berwibawa.
Sementara Jakarta terbakar pasca Tragedi Trisakti, ratusan mahasiswa sudah bisa menyusup masuk ke dalam kompleks DPR/MPR. Pada tanggal 15 Mei itu pula atas desakan para tokoh pergerakan, khususnya dari Ikatan Alumni Universitas Indonesia, dibantu oleh TNI Marinir, pintu pagar DPR/MPR pun dibuka lebar-lebar, dan ribuan pemuda serta mahasiswa mulai berdatangan masuk dan menduduki gedung DPR/MPR. Esok harinya jumlah mereka membengkak mencapai puluhan ribu. Beberapa tokoh pergerakan, seperti Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Amien Rais dan Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Hariadi Darmawan, ikutserta pula meramaikan suasana di DPR/MPR. Ketua DPR/MPR Harmoko pun dipaksa oleh masa pemuda dan mahasiswa untuk meminta Soeharto mundur. Dan itu disanggupinya.
Segera sesudah mendarat pada 15 Mei itu, Soeharto masih menunjukkan kegagahannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 16/1998 untuk mencegah kerusuhan meluas tidak terkendali, sesuatu yang tidak bisa dilakukan Habibie. Wiranto masih berusaha mengelak dari tanggungjawabnya melaksanakan Inpres itu, akan tetapi pada saat kritis itu Wiranto masih gentar melihat karisma Soeharto lalu berbalik berlindung kepada BJ. Habibie. Sedang Prabowo masih terus berusaha mencari kesempatan baru, sekalipun Habibie sudah resmi menjadi Presiden.
Kerusuhan memang reda dengan sendirinya. Tetapi tangal 18 Mei itu datang Harmoko, Ketua DPR/MPR, bersama beberapa pimpinannya ke Istana Cendana. Harmoko menyampaikan tuntutan para mahasiswa agar Soeharto mundur. Tetapi Soeharto menjawab, bahwa dia tidak akan mundur; Soeharto membantah berita dari Kairo, yang mengatakan bahwa dia mau mundur. Wiranto sendiri mengatakan, bahwa permintaan pimpinan DPR/MPR itu salah; mestinya harus disampaikan di dalam sebuah Sidang Istimewa MPR.
Setelah yakin bahwa dari TNI tidak bisa diharapkan, Soeharto kembali menengok kepada umat Islam. Esok harinya, tanggal 19, Soeharto mengundang para tokoh Islam untuk bertemu di Istana Negara. Mereka yang hadir, antara lain, adalah Gus Dur, Ali Yafie, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib, Yusril Ihza Mahendra, dan beberapa tokoh Islam lainnya, terutama dari ICMI, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Entah apa saja yang dibicarakan Soeharto bersama mereka, tetapi menjelang siang hari Nurcholis Madjid muncul dari dalam dan menyampaikan keterangan kepada pers, bahwa Presiden Soeharto dalam waktu dekat ini akan membentuk Dewan Reformasi Nasional dan akan melakukan reshuffle kabinet untuk membentuk Kabinet Reformasi.
Sedang Yusril Ihza Mahendra menambahkan, entah mewakili Pak Harto, sebagai jurubicara di samping Nurcholis, atau untuk dirinya sendiri. Dengan nada sombong dan tengik, dia menyampaikan kecamannya terhadap gerakan dan pemaksaan oleh para pemuda dan mahasiswa agar Soeharto mundur; Yusril dikenal sebagai the all presidents’ man, karena dia survive melayani semuanya lima Presiden RI, dari Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY; dan masih saja tidak mengira Soeharto akan jatuh!
Tetapi pada tanggal 20 terjadi perkembangan baru. Pada siang hari itu beredar selebaran yang memuat lima opsi pergantian kekuasaan sekiranya Pak Harto jadi mundur. Menurut banyak orang, opsi-opsi itu berasal dari pimpinan Golongan Karya sendiri; tentunya, antara lain, adalah Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar, dan BJ. Habibie sebagai Ketua Dewan Harian- nya. Sampai hari ini tidak jelas siapa pembuat opsi-opsi itu; mengingat judulnya, sangat mungkin selebaran itu dimaksud oleh pembuatnya sebagai bahan untuk dibicarakan oleh Fraksi Golongan Karya dalam rapatnya pada tanggal 20 Mei 1998. Selebaran yang berjudul “Beberapa Alternatif untuk Ditetapkan Fraksi Karya Pembangunan DPR-RI pada Rapat Pleno FKP DPR-RI 20 Mei 1998”, isinya adalah sebagai berikut:
(1) Diwujudkannya pola reformasi sebagaimana diumumkan Presiden Soeharto tanggal 19 Mei 1998. Keputusan Presiden tersebut disikapi oleh DPR-RI sesegeranya;
(2) Presiden Soeharto berhenti atas permintaan sendiri dan Wakil Presiden meneruskan kepemimpinan sampai masa jabatan berakhir atau sampai dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR sesuai ketentuan Tap MPR No. VII/MPR/1973;
(3) Presiden dan Wakil Presiden berhenti atas permintaan sendiri. Pemerintahan dilaksanakan oleh Mendagri, Menlu dan Menhankam sampai dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden baru sesuai TAP MPR No. VII/MPR/1973;
(4) Dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR diawali dengan kesepakatan antara Presiden dan Pimpinan MPR bersama-sama Fraksi-Fraksi DPR-RI untuk selanjutnya diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR. Dalam hal kompromi seperti ini Sidang Istimewa tidak perlu meminta pertanggungjawaban Presiden tetapi cukup dalam Sidang tersebut Presiden berhenti atas permintaan sendiri dan mengembalikan mandat kepada MPR-RI;
(5) Dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR untuk menerima pengunduran diri dan pengembalian Mandat Presiden dan Wakil Presiden, yang diawali dengan kesepakatan Presiden dan Pimpinan DPR/MPR dan Pimpinan Fraksi-Fraksi DPR-RI untuk selanjutnya diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR-RI. Dalam hal kompromi seperti ini Sidang Istimewa tidak perlu meminta pertanggungjawaban Presiden, tetapi cukup dalam Sidang tersebut Presiden dan Wakil Presiden berhenti atas permintaan sendiri dan mengembalikan mandat kepada MPR-RI.
Menilik kelima alternatif pemindahan kekuasaan tersebut, selain alternatif pertama yang masih secara eksplisit memilih Soeharto sebagai Presiden RI, keempat alternatif yang lain samasekali tidak menginginkan Soeharto. Alternatif ke dua, sesuai dengan bunyinya Pasal 8 UUD-1945, mendudukkan BJ. Habibie secara explisit sebagai pengganti Soeharto. Mirip dengan alternatif dua, alternatif ke empat, seakan-akan mau mengatakan, bahwa DPR/MPR RI mendukung mundurnya Soeharto, sedang Habibie secara implisit tidak perlu mundur. Alternatif ke tiga dan ke lima hanyalah sekedar bunga-bunga yang mau mengatakan, bahwa baik Soeharto maupun Habibie tidak dikehendaki, dan diminta mundur atas permintaan sendiri. Tentu saja, dengan demikian, orang akan berpikir bahwa sangat mungkin alternatif-alternatif itu merupakan hasil kerjasama, FKP, Fraksi Karya Pembangunan, DPR-RI dengan BJ. Habibie.
Apalagi pada sore harinya, muncul informasi kepada Presiden Soeharto, tentang mundurnya 14 orang Menteri di dalam Kabinet Pembangunan VII. Dalam sebuah pernyataan tertulis yang mengawali permintaan mundur para Menteri itu disebutkan, bahwa: “…kami bersepakat, bahwa langkah pembentukan kabinet baru sebagaimana yang Bapak rencanakan tidak akan menyelesaikan masalah.” Yang artinya, menolak alternatif pertama di atas. Orang bahkan menduga, bahwa surat kepada Presiden tersebut, serta alternatif-alternatif pemindahan kekuasaan tersebut dirancang oleh orang-orang yang sama dalam ruang yang sama.
Habibie menolak tuduhan ikutserta merekayasa surat dan selebaran tersebut, dengan alasan bahwa dia mendengar beritanya pada malam hari tanggal 20 Mei itu juga, ketika sedang mengadakan pertemuan di rumahnya bersama-sama dengan banyak anggota dan tokoh ICMI. Beberapa kabar menyebutkan surat itu dirancang di Bappenas oleh Ginanjar Kartasasmita dan kawan-kawannya. Selain ambisius, Ginanjar, yang juga mantan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral itu, juga kesal terhadap Soeharto karena pernah ditegur punya banyak saham di PT. Freeport Indonesia.
Meskipun Habibie mengingkari terlibat, dan memang ada bukti pertemuan di rumahnya pada tanggal 20 Mei malam, akan tetapi perasaan banyak orang mengatakan bahwa Habibie bukannya tidak tahu apa yang dilakukan dan mau dilakukan Ginanjar. Apalagi melihat bahwa beberapa orang menteri yang dikerahkan untuk membuat pernyataan mundur itu adalah mereka yang berlatar belakang teknik dan alumni ITB; dan sebagian hadir malam itu di rumah Habibie.
Dalam pernyataan tertulis itu, nama para Menteri Soeharto yang mundur itu ditulis dengan urutan abjad; mereka berturut-turut adalah Akbar Tanjung, AM. Hendroprijono, Ginanjar Kartasasmita, Giri Soeseno Hadi Hardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsyah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng. Mundurnya para menteri itu dianggap Soeharto sebagai sebuah fait accomply, atau boycot terhadap rencananya menyusun kabinet baru; maka berita yang beredar mengatakan bahwa Ginanjar dan Habibie itulah yang dianggap telah berkhianat terhadap Soeharto. Secara common sense saja, melihat begitu banyaknya menteri yang mundur, pastilah ada seseorang yang mengkoordinirnya. Orang tidak terlalu sulit untuk menduga Ginanjar, karena dia yang paling senior. Yang menarik adalah Hendroprijono, karena dia satu-satunya yang dari TNI.
Menurut cerita BJ. Habibie selanjutnya, malam itu juga dia mendapat tilpun dari Sekretariat Negara, Sa’adilah Mursyid, yang memintanya untuk datang ke Istana Negara pada esok paginya. Versi Habibie mengatakan, bahwa Habibie tidak diberi tahu, untuk apa diminta datang ke Istana pagi tanggal 21 Mei itu. Habibie menyatakan keinginannya untuk bisa berbicara dengan Soeharto, tetapi dihalangi. Pagi harinya, di Istana Merdeka pun dia ditolak ketika ingin bertemu Soeharto lebih dulu. Melainkan Soeharto sendiri yang lalu menemuinya; itu pun hanya beberapa saat. Soeharto hanya mengatakan, bahwa dia mau melantiknya menjadi Presiden pada pagi itu. Sekalipun kaget, Habibie pasti gembira pada akhirnya dia jadi dilantik menjadi Presiden RI.
Versi lain mengatakan, bahwa tilpun pada malam hari itu pun sudah memberitahu akan diangkatnya Habibie pagi harinya menjadi Presiden RI ke Tiga. Baru sesudah itu BJ. Habibie merasa ditolak untuk bisa bicara dengan Presiden. Tetapi akhirnya BJ. Habibie jadi dilantik sebagai Presiden RI ke Tiga pada 21 Mei 1998; yaitu sesudah Soeharto menyatakan dirinya mundur.
…..
sumber: https://books.google.co.id/books?id=NjGdBQAAQBAJ&pg=PA297&lpg=PA297&dq=tomy+winata+dan+komunis+cina&source=bl&ots=KJXFXJ4Z9e&sig=fskcrfmmTK2144CdaXw2VCf2hgA&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=tomy%20winata%20dan%20komunis%20cina&f=false
*Dosen UI, Aktivis senior – Rakyat Bergerak Jl.Guntur 49 Setiabudi Jakarta Selatan
- See more at: http://tribunrakyat.com/2014/01/13/ganti-rezim-ganti-sistem-pergulatan-menguasai-nusantara/
Tags: #TommyWinata #TomyWinata #TomiWinata
No comments:
Post a Comment