Kedua pejabat Indonesia itu menurut laporan Kedubes Amerika Serikat
adalah informannya. Tapi mengapa kasus spionase yang membahayakan
keamanan negara ini tak diadili?
Pelan-pelan kegaduhan itu
berhenti. Sekarang, tak ada lagi anggota masyarakat yang membicarakan
pemberitaan koran Australia, The Age dan Sydney Morning Herald yang
menuduh Presiden SBY korupsi dan menyalah-gunakan wewenang, dan Ibu Ani
Yudhoyono memanfaatkan kekuasaan suaminya untuk melakukan spekulasi
bisnis yang menghasilkan uang. Tak ada lagi pembicaraan di tengah
masyakarat yang melibatkan pengusaha besar dari group Arta Graha, Tommy
Winata, yang konon memberikan uang kepada Presiden SBY melalui penasehat
dan orang dekatnya Mayor Jenderal (Pur) T.B. Silalahi.
Atau
tentang Ketua MPR dan tokoh PDIP Taufik Kiemas yang pada 2004 disebutkan
diperiksa dan diusut Kejaksaan Agung karena terlibat korupsi sejumlah
proyek ketika istrinya, Megawati Soekarno menjadi Presiden. Malah Taufik
sudah akan ditangkap pada saat itu. Tapi kemudian Presiden SBY sendiri
turun tangan, tulis koran The Age edisi 11 Maret 2011, memerintahkan
Hendarman Soepandji, pejabat di Kejaksaan Agung untuk menghentikan
pengusutan.
Institusi yang mengurusi pemberantasan korupsi
seperti Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diam
saja. Kedua lembaga itu tak mengusut informasi yang dibongkar The Age
dan Sydney Morning Herald. KPK membuat dalih bahwa apa yang ditulis
koran tadi belum memadai untuk diusut.
Sikap kooperatif KPK
kepada Presiden SBY memang bukan baru. Sejak terjadi kasus Ketua KPK
Antasari Azhar, yang tiba-tiba dituduh sebagai pembunuh dan divonis 18
tahun penjara, KPK memang jadi letoi terhadap Presiden SBY. KPK sekarang
hanya galak kepada para pensiunan. Dalam kasus korupsi yang datanya
bersumber dari laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang
kemudian dibobol situs pembocor Wikileaks, menurut The Age edisi 16
Maret 2011, sikap KPK itu didukung ICW (Indonesian Corruption Watch).
Bagi
ICW, seperti diungkapkan salah seorang pengurusnya, Emerson Yuntho, ICW
tak akan mengusut kasus itu karena ada kesalahan fakta pada kabel
laporan Kedubes Amerika Serikat. Yang dimaksudnya adalah tentang jabatan
Hendarman Supandji yang oleh satu satu kabel disebutkan sebagai Asisten
Jaksa Agung. Padahal pada 2004 itu, Hendarman belum memegang jabatan
itu.
Jadi hanya karena sebuah kabel tak akurat menyebut jabatan
Hendarman, maka laporan semua kabel dianggap omong kosong oleh ICW. Luar
biasa ICW dalam membela Presiden SBY dan keluarganya.
Untuk
diketahui saja, isu korupsi yang dituduhkan koran The Age dan Sydney
Morning Herald berasal dari kawat Kedutaan Besar Amerika Serikat di
Jakarta kepada Departemen Luar Negeri di Washington setiap hari dari
tahun 2004 sampai 2010. Jadi tuduhan itu bersumber dari bocoran isi
banyak sekali kabel/kawat laporan oleh para pejabat Kedutaan Besar
Amerika Serikat yang kemudian dibocorkan Wikileaks dan disimpulkan surat
kabar The Age dan Sydney Morning Herald.
ICW selama ini suka
berkoar-koar sebagai badan independen anti-korupsi. Walau pun sebenarnya
sampai sekarang, sebagai gerakan anti-korupsi ICW lebih banyak tampil
di koran dan TV. Aksinya yang konkret di tengah masyarakat nyaris tak
diketahui.
Presiden SBY sendiri semula amat terpukul oleh berita
dua koran Australia itu. Ia sempat mengurung diri di Istana dan tak ikut
Shalat Jumat. Istrinya, Nyonya Kristiani Herawati menangis. Tak hanya
itu. Menurut The Age 15 Maret 2011, pada hari Jumat itu menurut rencana
Presiden Barack Obama akan melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden
SBY mengenai KTT Asia Timur. Nyatanya pembicaraan itu tak terjadi.
SILALAHI BERHASIL MENYUSUP KE ISTANA
Tapi
meski meski pukulan begitu berat, ternyata Presiden SBY dan istrinya
cuma membantah berita itu. Keduanya mengaku telah difitnah. Tapi anehnya
keduanya tak mau menuntut penghinaan dan fitnah itu melalui jalur hukum
di pengadilan. Dengan membawa kasus itu ke pengadilan, sebenarnya akan
terbuka secara transparan apakah berita itu benar atau bohong. Kalau
memang yakin dirinya benar, sebenarnya sebaiknya klarifikasi Presiden
dilakukan lewat pengadilan. Apalagi kedua koran itu mau pun para pejabat
Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, sama sekali belum pernah membantah
substansi berita/kawat itu.
Apalagi dulu Presiden SBY sempat
berkoar-koar akan menyelesaikan penghinaan dan fitnah terhadap dirinya
melalui proses pengadilan. Oleh karena itulah Presiden SBY dan istrinya
datang sendiri ke kantor Polda Metro Jaya pada hari Minggu untuk
mengadukan bekas Wakil Ketua DPR Zaenal Maarif. Ketika itu Zaenal
menuduh, sebelum menikahi Ibu Ani Yudhoyono, SBY sudah pernah menikah
dan memiliki anak.
Dalam kasus kabel Kedubes Amerika Serikat ini
sebenarnya yang harus diklarifikasi bukan hanya kasus korupsi dan
penyalanggunaan wewenang Presiden SBY dan Nyonya Ani Yudhoyono. Tapi
juga menyangkut kasus spionase yang melibatkan dua orang dekat SBY yaitu
T.B. Silalahi dan Agung Laksono. T.B. Silalahi diketahui sebagai
penasehat SBY, sedang Agung Laksono, tokoh Golkar yang dikenal paling
dekat dengan SBY, dan kini menjabat Menko Kesra.
Dari laporan
kawat itu diketahui bahwa T.B.Silalahi adalah seorang informan politik
Kedubes Amerika Serikat yang paling berharga. Adalah Silalahi yang
melapor ke Kedubes tentang kasus penghentian perkara Taufik Kiemas pada
tahun 2004 oleh campur-tangan Presiden SBY. Silalahi juga yang
melaporkan peran Nyonya Ani Yudhoyono yang begitu besar, termasuk dalam
menggunakan kekuasaan suaminya untuk mencari keuntungan bisnis.
Kalau
semua ini benar berarti Silalahi berhasil menyelusup ke Istana sebagai
orang dekat Presiden, padahal sebenarnya dia adalah imforman Kedutaan
Besar Amerika Serikat yang amat dipercaya. Hal yang sama terjadi pada
Agung Laksono. Sebagai orang dekat SBY, dialah yang melaporkan ke
Kedubes bahwa T.B.Silalahi adalah penghubung antara Presiden SBY dengan
pengusaha Tomy Winata dalam urusan pemberian dana. Penghubung SBY yang
lain disebut Muhamad Lufti, bekas Kepala BKPM yang kini menjadi Dubes
Indonesia di Tokyo.
Laporan kedua tokoh dan pejabat pemerintah
kepada sebuah Kedutaan Besar asing jelas adalah perbuatan spionase yang
membayakan keselamatan negara. Maka kasus ini sebenarnya lebih berbahaya
dari tuduhan korupsi dan penyalanggunaan wewenang kepada Presiden SBY
mau pun istrinya. Apalagi mungkin banyak laporan lain yang disampaikan
keduanya kepada Kedutaan Besar tapi belum terungkap kepada masyarakat.
T.B.
Silalahi yang bekas perwira tinggi militer itu dan Agung Laksono,
politisi Golkar yang bekas Ketua DPR dan kini menjabat menteri, harus
diadili untuk perbuatan mereka menjadi informan Kedutaan Besar Amerika
Serikat. Kalau terbukti itu adalah sebuah skandal spionase yang harus
dihukum sekali pun Indonesia memiliki hubungan diplomatik yang baik
dengan Amerika Serikat.
Sekadar contoh bisa dilihat kasus yang
melibatkan Lawrence Franklin, staf Departemen Pertahanan Amerika
Serikat. Januari 2006, Franklin dihukum 12 tahun lebih untuk
kesalahannya memberikan dokumen kepada Steve Rosen dan Keith Weissman
dari American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), lembaga yang
dikelola warga Amerika keturunan Israel di Washington, dan dikenal
sebagai lobi Yahudi paling utama di Amerika Serikat. Dari sana diduga
informasi itu mengalir kepada Naor Gilon, Kepala Bidang Politik Kedubes
Israel di Washington. Memang belakangan pengadilan yang lebih tinggi
memperingan hukuman Franklin.
Informasi yang diberikan Franklin
menyangkut berbagai langkah dan kebijakan Amerika Serikat terhadap Iran
dalam kaitan dengan pembangunan reaktor nuklir oleh Teheran. Bila
diingat Amerika Serikat dan Israel adalah dua negara yang amat dekat
hubungannya, dan Iran adalah musuh kedua negara, mestinya FBI tak perlu
bersusah-payah menguntit Franklin. Tapi ternyata kasus ini tetap
dianggap kejahatan dan dibawa FBI ke pengadilan.
Yang hendak
dikatakan: bahwa kasus spionase T.B.Silalahi dan Agung Laksono, pejabat
resmi Indonesia yang menjadi informan Kedutaan Besar Amerika Serikat,
harus dibawa ke pengadilan. Biarlah pengadilan kelak yang menentukan
keduanya bersalah atau tidak, sebagaimana kasus Lawrence Franklin di
Amerika Serikat.
Amran Nasution
(Staf Ahli Tabloid Suara Islam)
Tags: #TommyWinata #TomyWinata #TomiWinata
No comments:
Post a Comment