Para seniman dan wartawan itu adalah Goenawan Mohamad (Ketua Dewan
Redaksi), Bur Rasuanto (Wakil Ketua), Usamah, Fikri Jufri, Cristianto
Wibisono, Toeti Kakiailatu, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah
Asa, Zen Umar Purba, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Salim Said, dan lainnya.
Satu orang kepercayaan dari Yayasan Jaya Raya juga turut serta
mengelola Tempo, yaitu Eric Samola.
Mengapa bernama Tempo? Pertama, singkat dan bersahaja, enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala jurusan; kedua, terdengar netral, tidak mengejutkan dan tidak merangsang; ketiga, bukan simbol sebuah golongan, dan keempat, Tempo adalah waktu.
Tempo meniru Time? Benar Tempo meniru waktu, selalu tepat, selalu baru. Kalimat ini diiklankan Tempo pada terbitan 26 Juni 1971 guna menjawab surat seorang pembaca yang berkesimpulan bahwa Tempo telah meniru Time. Kesimpulan yang wajar melihat sepintas cover Tempo memang mirip Time: segi empat dengan pinggiran merah. Bahkan, pada 1973, Time menggugat Tempo melalui pengacara Widjojo, namun akhirnya dapat diselesaikan dengan damai.
Edisi pertama Tempo laku sekira 10.000 eksemplar. Disusul edisi kedua yang laku sekira 15.000 eksemplar. Progress penjualan oplah ini menepis keraguan Zainal Abidin, bagian sirkulasi Tempo, yang menganggap majalah ini tidak akan laku. Selanjutnya, oplah Tempo terus meningkat pesat hingga pada tahun ke-10, penjualan Tempo mencapai sekira 100.000 eksemplar.
Dalam perjalanannya, terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh Tempo antara Goenawan dengan Bur. Keduanya memiliki perbedaan ide dasar. Goenawan ingin Tempo bergaya tulis feature (bercerita), sedangkan Bur cenderung ke news. Keduanya pun sering berbeda paham dan saling bertolak pendapat.
Puncaknya pada saat Bur melemparkan air kopi ke arah Goenawan. Tindakan
yang dianggap kelewatan oleh Goenawan hingga dia meminta kepada Eric
Samola untuk memutuskan, apakah dia yang keluar atau Bur. Akhirnya Bur
yang mengundurkan diri dari Tempo.
Pembredelan I
Pada 12 April 1982, di usia yang ke-12 tahun, Tempo dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo
dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembredelan itu sendiri
datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin
oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota.
Diduga, pembredelan tersebut terjadi karena Tempo meliput
kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir
rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka
dengan berita tersebut.
Pada 7 Juni 1982, pembredelan Tempo dicabut setelah Goenawan membubuhkan tanda tangan di secarik kertas. Secarik kertas itu berisi permintaan maaf Tempo dan kesediaan untuk dibina oleh pemerintah. Waktu itu, Goenawan tidak punya pilihan lain memang.
Wartawan Eksodus
Prahara kembali berguncang di tubuh Tempo pada 13 Juli 1987.
Sebanyak 31 wartawan ramai-ramai keluar (eksodus). Alasannya:
kesejahteraan dan pola manajemen yang tidak transparan. Mereka yang
keluar diantaranya Syu’bah Asa, Edy Herwanto, Saur Hutabarat, Marah
Sakti Siregar, dan Achmad Luqman. Mereka kemudian mendirikan majalah Editor, saingan Tempo.
Goenawan sangat sedih dengan kejadian itu. Selanjutnya, pembenahan
manajemen pun dilakukan dan kesejahteraan karyawan juga diperhatikan.
Konflik dianggap sebagai momentum untuk membenahi kekurangan. “Yang
bagus bukanlah organisasi yang sempurna, tapi organisasi yang selalu
dengan teratur dan dengan ‘tak terlalu sulit disempurnakan, diperbaiki,”
kata Goenawan.
Pada 1990, eksodus kembali terjadi. Sebanyak 20 wartawan spontan keluar. Ada yang mendirikan majalah baru, Prospek, yang dimodali pengusaha Sutrisno Bachir; ada yang bergabung ke harian Berita Buana.
Alasan utama eksodus kali ini ada dua: pertama, tawaran kesejahteraan dan jenjang karir yang menggiurkan di tempat lain; kedua, beredarnya isu kristenisasi di tubuh Tempo. Khusus kristenisasi, isu agama ini membuat tubuh Tempo menjadi tidak sehat.
Pembredelan II
Pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya: Editor dan majalah yang sedang berkembang: Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo
terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie.
Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa
otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga, penyebab dasarnya adalah karena
Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran.
Kalau dulu syarat terbit kembali sangat mudah, hanya bertanda tangan di
secarik kertas, kali ini sangat sulit. Keluarga Presiden Soeharto yang
diwakili Hasyim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, dalam
penjelasannya kepada Erick Samola di sebuah pertemuan di hotel
memberikan syarat: berita Tempo harus diketahui oleh mereka
(Keluarga Presiden Soeharto), pemimpin redaksi harus ditentukan oleh
mereka, dan mereka bisa membeli saham Tempo.
Jajaran pemimpin Tempo mendiskusikan syarat tersebut. Semuanya kemudian bersepakat untuk menolaknya. Mereka rela Tempo tidak pernah terbit lagi. Ini adalah persoalan integritas diri, alasannya.
Pembredelan tiga media tersebut di atas menyulut pelbagai demonstrasi
massa. Salah satunya, demonstrasi berdarah pada 27 Juni 1994 oleh para
aktifis, mahasiswa, dan buruh. Di tubuh PWI juga terjadi demonstrasi.
Sebagian wartawan seperti Ahmad Taufik, Dita Indah Sari, dan lainnya
sepakat untuk mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka
menuduh PWI berdiri di bawah ketiak pemerintah.
Walau pun dibredel, Tempo punya cara sendiri untuk tetap eksis dan menyapa pembacanya. Pada 1996, Tempo meluncurkan majalah digital pertama di Indonesia: Tempo Interaktif, melalui situs www.tempo.co.id. Karena beredar di dunia maya, majalah ini lolos dari jangkauan pembredelan.
Meskipun Tempo tetap eksis, sebagian wartawannya tidak
tahan hidup tanpa penghasilan yang jelas. Mereka pun keluar: Lukman
Setiawan, Mahtoem Mastoem, Harjoko Trisnadi, Herry Komar, Amran
Nasution, dan Agus Basri. Mereka kemudian mendirikan majalah Gatra yang dimodali Bob Hasan, pengusaha dan orang kepercayaan Presiden Soeharto. Sebagian yang lain bergabung di majalah Forum dan tabloid Kontan.
Reformasi Mei 1998: Soeharto Terbenam, Tempo Bersinar
Jatuhnya Presiden Soeharto pada reformasi 21 Mei 1998 dan naiknya BJ
Habibie sebagai Presiden memberi angin segar bagi masa depan Tempo. Ya, benar saja, BJ Habibie mencabut pembredelan Tempo dan mengizinkannya untuk terbit kembali.
Gayun bersambut, awak Tempo bergerak. Sekira 40 orang berkumpul di Teater Utan Kayu untuk memikirkan Tempo baru. Hasilnya, melalui PT Arsa Raya Perdana dan dengan investasi baru sekira Rp 5 milliar, Tempo edisi perdana pascabredel terbit pada Selasa, 6 Oktober 1998.
“Kami makin sadar: ada sesuatu yang lebih berharga ketimbang nafkah dan
kepuasan profesional, yakni kemerdekaan dan harga diri,” tulis
editorial perdana Tempo pascabredel.
Perkembangan Tempo pascabredel sangat progress. Oplah mencapai sekira 60 ribu eksemplar tiap kali terbit, mengalahkan majalah pesaing: Gatra, Forum, Panji Masyarakat, dan Gamma. Begitu pula dari sisi iklan, Tempo maraih
41% porsi iklan dibandingkan para pesaingnya tersebut. Persentase
tersebut meningkat pada tahun 2000 menjadi 50% dan pada tahun 2005
menjadi 70%.
Perkembangan yang luar biasa tersebut membuat manajemen menerbitkan Tempo dalam edisi Inggris bernama Tempo Magazine pada 12 September 2000. Edisi
Inggris ini terbit tiap minggu, dua hari setelah edisi Indonesia
terbit. Oplahnya lumayan, laku sekira 7 ribu eksemplar di edisi
perdananya. Intinya, Tempo kini bisa dibeli di luar negeri dan dibaca oleh orang asing.
Tempo Go Public
Pada 6 Nopember 2000, Tempo menjadi media pertama yang masuk bursa saham (go public). Nama PT Arsa Raya Perdana diganti menjadi PT Tempo Media Inti supaya mudah dikenali. Pada penawaran perdananya, Tempo menawarkan 200 juta saham dan 100 juta warran guna maraup dana segar Rp 75 milliar.
Dana segar tersebut 60% akan digunakan untuk mendirikan Koran Tempo, 25% untuk pelunasan utang anak perusahaan, dan 15% untuk penambahan modal kerja. Kalau semuanya berjalan lancar, Tempo juga berambisi untuk mendirikan radio, televisi, dan kantor berita.
Setelah go public, komposisi kepemilikan saham di Tempo berubah:
PT Grafiti Pers: 16,6%, Yayasan Jaya Raya: 24,8%, Yayasan 21 Juni
1994: 24,8%, Yayasan Karyawan Tempo: 16,6%, dan publik: 17,2%.
Pada 2 April 2001, ketika umur Tempo menginjak 30 tahun, diterbitkanlah Koran Tempo. Kehadiran Koran Tempo bertujuan untuk mengembalikan prinsip-prinsip jurnalistik harian yang terabaikan: cepat, lugas, tajam, dan ringkas. Nama Tempo sengaja digunakan pada Koran Tempo untuk meraih pangsa pasar.
Koran Tempo berusaha meraih pembaca yang masih terbuka lebar, bersaing dengan Kompas, Republika, dan Media Indonesia. Hasilnya luar biasa, di Jakarta, Koran Tempo berhasil menjadi peringkat kedua di bawah Kompas.
Tempo News Room dan Tempo TV
Dengan adanya Tempo, Koran Tempo, dan Tempo Interaktif, manajemen Tempo kemudian mendirikan Tempo News Room (TNR),
kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita ketiga media
tersebut. Fungsinya: penghematan sumber daya manusia. Diharapkan,
melalui TNR, satu orang wartawan bisa memberikan kontribusi berita untuk
tiga media sekaligus.
Keberadaan TNR ditentang sebagian wartawan. Mereka merasa dirugikan
secara hitungan gaji karena berita mereka dimuat di tiga media sementara
gaji mereka hanya satu kali. Mereka berpikir seharusnya mereka digaji
tiga kali. Masalah ini masih menjadi perdebatan di pihak manajemen Tempo.
Setelah Koran Tempo sukses di pasaran, Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV, kerja sama dengan kantor berita radio KBR68H. Semangat Tempo TV adalah
ingin menampilkan tayangan televisi yang berkualitas dan mencerahkan,
“sebab informasi bukan hanya data yang masuk, tetapi juga data yang
membuat kita tercerahkan,” kata Goenawan. Kini, Tempo TV telah memberikan kontribusi program di sekira 27 TV lokal di seluruh Indonesia.
Tempo dan Tommy Winata
Pada 8 Maret 2003, kantor Tempo diserang para pengunjuk rasa. Mereka semua berdemonstrasi mendukung Tommy Winata. Berita Tempo
mengenai proposal renovasi pasar Tanah Abang senilai Rp 53 milliar
oleh Tommy Winata, pengusaha terkenal, sebelum pasar itu terbakar
adalah penyebabnya. Para pengunjuk rasa itu merusak kantor Tempo. Wartawan Tempo dipukuli; pemred Tempo, Bambang Harymurti, dihina, kepalanya ditonjok; perutnya dijotos.
Tempo dan Ummat Katolik
Pada Tempo edisi 10 Februari 2008, sampul Tempo yang bergambar
mantan presiden Soeharto (almarhum) bersama anak-anaknya di meja makan
dinilai melecehkan simbol kudus umat kristiani, khususnya Katolik di
Indonesia. Gambar sampul berjudul Setelah Dia Pergi tersebut, mirip format lukisan perjamuan terakhir Yesus pada murid-muridnya, yaitu The Last Supper, karya Leonardo Da Vinci.
Sejumlah perwakilan organisasi Katolik tingkat nasional mendatangi
kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Mereka menilai lukisan
sakral itu telah dianalogikan Tempo dengan keluarga mantan penguasa Orde Baru, yang di mata masyarakat berlumuran kasus KKN.
Umat Katolik meminta klarifikasi dan pernyataan maaf dari penanggung
jawab Tempo. Mereka juga ingin memastikan kejadian seperti ini tak akan
terulang, bukan hanya untuk umat Katolik, tapi bagi umat beragama
lainnya di Indonesia. Dimintanya pula agar edisi majalah itu ditarik
dari peredaran. Sesuai tuntutan perwakilan umat Katolik, Tempo meminta maaf melalui Koran Tempo, Tempo Interaktif, dan majalah Tempo.
Tempo dan Polri
Pada Juni 2010, Tempo menerbitkan edisi Juni - Juli 2010 dengan sampul
berjudul Rekening Gendut Perwira Polisi yang menggambarkan seorang
polisi sedang menggiring celengan babi. Edisi tersebut menceritakan
beberapa jenderal polisi yang memiliki rekening berisi uang miliaran
rupiah. Polri memrotes sampul tersebut dan meminta Tempo meminta maaf.
Pada 8 Juli 2010, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai di luar
pengadilan. Pertemuan dimediasi oleh Dewan Pers dan berlangsung di
Gedung Dewan Pers. Polri diwakili oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen
Pol. Edward Aritonang; Tempo diwakili oleh Pemred Tempo, Wahyu Muryadi.
Pada 2 April 2011 nanti, Tempo akan genap berumur 40 tahun. Di umur itu, Tempo telah menjadi media besar, berdiri sejajar dengan Kompas, Media Nusantara Citra (MNC), Jawa Pos Group, dan Media Group. Tempo punya majalah, punya koran, punya televisi, punya koran digital, punya kantor berita, punya segalanya.
Tumbuh sebuah harapan, semoga Tempo bisa menjadi teladan dan
contoh -ditengah kemerosotan kualitas informasi dan tayangan media-
untuk media yang mementingkan kualitas, bukan komersialisasi, bukan
iklan. Sebab, sebagaimana kata Goenawan Mohamad, informasi bukan hanya
data yang masuk, tetapi juga data yang membuat kita tercerahkan.
Sumber:
Tulisan: Konflik Nan ‘Tak Kunjung Padam: Bagaimana Tempo Mengatasi Masalah dan Meletakkan Budaya Perusahaannya?, oleh
Coen Husain Pontoh. Tulisan ini dimuat dalam majalah Pantau dan buku
Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.
Sumber: wikipedia, majalahtrust
Tags: #TommyWinata #TomyWinata #TomiWinata
No comments:
Post a Comment